Renungan Ramadan dan Paskah, Membangkitkan Kembali Akhlak di Setiap Agama
Minggu, 16 April 2023 - 17:22 WIB
Bahkan, 10 negara yang membuat warganya paling bahagia, rata-rata hanya 31% populasinya menganggap agama penting dalam hidup mereka. "Ini menimbulkan pertanyaan yang mendasar. Mengapa di negara yang tak lagi menganggap agama penting justru mampu membuat warganya paling bahagia, makmur, pemerintahannya paling bersih dari korupsi, dan menghormati keberagaman?" ujar Denny JA.
Hal sebaliknya justru terjadi di negara yang 90% populasinya menganggap agama sangat penting, yakni Indonesia dengan mayoritas Islam, India (Hindu), Thailand (Buddha), dan Brasil (Katolik). Berdasarkan World Happiness Index, Indonesia hanya di ranking 80, India 136, Thailand 53, dan Brazil 34.
"Di negara yang menganggap agama minta ampun pentingnya, tapi justru tak mampu membuat warga negaranya paling bahagia, pemerintahan yang bersih dan sebagainya. Bagaimana kita menjelaskan fenomena itu? Mengapa di era ini agama tak lagi menjadi variabel yang membuat warga negaranya makmur, maju, dan bahagia? Apa yang salah?" kata pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu.
Denny JA mengungkapkan, dengan menyelami data tersebut, maka akan membuka mata mengenai realitas agama dalam praktiknya di Abad 21. Dia menyebut ada dua faktor yang bekerja saat ini yang menjadi penyebabnya. Pertama, berubahnya driving force peradaban.
Pada abad pertengahan dan sebelumnya, agama menjadi driving force utama peradaban. Namun, di era modern, driving force utama peradaban berpindah kepada ilmu pengetahuan dan manajemen modern. Untuk maju, makmur dan mampu membuat warga negara bahagia, tergantung dari kemampuan negara itu dalam mengelola ilmu pengetahuan dan manajemen modern, bukan oleh intensitas beragama.
Tanpa kemampuan mengelola ilmu pengetahuan dan manajemen modern secara optimal, sebuah negara tak akan mampu membuat warganya bahagia, walau intensitas beragama di negara itu begitu luas.
"Suka atau tidak, inilah realitas yang ada. Driving force peradaban utama sudah tak lagi di tangan hidup beragama," ujarnya.
Kedua, agama meredup sebagai kekuatan akhlak. Akibatnya, riuh rendah ritus agama tidak berlanjut pada perilaku sosial yang sesuai. Semakin terlihat ada kesenjangan antara doktrin agama dan peradaban yang dihasilkannya, ada jurang menganga antara keriuhan ritus agama dengan perilaku sosial penganutnya.
"Merenungkan Paskah dan Ramadan, saatnya kembali kita bangkitkan kekuatan compassion, kekuatan akhlak di setiap agama. Kita termasuk kelompok yang meyakini, kompleksitas batin manusia tak hanya bisa dipuaskan semata oleh kelimpahan ekonomi dan kemajuan teknologi. Manusia adalah makhluk spiritual yang memiliki tubuh," ujar Denny JA.
Menurutnya, kehangatan cinta dan indahnya kekudusan alam adalah sesuatu yang eksistensial yang perlu dihayati batin manusia. Karena itu, harta yang terpendam dalam samudera agama tetap berharga untuk terus digali. "Tapi apa itu harta paling mahal yang terpendam dalam samudera agama? Apa itu esensi agama?" kata Denny JA.
Hal sebaliknya justru terjadi di negara yang 90% populasinya menganggap agama sangat penting, yakni Indonesia dengan mayoritas Islam, India (Hindu), Thailand (Buddha), dan Brasil (Katolik). Berdasarkan World Happiness Index, Indonesia hanya di ranking 80, India 136, Thailand 53, dan Brazil 34.
"Di negara yang menganggap agama minta ampun pentingnya, tapi justru tak mampu membuat warga negaranya paling bahagia, pemerintahan yang bersih dan sebagainya. Bagaimana kita menjelaskan fenomena itu? Mengapa di era ini agama tak lagi menjadi variabel yang membuat warga negaranya makmur, maju, dan bahagia? Apa yang salah?" kata pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu.
Denny JA mengungkapkan, dengan menyelami data tersebut, maka akan membuka mata mengenai realitas agama dalam praktiknya di Abad 21. Dia menyebut ada dua faktor yang bekerja saat ini yang menjadi penyebabnya. Pertama, berubahnya driving force peradaban.
Pada abad pertengahan dan sebelumnya, agama menjadi driving force utama peradaban. Namun, di era modern, driving force utama peradaban berpindah kepada ilmu pengetahuan dan manajemen modern. Untuk maju, makmur dan mampu membuat warga negara bahagia, tergantung dari kemampuan negara itu dalam mengelola ilmu pengetahuan dan manajemen modern, bukan oleh intensitas beragama.
Tanpa kemampuan mengelola ilmu pengetahuan dan manajemen modern secara optimal, sebuah negara tak akan mampu membuat warganya bahagia, walau intensitas beragama di negara itu begitu luas.
"Suka atau tidak, inilah realitas yang ada. Driving force peradaban utama sudah tak lagi di tangan hidup beragama," ujarnya.
Kedua, agama meredup sebagai kekuatan akhlak. Akibatnya, riuh rendah ritus agama tidak berlanjut pada perilaku sosial yang sesuai. Semakin terlihat ada kesenjangan antara doktrin agama dan peradaban yang dihasilkannya, ada jurang menganga antara keriuhan ritus agama dengan perilaku sosial penganutnya.
"Merenungkan Paskah dan Ramadan, saatnya kembali kita bangkitkan kekuatan compassion, kekuatan akhlak di setiap agama. Kita termasuk kelompok yang meyakini, kompleksitas batin manusia tak hanya bisa dipuaskan semata oleh kelimpahan ekonomi dan kemajuan teknologi. Manusia adalah makhluk spiritual yang memiliki tubuh," ujar Denny JA.
Menurutnya, kehangatan cinta dan indahnya kekudusan alam adalah sesuatu yang eksistensial yang perlu dihayati batin manusia. Karena itu, harta yang terpendam dalam samudera agama tetap berharga untuk terus digali. "Tapi apa itu harta paling mahal yang terpendam dalam samudera agama? Apa itu esensi agama?" kata Denny JA.
Lihat Juga :
tulis komentar anda