Dilema Pengarsipan Film
Senin, 12 Juni 2023 - 12:53 WIB
Kita sadari bersama, sebagai konservasi pengetahuan, arsip berupa film memiliki arti penting dalam berbagai aspek kehidupan dan kegiatan manusia. Arsip film membantu dalam mempertahankan dan melestarikan pengetahuan, informasi, dan sejarah. Melalui arsip, pengalaman dan kegiatan masa lalu dapat dicatat dan diakses oleh generasi mendatang. Hal ini memungkinkan kita untuk mempelajari sesuatu dari masa lalu, menghindari kesalahan yang sama, dan membangun pengetahuan yang berkelanjutan.
Arsip film menyediakan bahan berharga bagi penelitian dan pendidikan. Para peneliti dapat mengakses film dapat digunakan untuk mempelajari perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya. Arsip juga mendukung pendidikan dengan menyediakan materi referensi yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar. Sebagi warisan budaya, arsip menjaga dan mempromosikan warisan budaya suatu bangsa atau komunitas tertentu. Gambar-gambar dalam film dapat membantu mengidentifikasi, memelihara, dan menyampaikan nilai-nilai, tradisi, dan identitas budaya kepada generasi yang akan datang.
Tak cuma dengan UU Perfilman saja pengarsipan film ini mengalami dilema. Sebab ada juga Undang-Undang No. 13 Tahun 2018 Tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Di undang-undang ini yang dimaksud Karya Cetak adalah setiap karya intelektual dan/atau artistik yang diterbitkan dalam bentuk cetak yang diperuntukkan bagi umum. Sedangkan yang dimaksud dengan karya rekam adalah setiap karya intelektual dan/atau artistik yang direkam, baik audio maupun visual dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang diperuntukkan bagi umum.
Pelaksanaan serah simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (Pasal 3) bertujuan untuk: a. mewujudkan koleksi nasional dan melestarikannya sebagai hasil budaya bangsa dalam rangka menunjang pembangunan melalui pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan b. menyelamatkan Karya Cetak dan Karya Rekam dari ancaman bahaya yang disebabkan oleh alam dan/atau perbuatan manusia.
Sedangkan Pasal 5 berbunyi: (1) Setiap Produsen Karya Rekam yang memublikasikan Karya Rekam wajib menyerahkan 1 (satu) salinan rekaman dari setiap judul Karya Rekam kepada Perpustakaan Nasional dan 1 (satu) salinan kepada Perpustakaan Provinsi tempat domisili Produsen Karya Rekam. (2) Penyerahan Karya Rekam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) tahun setelah dipublikasikan. (3) Karya Rekam yang wajib diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi nilai sejarah, budaya, pendidikan, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lagi-lagi, dilema yang sama terjadi. Dalam undang-undang itu malah setiap produsen yang mempublikasikan karya rekan diwajibkan menyerahkabn 1 (satu) salinan kepada perpustakaan nasional dan satu salinan ke perpustakaan provinsi tempat produsen berdomisili. Makin berat dan makin diragukan efektivitas undang-undang itu. Karena hal ini menyangkut masalah ekonomi dan perlindungan film yang akan diserahkan.
Akhirnya, sekali lagi, arsip film memang memiliki nilai penting dalam menjaga keberlanjutan pengetahuan, melacak sejarah, dan melindungi warisan budaya. Bagaimana proses pengarsipan film ini hendak dijalankan, itulah yang menjadi persoalan bersama. Maka, ada baiknya pemerintah beserta seluruh pemangku kepentingan perfilman Indonesia duduk bersama agar masalah ini dapat ditemukan jalan keluarnya. Misalnya, dengan cara membeli film yang hendakn dikoleksi kepada priduser atau pemiliknya.
Arsip film menyediakan bahan berharga bagi penelitian dan pendidikan. Para peneliti dapat mengakses film dapat digunakan untuk mempelajari perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya. Arsip juga mendukung pendidikan dengan menyediakan materi referensi yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar. Sebagi warisan budaya, arsip menjaga dan mempromosikan warisan budaya suatu bangsa atau komunitas tertentu. Gambar-gambar dalam film dapat membantu mengidentifikasi, memelihara, dan menyampaikan nilai-nilai, tradisi, dan identitas budaya kepada generasi yang akan datang.
Tak cuma dengan UU Perfilman saja pengarsipan film ini mengalami dilema. Sebab ada juga Undang-Undang No. 13 Tahun 2018 Tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Di undang-undang ini yang dimaksud Karya Cetak adalah setiap karya intelektual dan/atau artistik yang diterbitkan dalam bentuk cetak yang diperuntukkan bagi umum. Sedangkan yang dimaksud dengan karya rekam adalah setiap karya intelektual dan/atau artistik yang direkam, baik audio maupun visual dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang diperuntukkan bagi umum.
Pelaksanaan serah simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (Pasal 3) bertujuan untuk: a. mewujudkan koleksi nasional dan melestarikannya sebagai hasil budaya bangsa dalam rangka menunjang pembangunan melalui pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan b. menyelamatkan Karya Cetak dan Karya Rekam dari ancaman bahaya yang disebabkan oleh alam dan/atau perbuatan manusia.
Sedangkan Pasal 5 berbunyi: (1) Setiap Produsen Karya Rekam yang memublikasikan Karya Rekam wajib menyerahkan 1 (satu) salinan rekaman dari setiap judul Karya Rekam kepada Perpustakaan Nasional dan 1 (satu) salinan kepada Perpustakaan Provinsi tempat domisili Produsen Karya Rekam. (2) Penyerahan Karya Rekam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) tahun setelah dipublikasikan. (3) Karya Rekam yang wajib diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi nilai sejarah, budaya, pendidikan, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lagi-lagi, dilema yang sama terjadi. Dalam undang-undang itu malah setiap produsen yang mempublikasikan karya rekan diwajibkan menyerahkabn 1 (satu) salinan kepada perpustakaan nasional dan satu salinan ke perpustakaan provinsi tempat produsen berdomisili. Makin berat dan makin diragukan efektivitas undang-undang itu. Karena hal ini menyangkut masalah ekonomi dan perlindungan film yang akan diserahkan.
Akhirnya, sekali lagi, arsip film memang memiliki nilai penting dalam menjaga keberlanjutan pengetahuan, melacak sejarah, dan melindungi warisan budaya. Bagaimana proses pengarsipan film ini hendak dijalankan, itulah yang menjadi persoalan bersama. Maka, ada baiknya pemerintah beserta seluruh pemangku kepentingan perfilman Indonesia duduk bersama agar masalah ini dapat ditemukan jalan keluarnya. Misalnya, dengan cara membeli film yang hendakn dikoleksi kepada priduser atau pemiliknya.
(wur)
tulis komentar anda