Djoko Tjandra Jago Lobi Pejabat Sejak Dulu
Senin, 27 Juli 2020 - 07:13 WIB
Kasus itu berawal 11 April 1990, ketika BRI dan Dana Pensiun BRI mengadakan perjanjian pembangunan dan operasi (BOT) dengan Mulia Group. Mulia milik Djoko Tjandra mendapatkan proyek pembangunan gedung perkantoran BRI II dan hak untuk mengoperasikan gedung tersebut selama 30 tahun (sampai 2020). Sebagai imbalan, BRI akan mendapatkan US$ 400 ribu per tahun.
Kenyataannya hingga 20 tahun kemudian, BRI menilai Mulia gagal memenuhi komitmennya untuk membangun fasilitas pendukung yang telah disepakati. Karena wanprestasi itu, BRI kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan untuk meminta pembatalan perjanjian tersebut.
Bank pelat merah itu menuntut, agar gedung BRI II dikembalikan kepada Dana Pensiun BRI ditambah kompensasi kerugian sekitar Rp 347 miliar. Kompensasi itu harus dibayar Mulia sejak 1998.
Selain itu, Dana Pensiun BRI juga menuntut kompensasi kerugian Rp 887 miliar untuk kehilangan kesempatan dalam proyek pembangunan BRI III. Bangunan itu menempati areal seluas 2.692 meter persegi milik Dana Pensiun BRI, Departemen Hukum & Hak Asasi Manusia, dan Gabungan Koperasi Batik Indonesia.
Perkara ini berakhir pada 23 Juli 2013 setelah MA mengabulkan upaya hukum PK dari BRI.
Dua tahun sebelum putusan PK itu, Djoko bersengketa dengan masyarakat Bali terkait pembangunan Hotel Mulia Resort.. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali meminta DPRD setempat untuk bersikap tegas menindak proyek pembangunan Hotel Mulia Resort yang melanggar aturan tata lingkungan.
Selain dekat dengan Pura Geger, proyek itu merusak lingkungan dengan memotong tebing di sekitar kawasan tempat suci tersebut. Proyek itu juga menghalangi penduduk setempat untuk mengambil rumput laut yang selaam ini jadi sumber rezeki warga.
Walhi menilai di kasus ini pemerintah dan dewan sangat lemah dalam menerapkan peraturan dan hukum.
Toh sengketa itu tak kuasa menahan laju pembangunan hotel tersebut. Kesimpulannya, Djoko memang seorang pelobi ulung yang mampu meluluhkan para pejabat untuk menyetujui apa saja keinginannya.
Kenyataannya hingga 20 tahun kemudian, BRI menilai Mulia gagal memenuhi komitmennya untuk membangun fasilitas pendukung yang telah disepakati. Karena wanprestasi itu, BRI kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan untuk meminta pembatalan perjanjian tersebut.
Bank pelat merah itu menuntut, agar gedung BRI II dikembalikan kepada Dana Pensiun BRI ditambah kompensasi kerugian sekitar Rp 347 miliar. Kompensasi itu harus dibayar Mulia sejak 1998.
Selain itu, Dana Pensiun BRI juga menuntut kompensasi kerugian Rp 887 miliar untuk kehilangan kesempatan dalam proyek pembangunan BRI III. Bangunan itu menempati areal seluas 2.692 meter persegi milik Dana Pensiun BRI, Departemen Hukum & Hak Asasi Manusia, dan Gabungan Koperasi Batik Indonesia.
Perkara ini berakhir pada 23 Juli 2013 setelah MA mengabulkan upaya hukum PK dari BRI.
Dua tahun sebelum putusan PK itu, Djoko bersengketa dengan masyarakat Bali terkait pembangunan Hotel Mulia Resort.. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali meminta DPRD setempat untuk bersikap tegas menindak proyek pembangunan Hotel Mulia Resort yang melanggar aturan tata lingkungan.
Selain dekat dengan Pura Geger, proyek itu merusak lingkungan dengan memotong tebing di sekitar kawasan tempat suci tersebut. Proyek itu juga menghalangi penduduk setempat untuk mengambil rumput laut yang selaam ini jadi sumber rezeki warga.
Walhi menilai di kasus ini pemerintah dan dewan sangat lemah dalam menerapkan peraturan dan hukum.
Toh sengketa itu tak kuasa menahan laju pembangunan hotel tersebut. Kesimpulannya, Djoko memang seorang pelobi ulung yang mampu meluluhkan para pejabat untuk menyetujui apa saja keinginannya.
(rza)
tulis komentar anda