Menagih Tanggung Jawab Pengembang Platform Digital
Sabtu, 25 Juli 2020 - 12:36 WIB
Hasil penelitian tersebut menunjukkan, lewat platform, ketika pembicaraan yang dilangsungkan secara tatap muka tak memuaskan, peserta percakapan akan mencari jawaban untuk topik yang tak dipahaminya lewat mesin pencari. Hasil yang diperoleh kemudian diinteraksikan dengan komunitas yang punya minat sejenis.
Komunitas itu, apa pun tema pembahasannya telah tersedia di FB. Untuk bergabung pada komunitas FB relatif mudah. Cukup klik tombol follow, interaksi antar anggota sudah bisa dilangsungkan. Memang ada beberapa komunitas FB yang dimoderasi.
Moderator punya kuasa mengizinkan atau tak mengizinkan masuknya calon peserta. Keanggotaan komunitas macam ini lebih tertutup, dan perlu langkah tambahan untuk diizinkan. Hari ini, aneka komunitas tampak berkembang pada platform WA.
Hal penting yang diperoleh dari penelitian itu, karena anggota komunitas cenderung punya minat dan keprihatinan yang terhubung, senada dan searah, kolaborasi terbentuk cepat.
Pembelajaran kolaboratif yang memperkuat ide atau gagasan sejenis, intensif terjadi. Hampir tak terjadi persilangan pendapat, malah terjadi penguatan pemahaman awal. Sehingga adanya pendapat yang cenderung beda, akan tersingkir. Komunitas berkembang hanya menampung pendapat yang koherens. Makin yakin dan intoleran, terhadap perbedaan.
Sehingga dalam kasus adanya percakapan yang bersifat self-harm maupun kecenderungan bunuh diri dari pertanyaan di atas, dapat dipahami sebagai akumulasi pendapat sejenis tanpa tandingan. Ini melahirkan sikap: "kalau salah akan terjerumus makin salah dan jika benar akan fanatik diyakini".
Suatu keadaan yang berujung pada terjebaknya seseorang pada situasi filter bubble dan echo chamber, sebagaimana diuraikan oleh Cathy O’ Neil 2016 dalam Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy, maupun oleh Ethan Zuckerman, 2013 dalam Digital Cosmopolitan.
Tentu ini jadi dilema yang sulit dicari jalan keluarnya.
Pengembang FB maupun WA, tak ingin putar arah jarum jam, kembalikan media digital ke editor mediated media.Maka, ketika terjadi penyimpangan penggunaan media digital, yang kemudian ditengok adalah literasi penggunannya. Dalam hal kemunculan sikap ekstrem, intoleran, self harm hingga bunuh diri yang sifatnya structural, pengembang bertumpu pada literasi penggunanya.
Pengguna diharapkan lebih melek media baru. Selalukah literasi pengguna? Dalam banyak kasus, literasi tidak ada korelasinya dengan penyimpangan penggunaan. Platform, yang justru harus diperiksa. Tak bisa diasumsikan bahwa platform yang telah melewati serangkaian uji coba, serta merta sempurna ketika diluncurkan. Sehingga pengembang telah punya sikap pasti, saat terjadi penyimpangan penggunaan.
Komunitas itu, apa pun tema pembahasannya telah tersedia di FB. Untuk bergabung pada komunitas FB relatif mudah. Cukup klik tombol follow, interaksi antar anggota sudah bisa dilangsungkan. Memang ada beberapa komunitas FB yang dimoderasi.
Moderator punya kuasa mengizinkan atau tak mengizinkan masuknya calon peserta. Keanggotaan komunitas macam ini lebih tertutup, dan perlu langkah tambahan untuk diizinkan. Hari ini, aneka komunitas tampak berkembang pada platform WA.
Hal penting yang diperoleh dari penelitian itu, karena anggota komunitas cenderung punya minat dan keprihatinan yang terhubung, senada dan searah, kolaborasi terbentuk cepat.
Pembelajaran kolaboratif yang memperkuat ide atau gagasan sejenis, intensif terjadi. Hampir tak terjadi persilangan pendapat, malah terjadi penguatan pemahaman awal. Sehingga adanya pendapat yang cenderung beda, akan tersingkir. Komunitas berkembang hanya menampung pendapat yang koherens. Makin yakin dan intoleran, terhadap perbedaan.
Sehingga dalam kasus adanya percakapan yang bersifat self-harm maupun kecenderungan bunuh diri dari pertanyaan di atas, dapat dipahami sebagai akumulasi pendapat sejenis tanpa tandingan. Ini melahirkan sikap: "kalau salah akan terjerumus makin salah dan jika benar akan fanatik diyakini".
Suatu keadaan yang berujung pada terjebaknya seseorang pada situasi filter bubble dan echo chamber, sebagaimana diuraikan oleh Cathy O’ Neil 2016 dalam Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy, maupun oleh Ethan Zuckerman, 2013 dalam Digital Cosmopolitan.
Tentu ini jadi dilema yang sulit dicari jalan keluarnya.
Pengembang FB maupun WA, tak ingin putar arah jarum jam, kembalikan media digital ke editor mediated media.Maka, ketika terjadi penyimpangan penggunaan media digital, yang kemudian ditengok adalah literasi penggunannya. Dalam hal kemunculan sikap ekstrem, intoleran, self harm hingga bunuh diri yang sifatnya structural, pengembang bertumpu pada literasi penggunanya.
Pengguna diharapkan lebih melek media baru. Selalukah literasi pengguna? Dalam banyak kasus, literasi tidak ada korelasinya dengan penyimpangan penggunaan. Platform, yang justru harus diperiksa. Tak bisa diasumsikan bahwa platform yang telah melewati serangkaian uji coba, serta merta sempurna ketika diluncurkan. Sehingga pengembang telah punya sikap pasti, saat terjadi penyimpangan penggunaan.
tulis komentar anda