Memampukan Sistem Hukum Ketatanegaraan Kelola Ragam Krisis
Kamis, 20 April 2023 - 11:33 WIB
Memang benar bahwa perubahan zaman menghadirkan banyak manfaat bagi kehidupan bernegara-berbangsa. Namun, perubahan itu nyata-nyata pula telah menghadirkan potensi masalah. Semua potensi masalah itu wajib diwaspadai untuk kemudian disikapi.
Prof Yusril mengajak semua pihak untuk mengenang kembali krisis politik tahun 1966/1967 dan krisis politik tahun 1998. Krisis politik 1966/1967 terjadi akibat pergolakan berdarah yang dikenang sebagai peristiwa G-30-S/PKI. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menilai Presiden Sukarno gagal memberi pertanggungjawaban. Pada Sidang Istimewa MPRS 7 Maret 1967, MPRS mencabut kekuasaan Presiden Sukarno, untuk kemudian menetapkan Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia.
Tahun 1998, faktor ekonomi yang ditandai dengan jatuhnya nilai tukar rupiah dicatat sebagai awal krisis. Kegagalan pemerintah mengatasi krisis ekonomi menimbulkan ketidakpuasan berbagai elemen masyarakat. Mahasiswa turun ke jalan melancarkan protes atas maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kegagalan pemerintah menanggapi Protes yang meluas saat itu memicu krisis politik.
Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan mundur dari jabatannya sebagai Presiden dan menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden BJ Habibie. Dasar hukum pengangkatan B.J. Habibie sebagai presiden adalah Tap MPR No. VII/MPR/1973. Tap MPR ini menetapkan bahwa "Jika Presiden berhalangan, maka wakil Presiden ditetapkan menjadi Presiden”.
Pada dua krisis politik itu, MPR masih menggengam amanat penugasannya sesuai UUD 1945 untuk menjalankan kedaulatan rakyat dengan kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara. Sementara presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 (sebelum amendemen) adalah mandataris MPR. Presiden wajib melaksanakan Ketetapan MPR, dan juga diwajibkan memberi laporan pertanggungan jawab mengenai pelaksanaan Ketetapan MPR.
Pasca amendemen keempat UUD 1945, MPR bukan lagi Lembaga Tertinggi negara yang menjalankan kedaulatan rakyat. Status, MPR sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya, namun tidak sama. Sebab, DPR berwenang membuat UU, sementara Presiden berwenang menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu). MPR pasca amandemen tidak bisa lagi membuat ketetapan-ketetapan yang mengikat atau regeling (pengaturan yang mengikat). Bahkan, pada momentum pelantikan Presiden dan Wakil Presiden sekali pun, MPR tidak lagi memiliki kewajiban membuat ketetapan tentang pelantikan itu, melainkan hanya mengeluarkan Berita Acara Pelantikan.
Faktor minimnya peran dan fungsi MPR pada aspek hukum ketatanegaraan inilah yang menjadi catatan atau perhatian khusus Prof Yusril. Dia mengemukakan aspirasinya agar peran dan fungsi MPR diperkuat kembali. Penguatan itu hendaknya ditandai dengan memulihkan atau mengembalikan wewenang konstitusional MPR membuat ketetapan yang mengikat. Apalagi, hirarki perundang-undangan sudah ditetapkan oleh Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011, yakni UUD, ketetapan MPR, Undang Undang, Perpu hingga Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah (Perda).
Tidak ada tujuan lain di balik aspirasi pemulihan atau penguatan wewenang MPR. Satu-satunya tujuan strategis di balik aspirasi ini adalah menghadirkan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif agar negara-bangsa selalu dimampukan mengelola dan mengatasi aneka krisis, termasuk krisis politik.
Tentu saja, siapa pun tidak pernah menghendaki terjadinya krisis politik. Semua orang tahu, harga yang harus dibayar oleh sebuah krisis politik sangatlah mahal. Namun, kendati krisis politik atau krisis konstitusi tidak pernah diinginkan, tetap saja sebuah negara-bangsa harus antisipatif dengan memberlakukan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif.
tulis komentar anda