Denny JA Tawarkan Pandangan Baru dalam Hubungan Antaragama
Minggu, 11 Juni 2023 - 12:45 WIB
“Rumusan itu sangat kuat. Rumusan itu mengubah perspektif tentang hubungan antaragama yang selama ini cenderung dilihat dalam bingkai teologi atau keimanan. Rumusan itu mampu menerobos tembok pembatas antaragama yang sudah terbangun berabad-abad,” tegas penulis yang juga peneliti dari CSRC UIN Jakarta tersebut.
Sejarah agama, lanjutnya, didikte oleh teologi eksklusif yang menyingkirkan orang lain. Memandang yang lain sebagai musuh abadi yang harus dimusnahkan. Maka lahirlah teologi kebencian yang dipeluk bukan hanya oleh kaum ekstremis dan teroris melainkan juga oleh mereka yang mendukung dan mengamini secara diam-diam tindakan para teroris itu.
Menurut Gaus, teologi kebencian tertanam sangat dalam di lubuk hati para pemeluk agama ketika berhadapan dengan pemeluk agama lain. Kekerasan atas nama agama, termasuk perang dan terorisme adalah perwujudan sejati dari teologi kebencian ini. Maka kaum sekular dan ateis menuduh agama bertanggung jawab atas berbagai kekerasan berdarah di muka bumi.
Untuk keluar dari jebakan teologi kebencian ini, lanjutnya, tidak mudah karena jeratnya sudah terpasang di mana-mana: keluarga, lingkungan, tempat ibadah, sekolah, dll. Itu pula yang memicu konflik dan permusuhan atas nama agama.
Padahal agama-agama secara inhern dalam dirinya mengandung ajaran kasih sayang dan perdamaian. Seharusnya itu menjadi argumen untuk keluar dari jebakan teologi kebencian.
“Maka rumusan Denny JA bahwa agama-agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia, sangat penting karena menjadi argumen untuk keluar dari jebakan teologi kebencian tersebut. Sekaligus menjadi seruan kepada setiap pemeluk agama untuk memandang agama dan tradisi keimanan yang lain sebagai miliknya juga. Sebab sejarah agama dibentuk oleh kita bersama, manusia dan peradabannya,” pungkas Gaus.
Sejarah agama, lanjutnya, didikte oleh teologi eksklusif yang menyingkirkan orang lain. Memandang yang lain sebagai musuh abadi yang harus dimusnahkan. Maka lahirlah teologi kebencian yang dipeluk bukan hanya oleh kaum ekstremis dan teroris melainkan juga oleh mereka yang mendukung dan mengamini secara diam-diam tindakan para teroris itu.
Menurut Gaus, teologi kebencian tertanam sangat dalam di lubuk hati para pemeluk agama ketika berhadapan dengan pemeluk agama lain. Kekerasan atas nama agama, termasuk perang dan terorisme adalah perwujudan sejati dari teologi kebencian ini. Maka kaum sekular dan ateis menuduh agama bertanggung jawab atas berbagai kekerasan berdarah di muka bumi.
Untuk keluar dari jebakan teologi kebencian ini, lanjutnya, tidak mudah karena jeratnya sudah terpasang di mana-mana: keluarga, lingkungan, tempat ibadah, sekolah, dll. Itu pula yang memicu konflik dan permusuhan atas nama agama.
Padahal agama-agama secara inhern dalam dirinya mengandung ajaran kasih sayang dan perdamaian. Seharusnya itu menjadi argumen untuk keluar dari jebakan teologi kebencian.
“Maka rumusan Denny JA bahwa agama-agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia, sangat penting karena menjadi argumen untuk keluar dari jebakan teologi kebencian tersebut. Sekaligus menjadi seruan kepada setiap pemeluk agama untuk memandang agama dan tradisi keimanan yang lain sebagai miliknya juga. Sebab sejarah agama dibentuk oleh kita bersama, manusia dan peradabannya,” pungkas Gaus.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda