Bacaan dan Tempat

Sabtu, 15 Juli 2023 - 07:32 WIB
loading...
Bacaan dan Tempat
Bacaan dan Tempat
A A A
Bandung Mawardi
Pedagang buku bekas dan tukang kliping

Orang betah di rumah mungkin memiliki kesenangan atau keterikatan. Di rumah, ia lumrah makan, tidur, menonton televisi, mandi, atau melamun. Rumah menjadi tempat membentuk biografi bersama benda-benda dan suasana. Rumah menjadi album penciptaan makna: jemu atau melaju.

baca juga: Buku dan Kertas Berlalu

Buku di rumah mungkin benda ikut membetahkan orang: duduk atau berbaring. Buku di tangan, ide dan cerita dalam tatapan mata. Rumah dihuni buku-buku kadang penuh berkah. Pembaca buku berjudul Rumah Kertas (2016) gubahan Maria Dominguez berhak berpikiran ironi. Buku-buku di rumah itu malapetaka dan penghancuran hidup.

Rumah tanpa buku atau sedikit buku menjadi pemicu orang mencari alamat bernama perpustakaan. Di sana, orang menikmati tatanan buku. Mata jelalatan melihat rupa buku-buku. Tangan memegang buku-buku bergantian.

Kebetahan di perpustakaan sulit mewujud saat ditentukan jadwal: buka dan tutup. Peraturan-peraturan di perpustakaan kadang membuat orang salah tingkah dalam membuat keputusan: betah atau bosan. Orang betah di perpustakaan memiliki ketenangan, penasaran, ketakjuban, dan ketabahan.

Neil Gaiman berbagi kenangan: “Saya beruntung. Saya tumbuh dengan perpustakaan daerah yang bagus sekali. Saya punya orang tua yang bisa dibujuk untuk mengantar anaknya ke perpustakaan pada libur sekolah musim panas sebelum mereka berangkat bekerja, serta para pustakawan yang tidak keberatan dengan seorang bocah kecil tanpa pendamping menghampiri rak khusus anak-anak setiap pagi dan sibuk sendiri menelusuri kartu katalog, mencari buku berisi hantu atau sihir atau roket di dalamnya, mencari vampir atau detektif atau penyihir atau keajaiban. Dan begitu selesai membaca rak khusus anak-anak, saya mulai membaca buku-buku orang dewasa.”

baca juga: Nasib Buram Buku Indonesia

Keberuntungan milik sedikit orang. Neil Gaiman tak lahir dan besar di Indonesia. Ia berada di alamat penuh keberuntungan. Perpustakaan ikut menentukan ia menjadi pengarang tenar.

Kenangan terbaca dalam buku kecil dan tipis berjudul Kenapa Masa Depan Kita Bergantung pada Perpustakaan, Membaca, dan Melamun? Buku memuat tulisan-tulisan Neil Gaiman, Julian Baggini, dan Maggie Gram. Kita sedang mendapat cerita dari orang-orang di benua berbeda.

Kita memberi pujian sambil mengeluh saat menilik alamat dan biografi di Indonesia tak seperti mereka. Kita memang mendingan kagum dengan orang, buku, dan perpustakaan di tempat-tempat jauh. Di Indonesia, kita memang dikondisikan telat, batal, atau membantah kagum untuk tema-tema perbukuan dan perpustakaan.

Kita membuktikan dampak betah di perpustakaan dalam biografi Neil Gaiman. Pada 2012, terbit novel dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul American Gods. Novel digubah Neil Gaiman diakui sebagai penulis terkenal dan terlaris di Amerika Serikat.

baca juga: Buku-Buku Terlarang Abad 21, Da Vinci Code Terjual 80 Juta Copy

Novel tebal ditulis di sekian rumah dan tempat. Ia menjelaskan: “Saya ingin buku ini menjadi banyak hal. Saya ingin menulis sebuah buku yang tebal dan aneh dan berliku-liku, dan saya melakukan itu dan begitulah buku itu akhirnya. Saya ingin menulis buku yang mencantumkan semua bagian Amerika yang membuat saya terobsesi dan senang yang cenderung menjadi bagian-bagian yang tidak pernah muncul di film-film dan acara televisi.”

Tebal tapi sering mendapat penghargaan dan laris. Ia agak bingung novel untuk anak atau remaja. Neil Gaiman tentu menginginkan American Gods menghuni rumah atau perpustakaan. Novel berhak bertemu pembaca bisa terpukau.

Novel itu mustahil ditemukan oleh Matilda. Si bocah perempuan itu rajin mengunjungi perpustakaan dan membaca buku-buku. Ia hidup dalam novel gubahan Roald Dahl. Matilda tak bertemu American Gods tapi bisa berbagi pengalaman mengenai perpustakaan.

baca juga: Menginspirasi lewat Buku Bertumbuh Bermimpi

Di novel dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul Matilda (1993), Troald Dahl sedang melakukan “penghasutan terindah” agar bocah-bocah suka ke perpustakaan. Ia menjadikan Matilda sebagai panutan:

“Pada hari ketika ayahnya menolak membelikan buku, sorenya Matilda pergi berjalan kaki seorang diri ke perpustakaan umum di desanya. Setibanya di sana, ia memperkenalkan diri kepada Mrs Phelps, wanita yang mengurus perpustakaan itu. Matilda bertanya, apakah ia diperbolehkan duduk sebentar untuk membaca buku di situ….” Ia tak diantar bapak atau ibu. Keberanian bagi bocah bernafsu buku.

Ia ketagihan buku. Ia betah di perpustakaan. Rold Dahl mengisahkan: “Berjalan kaki dari rumah ke perpustakaan hanya makan waktu sepuluh menit. Jadi ada waktu dua jam baginya untuk duduk dengan asyik di sebuah sudut yang nyaman, membaca buku demi buku. Ketika semua buku anak-anak yang ada di situ sudah habis dibaca, Matilda mulai berkeliaran mencari buku bacaan yang lain.”

Nasib berbeda dengan Neil Gaiman. Matilda rakus buku di perpustakaan. Ia pun sosok bermasalah di rumah dan sekolah. Buku membuat ia girang dan “mengurangi” petaka-petaka di hadapan kaum bebal dan kaum marah.

baca juga: Seribu Cinta, Seribu Buku, MNC Peduli dan Sekolah Regina Pacis Jakarta Gelar Donasi Buku

Neil Gaiman (saat bocah) dan Matilda membaca buku-buku edisi cetak. Di tangan, pangkuan, atau meja, buku itu kertas-kertas dijilid. Kenikmatan membaca buku sambil memberi amatan atas penampilan buku.

Julian Baggini memberi kabar terbaru: “Memilih buku untuk dibawa berlibur jadi makin sulit beberapa tahun belakangan. Sekarang pertanyaannya bukan cuma apa yang mau dibaca, tapi bagaimana membacanya–di kertas, tablet, e-reader, atau malah handphone–dan tiap orang punya pendirian soal mana yang terbaik.”

Roald Dahl tak pernah memunculkan adegan Matilda membaca buku di tablet. Bocah itu bersama buku-buku di rak. Pada saat membaca, ia berhadapan kertas. Kini, masalah buku makin dipermasalahkan dengan ribut-ribut dan argumentasi-argumentasi mudah patah gara-gara kertas dan elektronik.

Kita merindu menjadi Neil Gaiman atau Matilda. Zaman sudah berubah. Posisi diri di rumah atau perpustakaan tak lagi harus dipikirkan seperti masa lalu. Buku-buku tak selalu di rak atau lemari. Katalog tak cuma di kartu-kartu. Tubuh sedang membaca tanpa kewajiban di tangan tampak buku.

baca juga: Membaca Buku Dunia dan Indonesia

Kita bertambah masalah bila membuka buku berjudul 21 Lessons: 21 Adab untuk Abad 21 (2018) garapan Yuval Noah Harari. Ia bercerita bukan sebagai pengunjung perpustakaan atau pembaca buku di rumah. Cerita cukup mengejutkan sebagai penulis buku: “Ketika saya menerbitkan buku, penerbit meminta saya untuk menulis deskripsi singkat yang mereka gunakan untuk publikasi daring. Tetapi, mereka memilih pakar khusus, yang menyesuaikan apa yang saya tulis dengan selera algoritma Google .”

Kita sedang mendapat pengakuan tentang penulisan dan penerbitan buku tak lagi sama dengan puluhan tahun lalu. Yuval tetap memastikan buku-buku itu mendapat pembeli dibawa masuk rumah dan perpustakaan. Wujud buku pun bukan sekadar edisi kertas. Begitu.

Judul : Kenapa Masa Depan Kita Bergantung pada Perpustakaan,

Membaca, dan Melamun?

Penulis : Neil Gaiman, Julian Baggini, Maggie Gram

Penerjemah : Ageng Indra

Penerbit : Pojok Cerpen dan Tanda Baca

Cetak : II, 2023

Tebal : 58 halaman

ISBN : 978 623 5869 02 5
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1617 seconds (0.1#10.140)