Dilema Pengarsipan Film
Senin, 12 Juni 2023 - 12:53 WIB
Kemala Atmojo
Peminat fisafat, hukum dan seni.
Problem lain yang dilematis dalam industri perfilman kita adalah pengarsipan film. Dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilaman sebagaimana diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, masalah pengarsipan ini diatur dalam dua Pasal 38 dan 39.
Sebelum membahas lebih jauh, kita lihat dulu ketentuan perundang-undangan atau peraturan lain yang berkaitan dengan pengarsipan film. Dalam undang-undang perfilman Pasal 38, dikatakan bahwa pengarsipan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pengarsipan atau pelaku usaha pengarsipan. Pengarsipan juga boleh dilakukan oleh perorangan, badan usaha, Pemerintah dan pemerintah daerah. Nah, ayat (3) intinya mengatakan begini: “Pemerintah membentuk pusat pengarsipan film Indonesia”.
Mulai dari sini dilema dimulai. Apakah itu artinya Kemendikbud (sekarang: Kemendikbud Ristek Dikti) membuat lembaga baru atau langsung mengakuisisi lembaga pengarsipan film yang sudah ada, misalnya, Sinematek? Dua pilihan dengan dua konsekuensi yang bebeda. Tetapi, kenyataannya, sejak undang-undang perfilman disahkan (2009) dan Permendikbud tentang pengarsipan film dikeluarkan (2019), hingga tulisan ini dibuat (awal Juni 2023), saya belum mendengar ada “pusat pengersipan film Indonesia” yang dibentuk. Juga tidak terdengar bahwa Kemendikbud mengakuisisi Sinematek.
Kemudian, Pasal 39 Ayat (1) UU Perfilman mengatakan: “Pelaku usaha pembuatan film menyerahkan salah satu “kopi-jadi” film dari setiap film yang dimilikinya kepada “pusat pengarsipan film Indonesia” untuk disimpan sebagai arsip paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal terakhir film dipertunjukkan.”
Ini dilema kedua. Kita tahu, sebuah film memiliki hak moral, dan hak ekonomi. Umur eksploitasi hak ekonomi sebuah film (sinematografi) waktunya cukup panjang, yakni 50 tahun sejak pertama kali dilakukan Penguman. Selama lima puluh tahun itulah pemilik film dapat “menjual” filmnya melalui berbagai media atau platform digital. Maka, belum tentu pelaku usaha, pemilik hak cipta, atau produser mau menyerahkan secara suka rela “kopi-jadi” setiap film miliknya kepada “pusat pengarsipan film Indonesia”. Bisa jadi mereka takut terjadi pembajakan atau sebab yang lain. Apalagi, di zaman Over The Top (OTT) seperti sekarang, yang mana hampir semua orang bisa dengan mudah meng-upload atau mentransfer file digital melalui jaringan Internet.
Maka, aturan turunan dari undang-undang perfilman itu, yakni Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 41 Tahun 2019 tentang Pengarsipan Film, jelas tidak efektif. Apalagi, “permintan” dalam Permendikbud ini semakin melebar, yakni: a. Film yang diproduksi oleh pelaku kegiatan dan pelaku usaha perfilman Indonesia; b. Film yang keseluruhan atau sebagian isinya bercerita tentang Indonesia; c. Film yang keseluruhan atau sebagian isinya bercerita tentang Indonesia pra kemerdekaan; d. Film yang diproduksi di wilayah Indonesia; dan/atau e. Film yang diproduksi di wilayah Indonesia pra kemerdekaan.
Dalam Permendibud itu juga disebutkan bahwa penyerahan kopi-jadi film itu harus diberikan dalam waku (1) tahun terhitung sejak tanggal terakhir Film dipertunjukkan melalui bioskop atau paling lama 1 (satu) tahun setelah pertama kali dipertunjukkan kepada masyarakat apabila Film itu tidak dipertunjukkan melalui bioskop.
Peminat fisafat, hukum dan seni.
Problem lain yang dilematis dalam industri perfilman kita adalah pengarsipan film. Dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilaman sebagaimana diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, masalah pengarsipan ini diatur dalam dua Pasal 38 dan 39.
Sebelum membahas lebih jauh, kita lihat dulu ketentuan perundang-undangan atau peraturan lain yang berkaitan dengan pengarsipan film. Dalam undang-undang perfilman Pasal 38, dikatakan bahwa pengarsipan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pengarsipan atau pelaku usaha pengarsipan. Pengarsipan juga boleh dilakukan oleh perorangan, badan usaha, Pemerintah dan pemerintah daerah. Nah, ayat (3) intinya mengatakan begini: “Pemerintah membentuk pusat pengarsipan film Indonesia”.
Mulai dari sini dilema dimulai. Apakah itu artinya Kemendikbud (sekarang: Kemendikbud Ristek Dikti) membuat lembaga baru atau langsung mengakuisisi lembaga pengarsipan film yang sudah ada, misalnya, Sinematek? Dua pilihan dengan dua konsekuensi yang bebeda. Tetapi, kenyataannya, sejak undang-undang perfilman disahkan (2009) dan Permendikbud tentang pengarsipan film dikeluarkan (2019), hingga tulisan ini dibuat (awal Juni 2023), saya belum mendengar ada “pusat pengersipan film Indonesia” yang dibentuk. Juga tidak terdengar bahwa Kemendikbud mengakuisisi Sinematek.
Kemudian, Pasal 39 Ayat (1) UU Perfilman mengatakan: “Pelaku usaha pembuatan film menyerahkan salah satu “kopi-jadi” film dari setiap film yang dimilikinya kepada “pusat pengarsipan film Indonesia” untuk disimpan sebagai arsip paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal terakhir film dipertunjukkan.”
Ini dilema kedua. Kita tahu, sebuah film memiliki hak moral, dan hak ekonomi. Umur eksploitasi hak ekonomi sebuah film (sinematografi) waktunya cukup panjang, yakni 50 tahun sejak pertama kali dilakukan Penguman. Selama lima puluh tahun itulah pemilik film dapat “menjual” filmnya melalui berbagai media atau platform digital. Maka, belum tentu pelaku usaha, pemilik hak cipta, atau produser mau menyerahkan secara suka rela “kopi-jadi” setiap film miliknya kepada “pusat pengarsipan film Indonesia”. Bisa jadi mereka takut terjadi pembajakan atau sebab yang lain. Apalagi, di zaman Over The Top (OTT) seperti sekarang, yang mana hampir semua orang bisa dengan mudah meng-upload atau mentransfer file digital melalui jaringan Internet.
Maka, aturan turunan dari undang-undang perfilman itu, yakni Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 41 Tahun 2019 tentang Pengarsipan Film, jelas tidak efektif. Apalagi, “permintan” dalam Permendikbud ini semakin melebar, yakni: a. Film yang diproduksi oleh pelaku kegiatan dan pelaku usaha perfilman Indonesia; b. Film yang keseluruhan atau sebagian isinya bercerita tentang Indonesia; c. Film yang keseluruhan atau sebagian isinya bercerita tentang Indonesia pra kemerdekaan; d. Film yang diproduksi di wilayah Indonesia; dan/atau e. Film yang diproduksi di wilayah Indonesia pra kemerdekaan.
Dalam Permendibud itu juga disebutkan bahwa penyerahan kopi-jadi film itu harus diberikan dalam waku (1) tahun terhitung sejak tanggal terakhir Film dipertunjukkan melalui bioskop atau paling lama 1 (satu) tahun setelah pertama kali dipertunjukkan kepada masyarakat apabila Film itu tidak dipertunjukkan melalui bioskop.
tulis komentar anda