Waspada Terpukul Resesi
Kamis, 23 Juli 2020 - 06:58 WIB
PANDEMI korona (Covid-19) benar-benar membuat sengsara penduduk bumi. Selain dirasakan sektor kesehatan, dampak dari virus asal Wuhan China ini juga menggoyang bidang keamanan, sosial, dan ekonomi. Negara yang disebut-sebut memiliki fondasi ekonomi paling kuat di Asia Tenggara, Singapura, pun terjerembab ke jurang resesi.
Para ahli, para pakar ekonomi menyebutkan, suatu negara disebut mengalami resesi jika ekonominya minus selama dua kuartal berturut-turut. Itu merupakan istilah, konsep yang menjadi "konsensus" para pakar, para ahli. Sejatinya tanda sebuah negara akan terjerembab ke jurang resesi antara lain turunnya pendapatan masyarakatnya yang berakibat pada daya beli yang turun. Kemudian laju pemutusan hubungan kerja (PHK) tinggi. Juga kegiatan perdagangan yang lesu, kegiatan produksi yang turun, serta transaksi keuangan yang terus merosot.
Ekonomi Singapura merupakan salah satu yang paling terbuka di dunia. Korupsinya rendah, di peringkat ketujuh dari seluruh negara di bumi. Singapura juga dikenal paling probisnis. Kutipan pajak kepada pelaku bisnis pun sangat rendah. Bahkan pendapatan domesik bruto (PDB) per kapita Singapura tertinggi ketiga di dunia.
Namun Singapura tak bisa melawan serangan Covid-19 yang sampai sekarang belum ada obatnya. Virus korona ini membuat ekonomi Singapura minus 41,2%. Perdagangan global yang anjlok telah memorakporandakan sektor manufaktur Singapura yang bergantung pada ekspor. Industri konstruksi berhenti, begitu pula industri ritelnya yang mati suri karena penjualan yang anjlok cukup dalam.
Sejarah mencatat krisis di negara dengan fondasi ekonomi yang kuat cenderung merembet ke negara-negara lain di sekitarnya. Hal itu yang terjadi pada 1998 dan 2008 silam. Inilah yang perlu diwaspadai negara di kawasan Asia Tengara lainnya, termasuk Indonesia.
Langkah pemerintah membentuk Tim Pemulihan Ekonomi dan Penanganan Covid-19 merupakan langkah jitu. Meskipun ekonomi bakal minus seperti halnya Singapura, setidaknya Indonesia sudah memiliki senjata untuk melakukan pemulihan secara sistematis. Ekonomi Indonesia diprediksi minus hingga 3% pada tahun ini. Situasi ekonomi yang memburuk sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain di dunia.
Meski pandemi bersifat global, pemerintah tetap harus waspada dan siap siaga memitigasi kemungkinan resesi ekonomi. Khususnya terkait dengan kebijakan melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah tingginya kasus penularan virus korona yang menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat. Masyarakat khawatir jumlah kasus positif terus melonjak jika tak ada ketegasan dari pemerintah soal pembatasan di ruang publik.
Efektivitas berbagai kebijakan di masa pandemi, termasuk upaya pemulihan ekonomi nasional, harus terukur. Realisasi belanja kementerian/lembaga harus dipercepat agar ekonomi segera bergerak. Juga realisasi berbagai insentif yang sudah dijanjikan kepada para pelaku usaha, baik sektor manufaktur, perdagangan, ritel maupun konsumsi. Terutama anggaran untuk sektor kesehatan harus segera digelontorkan.
Sebab data Kementerian Keuangan per 3 Juli 2020 menunjukkan realisasi di sektor kesehatan baru sebesar 4,68%, bansos 34,06%, kementerian/lembaga dan pemda 4,01%, UMKM 22,74%, pembiayaan korporasi 0%, dan insentif usaha 15%.
Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 hanya 0%. Artinya ekonomi Indonesia bakal stagnan tahun ini. Apalagi masih ada ancaman gelombang kedua penularan virus korona. Jika ini terjadi, ekonomi domestik akan semakin melambat.
Dana Moneter Internasional memberikan prediksi lebih moderat dengan memperkirakan ekonomi Indonesia hanya minus 0,3% tahun ini. IMF memprediksi ekonomi Indonesia kembali positif pada 2021 di level 6,1%. Proyeksi itu menurun 2,1 poin persentase dari sebelumnya 8,2%. Langkah strategis dan taktis dari Pemerintah Indonesialah yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari jurang resesi.
Para ahli, para pakar ekonomi menyebutkan, suatu negara disebut mengalami resesi jika ekonominya minus selama dua kuartal berturut-turut. Itu merupakan istilah, konsep yang menjadi "konsensus" para pakar, para ahli. Sejatinya tanda sebuah negara akan terjerembab ke jurang resesi antara lain turunnya pendapatan masyarakatnya yang berakibat pada daya beli yang turun. Kemudian laju pemutusan hubungan kerja (PHK) tinggi. Juga kegiatan perdagangan yang lesu, kegiatan produksi yang turun, serta transaksi keuangan yang terus merosot.
Ekonomi Singapura merupakan salah satu yang paling terbuka di dunia. Korupsinya rendah, di peringkat ketujuh dari seluruh negara di bumi. Singapura juga dikenal paling probisnis. Kutipan pajak kepada pelaku bisnis pun sangat rendah. Bahkan pendapatan domesik bruto (PDB) per kapita Singapura tertinggi ketiga di dunia.
Namun Singapura tak bisa melawan serangan Covid-19 yang sampai sekarang belum ada obatnya. Virus korona ini membuat ekonomi Singapura minus 41,2%. Perdagangan global yang anjlok telah memorakporandakan sektor manufaktur Singapura yang bergantung pada ekspor. Industri konstruksi berhenti, begitu pula industri ritelnya yang mati suri karena penjualan yang anjlok cukup dalam.
Sejarah mencatat krisis di negara dengan fondasi ekonomi yang kuat cenderung merembet ke negara-negara lain di sekitarnya. Hal itu yang terjadi pada 1998 dan 2008 silam. Inilah yang perlu diwaspadai negara di kawasan Asia Tengara lainnya, termasuk Indonesia.
Langkah pemerintah membentuk Tim Pemulihan Ekonomi dan Penanganan Covid-19 merupakan langkah jitu. Meskipun ekonomi bakal minus seperti halnya Singapura, setidaknya Indonesia sudah memiliki senjata untuk melakukan pemulihan secara sistematis. Ekonomi Indonesia diprediksi minus hingga 3% pada tahun ini. Situasi ekonomi yang memburuk sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain di dunia.
Meski pandemi bersifat global, pemerintah tetap harus waspada dan siap siaga memitigasi kemungkinan resesi ekonomi. Khususnya terkait dengan kebijakan melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah tingginya kasus penularan virus korona yang menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat. Masyarakat khawatir jumlah kasus positif terus melonjak jika tak ada ketegasan dari pemerintah soal pembatasan di ruang publik.
Efektivitas berbagai kebijakan di masa pandemi, termasuk upaya pemulihan ekonomi nasional, harus terukur. Realisasi belanja kementerian/lembaga harus dipercepat agar ekonomi segera bergerak. Juga realisasi berbagai insentif yang sudah dijanjikan kepada para pelaku usaha, baik sektor manufaktur, perdagangan, ritel maupun konsumsi. Terutama anggaran untuk sektor kesehatan harus segera digelontorkan.
Sebab data Kementerian Keuangan per 3 Juli 2020 menunjukkan realisasi di sektor kesehatan baru sebesar 4,68%, bansos 34,06%, kementerian/lembaga dan pemda 4,01%, UMKM 22,74%, pembiayaan korporasi 0%, dan insentif usaha 15%.
Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 hanya 0%. Artinya ekonomi Indonesia bakal stagnan tahun ini. Apalagi masih ada ancaman gelombang kedua penularan virus korona. Jika ini terjadi, ekonomi domestik akan semakin melambat.
Dana Moneter Internasional memberikan prediksi lebih moderat dengan memperkirakan ekonomi Indonesia hanya minus 0,3% tahun ini. IMF memprediksi ekonomi Indonesia kembali positif pada 2021 di level 6,1%. Proyeksi itu menurun 2,1 poin persentase dari sebelumnya 8,2%. Langkah strategis dan taktis dari Pemerintah Indonesialah yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari jurang resesi.
(ras)
tulis komentar anda