Memampukan Sistem Hukum Ketatanegaraan Kelola Ragam Krisis

Kamis, 20 April 2023 - 11:33 WIB
Tahun 1998, faktor ekonomi yang ditandai dengan jatuhnya nilai tukar rupiah dicatat sebagai awal krisis. Kegagalan pemerintah mengatasi krisis ekonomi menimbulkan ketidakpuasan berbagai elemen masyarakat. Mahasiswa turun ke jalan melancarkan protes atas maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kegagalan pemerintah menanggapi Protes yang meluas saat itu memicu krisis politik.

Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan mundur dari jabatannya sebagai Presiden dan menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden BJ Habibie. Dasar hukum pengangkatan B.J. Habibie sebagai presiden adalah Tap MPR No. VII/MPR/1973. Tap MPR ini menetapkan bahwa "Jika Presiden berhalangan, maka wakil Presiden ditetapkan menjadi Presiden”.

Pada dua krisis politik itu, MPR masih menggengam amanat penugasannya sesuai UUD 1945 untuk menjalankan kedaulatan rakyat dengan kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara. Sementara presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 (sebelum amendemen) adalah mandataris MPR. Presiden wajib melaksanakan Ketetapan MPR, dan juga diwajibkan memberi laporan pertanggungan jawab mengenai pelaksanaan Ketetapan MPR.

Pasca amendemen keempat UUD 1945, MPR bukan lagi Lembaga Tertinggi negara yang menjalankan kedaulatan rakyat. Status, MPR sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya, namun tidak sama. Sebab, DPR berwenang membuat UU, sementara Presiden berwenang menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu). MPR pasca amandemen tidak bisa lagi membuat ketetapan-ketetapan yang mengikat atau regeling (pengaturan yang mengikat). Bahkan, pada momentum pelantikan Presiden dan Wakil Presiden sekali pun, MPR tidak lagi memiliki kewajiban membuat ketetapan tentang pelantikan itu, melainkan hanya mengeluarkan Berita Acara Pelantikan.

Faktor minimnya peran dan fungsi MPR pada aspek hukum ketatanegaraan inilah yang menjadi catatan atau perhatian khusus Prof Yusril. Dia mengemukakan aspirasinya agar peran dan fungsi MPR diperkuat kembali. Penguatan itu hendaknya ditandai dengan memulihkan atau mengembalikan wewenang konstitusional MPR membuat ketetapan yang mengikat. Apalagi, hirarki perundang-undangan sudah ditetapkan oleh Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011, yakni UUD, ketetapan MPR, Undang Undang, Perpu hingga Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah (Perda).

Tidak ada tujuan lain di balik aspirasi pemulihan atau penguatan wewenang MPR. Satu-satunya tujuan strategis di balik aspirasi ini adalah menghadirkan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif agar negara-bangsa selalu dimampukan mengelola dan mengatasi aneka krisis, termasuk krisis politik.

Tentu saja, siapa pun tidak pernah menghendaki terjadinya krisis politik. Semua orang tahu, harga yang harus dibayar oleh sebuah krisis politik sangatlah mahal. Namun, kendati krisis politik atau krisis konstitusi tidak pernah diinginkan, tetap saja sebuah negara-bangsa harus antisipatif dengan memberlakukan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif.

Sekadar pengandaian, krisis politik akan terjadi jika Pemilu 2024 tidak dapat dilaksanakan tepat waktu karena alasan kedaruratan. Tentang penundaan Pemilu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.

Pasal 431 UU ini telah mengatur tentang penundaan Pemilu. Ditetapkan bahwa Pemilu bisa ditunda karena terjadinya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lain yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.

Sudah bisa diperkirakan bahwa begitu Pemilu harus ditunda, ragam permasalahan pada aspek ketatanegaraan segera mengemuka. Paling utama misalnya, belum tentu semua elemen masyarakat dapat menerima keputusan penundaan Pemilu. Mengelola persoalan seperti ini jelas tidak mudah. Penolakan seperti itu praktis menjadi benih krisis politik.

Kemudian, Pemilu yang tertunda berkonsekuensi pada potensi kekosongan pemerintahan jika diasumsikan pemerintah hasil Pemilu sebelumnya sudah demisioner. Sambil menunggu hasil Pemilu untuk mendapatkan pemerintahan baru yang legitimate, haruskah Republik Indonesia dibiarkan begitu tanpa administrasi pemerintahan yang memerintah? Krisis politik menjadi kenyataan tak terhindarkan oleh karena tidak adanya ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundang-undangan yang mengatur tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan kekosongan pemerintahan akibat penundaan Pemilu.

Belajar dari catatan sejarah tentang krisis politik 1966/1967 dan krisis politik 1998, menjadi relevan ketika Prof Yusril menyuarakan aspirasi tentang urgensi penguatan atau pemulihan tugas dan fungsi MPR. Aspirasi yang sama sudah berulangkali disuarakan unsur pimpinan MPR RI. Aspirasi ini tentu saja tidak semata-mata tentang pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga tinggi negara, melainkan dilandasi keniscayaan negara-bangsa berkemampuan mengelola dan mengatasi krisis politik dengan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif.

Untuk tujuan itu, kedudukan, fungsi dan tugas MPR patut diperkuat kembali tanpa harus mengubah UUD 1945. Penguatan itu bisa diwujudkan dengan kesediaan semua elemen bangsa untuk kembali pada hirarki perundang-undangan, agar negara-bangsa mampu mengantisipasi, mengelola dan mengatasi aneka krisis demi tegaknya eksistensi NKRI.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More