Djoko Tjandra Jago Lobi Pejabat Sejak Dulu

Senin, 27 Juli 2020 - 07:13 WIB
loading...
Djoko Tjandra Jago Lobi Pejabat Sejak Dulu
Djoko Tjandra. foto:SINDOnews
A A A
JAKARTA - Kendati tiga kesempatan untuk hadir di pengadilan telah diabaikan, Djoko Tjandra masih punya peluang untuk menjalani sidang Peninjauan Kembali (PK). Rencananya Senin ini (27/7) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan akan mendengarkan pendapat jaksa terhadap permohonan PK tersebut. Baru setelah itu majelis hakim yang diketuai Nazar Effriadi akan mengemukakan pendapat.

Apa pun dalih hakim, masih diberikannya kesempatan kepada Djoko sangat janggal. Sebab, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1/2012 menyebutkan pemohon PK harus hadir sendiri dalam persidangan.

Kasus ini memang perlu diawasi oleh masyarakat. Sebab SEMA itu pernah dikangkangi oleh MA sendiri. Itu terjadi dalam PK yang diajukan oleh buronan korupsi Sujiono Timan, terpidana korupsi BLBI untuk PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia senilai 120 juta dolar AS dan Rp 98,7 juta. Sebelumnya di tingkat kasasi MA menghukum dia 15 tahun penjara dan denda Rp50 juta serta membayar uang pengganti Rp369 miliar.

Sujiono berstatus buron sejak 7 Desember 2004. Namun secara kontroversial, pada Januari 2012 istri Sujiono dengan mengusung status sebagai ahli waris mengajukan PK mewakili suaminya. SEMA itu terbit 28 Juni 2012. Dan MA pada 31 Juli 2013 akhirnya megabulkan PK tersebut.

Mengacu pada kisah itu, jajaran penegak hukum hendaknya memasang kuda-kuda, mewaspadai siasat apa lagi yang bakal dilancarkan Djoko agar upaya hukum luar biasanya dikabulkan.

Sejak dikabarkan mendaftarkan PK di PN Jakarta Selatan 8 Juni silam, Djoko terus berakrobat melangkahi aparat hukum. Tiga jenderal polisi yang membantu menghapus namanya dari daftar buronan NCB Interpol telah dibebastugaskan. Yang belum ada kelanjutannya adalah soal jaksa-jaksa yang juga ditengarai ikut andil menyelamatkan Djoko. Ketua MA Muhammad Syarifuddin juga sempat berfoto bersama dengan pengacara Djoko, Anita Kolopaking.

Sejatinya jika pihak berwajib memiliki integritas, publik tak perlu khawatir Djoko akan diselamatkan oleh “negara”. Tapi indikasi ke arah sana agaknya bukan sekadar isapan jempol. Tengok saja acara dengar pendapat yang diajukan Komisi 3 DPR dengan pihak terkait kasus ini. Rapat itu tak bisa digelar lantaran tak mendapat izin dari Ketua DPR Aziz Syamsudin dengan alasan DPR sedang reses. Mengacu pada pembahasan RUU Cipta Kerja yang terus digeber pada masa reses saat ini, alasan itu jelas rada sulit diterima.

Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak DPR melakukan penyelidikan melalui hak angket. Hak angket pernah dilakukan untuk berbagai kasus besar, seperti skandal Bank Century dan BLBI. Namun untuk kasus DjokoTjandra tidak ada pertanda yang menunjukkan DPR bakal menggunakan hak angket.

Donal Fariz, peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, ICW menyebut hal ini sebagai ironi. Karena itu,” ICW mendesak DPR RI menggunakan hak angket dalam kasus Joko Tjandra terhadap Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri,” katanya melalui pernyataan tertulis, Sabtu (25/7/2020).

Terlepas dari itu, dari dulu Djoko memang terkenal piawai dalam melakukan lobi-lobi dengan orang-orang penting negeri ini. Salah satu buktinya adalah saat membangun Hotel Mulia 23 tahun lampau. Hotel itu berdiri di atas lahan seluas empat hektar milik Sekretariat Negara Setneg).

Hotel yang dibangun Konsorsium SEA Games 1997 terbukti melanggar ketentuan batas tinggi maksimal gedung bertingkat di wilayah Senayan. Dalam ketentuan, batas ketinggian maksimal gedung bertingkat di kawasan Senayan hanya 16 lantai. Namun, dalam praktiknya tinggi bangunan itu mencapai 40 lantai. Saat pembangunan dimulai, proyek itu juga belum mengantungi Izin Mendirikan Bangunan.

Sebagai kompensasi atas pelanggaran itu, pada tahun 2003 manajemen Hotel Mulia dikenai denda retribusi sebesar Rp 20 miliar. Sebagian denda telah dibayarkan pengelola. Namun, sisanya sebesar Rp 15 miliar baru dibayarkan setelah dikeluarkannya surat eksekusi oleh Pemda Jakarta.

Pada dekade 1990-an Grup Mulia menjadi “penguasa” dalam kepemilikan properti perkantoran seperti Five Pillars Office Park, Lippo Life Building, Kuningan Tower, BRI II, dan Mulia Center. Plaza 89, Atrium Mulia, wisma antara, Plaza BRI Surabaya, Taman Anggrek Mall & Condominium. Grup Mulia juga menaungi sebanyak 41 anak perusahaan di dalam dan di luar negeri. Selain properti, grup yang pada tahun 1998 memiliki aset sebesar Rp 11,5 triliun itu juga mulai merambah ke bisnis keramik, metal dan gelas.

Sekadar informasi tanah milik Setneg di Kawasan Senayan memiliki luas 2.664.210 m2. Luas itu mencakup Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, Jalan Asia Afrika dan Jalan Gerbang Pemuda. Selain Hotel Mulia, beberapa pusat perbelanjaan dan hotel di sekitar kawasan Senayan pun berada atas tanah milik Setneg. Diantaranya, Hotel Atlet Century, Plaza Senayan, ITC Senayan, Senayan City, dan FX Senayan.

Dalam Pemilu 2009 Djoko Tjandra menyumbang sekitar US$ 1 juta kepada Yayasan Kesetiakawanan Dan Kepedulian yang diketuai Djoko Suyanto (Menko Polkam dan HAM). Bersama Purnomo Yusgiantoro (Menteri Pertahanan) dan MS Hidayat (Menteri Perindustrian), Djoko Suyanto tercatat sebagai pendiri di yayasan.

Nama Djoko muncul lagi dalam skandal hak tagih Bank Bali senilai Rp904,6 miliar. Dalam perkara itu sejumlah pejabat penting negara harus masuk bui, seperti Gubernur BI Sjahril Sabirin, Wakil Ketua BPPN Pande Lubis. Namun Djoko yang dihukum dua tahun penjara melalui putusan PK, sudah lebih dulu melarikan diri ke Port Moresby, Papua Nugini, ada 10 Juni 2009, persis satu hari sebelum putusan tersebut.

Wajar jika publik curiga dia memiliki jaringan yang kuat, entah di kejaksaan dan MA. Tanpa itu mustahil dia bisa mendapat informasi tentang putusan hukum baginya.

Sengketa dengan BRI dan masyarakat Bali

Selain kasus pidana, Djoko juga menyimpan masalah hukum perdata. Ini menyangkut kerja sama salah satu perusahaan miliknya, PT Mulia Persada Pacific yang digugat oleh BRI dan Dana Pensiunan BRI. Perusahaan itu digugat karena diduga wanprestasi dalam pembangunan Gedung BRI II dan BRI III, di Jalan Sudirman 44-46, Jakarta.

Kasus itu berawal 11 April 1990, ketika BRI dan Dana Pensiun BRI mengadakan perjanjian pembangunan dan operasi (BOT) dengan Mulia Group. Mulia milik Djoko Tjandra mendapatkan proyek pembangunan gedung perkantoran BRI II dan hak untuk mengoperasikan gedung tersebut selama 30 tahun (sampai 2020). Sebagai imbalan, BRI akan mendapatkan US$ 400 ribu per tahun.

Kenyataannya hingga 20 tahun kemudian, BRI menilai Mulia gagal memenuhi komitmennya untuk membangun fasilitas pendukung yang telah disepakati. Karena wanprestasi itu, BRI kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan untuk meminta pembatalan perjanjian tersebut.

Bank pelat merah itu menuntut, agar gedung BRI II dikembalikan kepada Dana Pensiun BRI ditambah kompensasi kerugian sekitar Rp 347 miliar. Kompensasi itu harus dibayar Mulia sejak 1998.

Selain itu, Dana Pensiun BRI juga menuntut kompensasi kerugian Rp 887 miliar untuk kehilangan kesempatan dalam proyek pembangunan BRI III. Bangunan itu menempati areal seluas 2.692 meter persegi milik Dana Pensiun BRI, Departemen Hukum & Hak Asasi Manusia, dan Gabungan Koperasi Batik Indonesia.

Perkara ini berakhir pada 23 Juli 2013 setelah MA mengabulkan upaya hukum PK dari BRI.

Dua tahun sebelum putusan PK itu, Djoko bersengketa dengan masyarakat Bali terkait pembangunan Hotel Mulia Resort.. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali meminta DPRD setempat untuk bersikap tegas menindak proyek pembangunan Hotel Mulia Resort yang melanggar aturan tata lingkungan.

Selain dekat dengan Pura Geger, proyek itu merusak lingkungan dengan memotong tebing di sekitar kawasan tempat suci tersebut. Proyek itu juga menghalangi penduduk setempat untuk mengambil rumput laut yang selaam ini jadi sumber rezeki warga.

Walhi menilai di kasus ini pemerintah dan dewan sangat lemah dalam menerapkan peraturan dan hukum.

Toh sengketa itu tak kuasa menahan laju pembangunan hotel tersebut. Kesimpulannya, Djoko memang seorang pelobi ulung yang mampu meluluhkan para pejabat untuk menyetujui apa saja keinginannya.
(rza)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1460 seconds (0.1#10.140)