Siap (kah) Menyambut Relokasi Industri ke Indonesia?
Jum'at, 24 Juli 2020 - 06:08 WIB
Dhenny Yuartha Junifta
Peneliti INDEF
COVID-19 menjadi badai sempurna yang memberikan guncangan pada sisi permintaan dan penawarannya sekaligus. Guncangannya memaksa pengaturan ulang wajah globalisasi yang telah lama diterima sebagai norma ekonomi dunia. Apabila dirunut dalam sejarah, memang krisis akan selalu diikuti distorsi lebih lanjut melalui proteksionisme. Depresi besar 1930 telah mendorong banyak negara untuk melakukan restriksi impor besar-besaran yang hasilnya adalah efek spiral proteksionisme. Sebaliknya, krisis 2008 menampakkan distorsi lanjutan melalui subsidi ekspor kelewat batas serta dumping. Keduanya berbeda sama sekali dengan Covid-19 di mana proteksionisme ditunjukkan dengan pembatasan ekspor, eskalasi perang dagang, dan propaganda Amerika Serikat-China.
Kini, banyak negara mulai melakukan penyeimbangan kekuatan melalui diversifikasi rantai pasok. Sebab, ketergantungan yang besar pada ekonomi China menyimpan risiko. Disrupsi rantai pasok di negara ini sangat besar pengaruhnya terhadap fleksibilitas pasokan input industri dunia. Provinsi Hubei sebagai pusat penyebaran Covid-19 adalah jantung rantai pasok untuk produk teknologi tinggi dunia. Disrupsi rantai pasok yang terjadi di daerah tersebut berpengaruh pada sekitar 4% produk domestik bruto (PDB) China. Selain itu, perusahaan manufaktur di seluruh dunia juga dengan cepat mendapatkan pukulan telak.
Ke depan, globalisasi akan berlangsung dengan lebih sedikit karakter China. Hal ini didukung oleh pemerintahan Trump yang mendorong perusahaan AS untuk keluar dari China. Selain itu, daftar larangan ekspor kepada perusahaan kini telah menembus angka 159 dari 51 perusahaan pada 2016. Dua pertiga tambahannya adalah perusahaan yang berasal dari China. Selanjutnya, regionalisasi juga akan menjadi isu penting lainnya. Regionalisasi ini terlihat melalui diversifikasi rantai pasok perusahaan asing ke pusat manufaktur lainnya, seperti Vietnam dan India untuk kawasan Asia, dan Meksiko untuk kawasan Amerika. Selain itu, desentralisasi produksi manufaktur ke domestik tentunya juga akan semakin mengemuka. Sementara itu, untuk bertahan pada jangka pendek, banyak industri memilih menggeser aktivitas produksinya. Seperti Korea Selatan dengan cepat muncul industri yang memproduksi alat tes (test kit) untuk virus korona. Ekspor alat tersebut selama kurun waktu Januari-April bahkan telah tembus senilai USD131 miliar.
Memang kondisi ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk melakukan reindusrialisasi setelah pandemi. Relokasi perusahaan multinasional ke Indonesia dapat menjadi suntikan investasi untuk pemulihan. Namun demikian, dua catatan penting mengapa momentum tersebut masih akan sulit untuk direalisasi. Pertama, kerentanan industri tergantung pada seberapa kompleks rantai pasoknya. Industri teknologi tinggi dengan rantai pasok yang kompleks, dampak kerentanan terhadap disrupsi lebih rendah dibandingkan sektor dengan rantai pasok yang sederhana. Estimasi World Bank untuk industri di Thailand menunjukkan akan hal ini (Malizewska et al, 2020). Masalahnya, komoditas primer dan teknologi rendah dengan rantai pasok yang pendek mendominasi struktur ekspor Indonesia. Kontribusi ekspor manufaktur Indonesia tak lebih dari 48% terhadap total ekspor barang. Sedangkan ekspor produk teknologi tinggi terhadap ekspor manufaktur justru menurun dari 13,4% pada 2006 menjadi hanya sekitar 5% pada 2018. Bandingkan dengan Vietnam di mana ekspor manufaktur menyumbang lebih dari 85% terhadap ekspor barang, dan ekspor teknologi tingginya berkontribusi sekitar 30% terhadap ekspor manufaktur.
Kedua, sepanjang hubungan AS-China yang semakin memanas di tengah Covid-19, relokasi perusahaan multinasional dari China akan bergerak ke daerah dengan kedekatan geografis dengan negara tersebut. Pertimbangannya adalah efisiensi biaya dan kedekatan konsumen. Sebab, efisiensi biaya apabila produksi dilakukan di China sangatlah besar. Butuh waktu sekitar lima tahun rekonfigurasi rantai pasok di negara lain agar tercapai biaya semurah di China (Parker, 2020). Satu hal yang tak kalah penting bahwa diversifikasi rantai pasok ini bukan berarti divestasi besar-besaran terhadap investasi asing ke China, melainkan strategi bisnis untuk mengantisipasi risiko karena terlalu bergantung pada satu negara. Sebab, potensi pasar industri di China masih sangatlah besar. Inilah mengapa Vietnam menjadi tempat potensial untuk relokasi industri bila dibandingkan dengan Indonesia.
Reformasi panjang masih perlu dilakukan oleh Indonesia. Berkaca dari Vietnam, reformasi industri dan kemudahan berusaha sudah dimulai sejak 1995. Sehingga, konflik dagang antarnegara maju dan krisis pandemi mendorong luberan investasi ke Vietnam lebih deras lagi. Selain itu, keberhasilan pemerintah Vietnam dalam mengantisipasi penyebaran Covid-19 memperkuat kepercayaan investor. Indonesia juga tak bisa lagi mengandalkan kompetisi upah murah. Sebab, rantai nilai global mensyaratkan tenaga kerja berketerampilan tinggi (knowledge-intensive). Kini, kontribusi investasi pada intangible asset terhadap penerimaan perusahaan telah meningkat dua kali lipat menjadi 13,1% sejak tahun 2000 (Lund et al , 2019). Selanjutnya, pergeseran produksi dengan cepat oleh industri di tengah pandemi seperti yang dipraktikkan oleh Korea Selatan sangat dipengaruhi faktor yang telah lama terbentuk di negara tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah, jaringan pasok internasional, keterampilan dalam alokasi sumber rantai pasok, reaktivitas (reactivity), dan kelincahan industri (Miroudot, 2020). Tentu saja, segala keterampilan tersebut adalah hasil dari pengalaman yang tidak akan hadir di tengah iklim usaha yang antikompetisi, berbiaya mahal, dan kebijakan yang bersudut pandang ke dalam (inward looking policy).
Peneliti INDEF
COVID-19 menjadi badai sempurna yang memberikan guncangan pada sisi permintaan dan penawarannya sekaligus. Guncangannya memaksa pengaturan ulang wajah globalisasi yang telah lama diterima sebagai norma ekonomi dunia. Apabila dirunut dalam sejarah, memang krisis akan selalu diikuti distorsi lebih lanjut melalui proteksionisme. Depresi besar 1930 telah mendorong banyak negara untuk melakukan restriksi impor besar-besaran yang hasilnya adalah efek spiral proteksionisme. Sebaliknya, krisis 2008 menampakkan distorsi lanjutan melalui subsidi ekspor kelewat batas serta dumping. Keduanya berbeda sama sekali dengan Covid-19 di mana proteksionisme ditunjukkan dengan pembatasan ekspor, eskalasi perang dagang, dan propaganda Amerika Serikat-China.
Kini, banyak negara mulai melakukan penyeimbangan kekuatan melalui diversifikasi rantai pasok. Sebab, ketergantungan yang besar pada ekonomi China menyimpan risiko. Disrupsi rantai pasok di negara ini sangat besar pengaruhnya terhadap fleksibilitas pasokan input industri dunia. Provinsi Hubei sebagai pusat penyebaran Covid-19 adalah jantung rantai pasok untuk produk teknologi tinggi dunia. Disrupsi rantai pasok yang terjadi di daerah tersebut berpengaruh pada sekitar 4% produk domestik bruto (PDB) China. Selain itu, perusahaan manufaktur di seluruh dunia juga dengan cepat mendapatkan pukulan telak.
Ke depan, globalisasi akan berlangsung dengan lebih sedikit karakter China. Hal ini didukung oleh pemerintahan Trump yang mendorong perusahaan AS untuk keluar dari China. Selain itu, daftar larangan ekspor kepada perusahaan kini telah menembus angka 159 dari 51 perusahaan pada 2016. Dua pertiga tambahannya adalah perusahaan yang berasal dari China. Selanjutnya, regionalisasi juga akan menjadi isu penting lainnya. Regionalisasi ini terlihat melalui diversifikasi rantai pasok perusahaan asing ke pusat manufaktur lainnya, seperti Vietnam dan India untuk kawasan Asia, dan Meksiko untuk kawasan Amerika. Selain itu, desentralisasi produksi manufaktur ke domestik tentunya juga akan semakin mengemuka. Sementara itu, untuk bertahan pada jangka pendek, banyak industri memilih menggeser aktivitas produksinya. Seperti Korea Selatan dengan cepat muncul industri yang memproduksi alat tes (test kit) untuk virus korona. Ekspor alat tersebut selama kurun waktu Januari-April bahkan telah tembus senilai USD131 miliar.
Memang kondisi ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk melakukan reindusrialisasi setelah pandemi. Relokasi perusahaan multinasional ke Indonesia dapat menjadi suntikan investasi untuk pemulihan. Namun demikian, dua catatan penting mengapa momentum tersebut masih akan sulit untuk direalisasi. Pertama, kerentanan industri tergantung pada seberapa kompleks rantai pasoknya. Industri teknologi tinggi dengan rantai pasok yang kompleks, dampak kerentanan terhadap disrupsi lebih rendah dibandingkan sektor dengan rantai pasok yang sederhana. Estimasi World Bank untuk industri di Thailand menunjukkan akan hal ini (Malizewska et al, 2020). Masalahnya, komoditas primer dan teknologi rendah dengan rantai pasok yang pendek mendominasi struktur ekspor Indonesia. Kontribusi ekspor manufaktur Indonesia tak lebih dari 48% terhadap total ekspor barang. Sedangkan ekspor produk teknologi tinggi terhadap ekspor manufaktur justru menurun dari 13,4% pada 2006 menjadi hanya sekitar 5% pada 2018. Bandingkan dengan Vietnam di mana ekspor manufaktur menyumbang lebih dari 85% terhadap ekspor barang, dan ekspor teknologi tingginya berkontribusi sekitar 30% terhadap ekspor manufaktur.
Kedua, sepanjang hubungan AS-China yang semakin memanas di tengah Covid-19, relokasi perusahaan multinasional dari China akan bergerak ke daerah dengan kedekatan geografis dengan negara tersebut. Pertimbangannya adalah efisiensi biaya dan kedekatan konsumen. Sebab, efisiensi biaya apabila produksi dilakukan di China sangatlah besar. Butuh waktu sekitar lima tahun rekonfigurasi rantai pasok di negara lain agar tercapai biaya semurah di China (Parker, 2020). Satu hal yang tak kalah penting bahwa diversifikasi rantai pasok ini bukan berarti divestasi besar-besaran terhadap investasi asing ke China, melainkan strategi bisnis untuk mengantisipasi risiko karena terlalu bergantung pada satu negara. Sebab, potensi pasar industri di China masih sangatlah besar. Inilah mengapa Vietnam menjadi tempat potensial untuk relokasi industri bila dibandingkan dengan Indonesia.
Reformasi panjang masih perlu dilakukan oleh Indonesia. Berkaca dari Vietnam, reformasi industri dan kemudahan berusaha sudah dimulai sejak 1995. Sehingga, konflik dagang antarnegara maju dan krisis pandemi mendorong luberan investasi ke Vietnam lebih deras lagi. Selain itu, keberhasilan pemerintah Vietnam dalam mengantisipasi penyebaran Covid-19 memperkuat kepercayaan investor. Indonesia juga tak bisa lagi mengandalkan kompetisi upah murah. Sebab, rantai nilai global mensyaratkan tenaga kerja berketerampilan tinggi (knowledge-intensive). Kini, kontribusi investasi pada intangible asset terhadap penerimaan perusahaan telah meningkat dua kali lipat menjadi 13,1% sejak tahun 2000 (Lund et al , 2019). Selanjutnya, pergeseran produksi dengan cepat oleh industri di tengah pandemi seperti yang dipraktikkan oleh Korea Selatan sangat dipengaruhi faktor yang telah lama terbentuk di negara tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah, jaringan pasok internasional, keterampilan dalam alokasi sumber rantai pasok, reaktivitas (reactivity), dan kelincahan industri (Miroudot, 2020). Tentu saja, segala keterampilan tersebut adalah hasil dari pengalaman yang tidak akan hadir di tengah iklim usaha yang antikompetisi, berbiaya mahal, dan kebijakan yang bersudut pandang ke dalam (inward looking policy).
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda