Renungan Ramadan dan Paskah, Membangkitkan Kembali Akhlak di Setiap Agama

Minggu, 16 April 2023 - 17:22 WIB
loading...
Renungan Ramadan dan...
Ketua Umum Esoterika, Denny JA dalam Dialog Lintas Iman Memaknai Puasa dan Paskah di GKI Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (15/4/2023). FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Agama hadir untuk memberikan kedamaian dan kebahagiaan bagi para penganutnya. Namun, di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kehadiran agama tak lagi dianggap menjadi penentu tingkat kebahagiaan manusia.

Pandangan ini disampaikan Ketua Umum Esoterika, Denny JA dalam Dialog Lintas Iman Memaknai Puasa dan Paskah di GKI Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (15/4/2023). Hadir sebagai narasumber Ketua Umum MJ GKI Kebayoran Baru, Boyed M Cornelis Ratuwalu; Prof Siti Musdah Mulia; dan Pdt Janoe Widyopramono dan moderator Budhy Munawar-Rachman.

Denny JA menuturkan, Ramadan tahun ini bersamaan dengan beberapa hari suci agama lain di Tanah Air, antara lain Hari Raya Nyepi dan Hari Paskah. Menurutnya, dalam momen Ramadan dan Paskah, perlu merenungkan data yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Maret 2023 tentang cara mengukur kemajuan sebuah negara.



Dalam laporan publikasi itu, sebuah negara dikatakan maju tak lagi hanya dilihat kemakmuran ekonominya, tapi justru yang paling penting adalah kebahagiaan warga negaranya. Sejak 2012, PBB melalui Sustainable Development Solution Network mempublikasikan indeks yang disebut World Happiness Index yang disusun oleh para ahli ekonomi, politik, public policy, dan psikologi.

Berbagai dimensi ekonomi, politik, psikologi menjadi bagian World Happiness Index. Tak hanya soal kemakmuran ekonomi dan pemerintahan yang bersih, tapi kepercayaan masyarakat (social trust) dan keakraban warga negara menjadi komponen perhitungan.

"Puncak kemajuan harus tetap terlihat dari kebahagiaan manusia di negara itu," kata Denny JA.

Berdasarkan World Happiness Index, pada 2023, negara ranking pertama yang dianggap paling tinggi indeks kebahagiaan warga negaranya adalah Finlandia, yang sudah menempatinya selama enam kali berturut-turut. Selain itu, 10 negara yang paling maju tersebut didominasi oleh negara Skandinavia dan Eropa Barat, di antaranya Denmark, Swedia, Norwegia, Swiss, dan Belanda.

Namun, yang menarik adalah berdasarkan data Gallup Poll (2008/2009), di negara-negara itu, agama sudah tak lagi dianggap penting oleh masyarakatnya. Sebagai contoh di Finlandia, persentase masyarakat yang menganggap agama penting dalam hidupnya hanya 28%. Sementara itu, di Denmark hanya 19% dan Swedia 15%.



Bahkan, 10 negara yang membuat warganya paling bahagia, rata-rata hanya 31% populasinya menganggap agama penting dalam hidup mereka. "Ini menimbulkan pertanyaan yang mendasar. Mengapa di negara yang tak lagi menganggap agama penting justru mampu membuat warganya paling bahagia, makmur, pemerintahannya paling bersih dari korupsi, dan menghormati keberagaman?" ujar Denny JA.

Hal sebaliknya justru terjadi di negara yang 90% populasinya menganggap agama sangat penting, yakni Indonesia dengan mayoritas Islam, India (Hindu), Thailand (Buddha), dan Brasil (Katolik). Berdasarkan World Happiness Index, Indonesia hanya di ranking 80, India 136, Thailand 53, dan Brazil 34.

"Di negara yang menganggap agama minta ampun pentingnya, tapi justru tak mampu membuat warga negaranya paling bahagia, pemerintahan yang bersih dan sebagainya. Bagaimana kita menjelaskan fenomena itu? Mengapa di era ini agama tak lagi menjadi variabel yang membuat warga negaranya makmur, maju, dan bahagia? Apa yang salah?" kata pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu.

Denny JA mengungkapkan, dengan menyelami data tersebut, maka akan membuka mata mengenai realitas agama dalam praktiknya di Abad 21. Dia menyebut ada dua faktor yang bekerja saat ini yang menjadi penyebabnya. Pertama, berubahnya driving force peradaban.

Pada abad pertengahan dan sebelumnya, agama menjadi driving force utama peradaban. Namun, di era modern, driving force utama peradaban berpindah kepada ilmu pengetahuan dan manajemen modern. Untuk maju, makmur dan mampu membuat warga negara bahagia, tergantung dari kemampuan negara itu dalam mengelola ilmu pengetahuan dan manajemen modern, bukan oleh intensitas beragama.

Tanpa kemampuan mengelola ilmu pengetahuan dan manajemen modern secara optimal, sebuah negara tak akan mampu membuat warganya bahagia, walau intensitas beragama di negara itu begitu luas.

"Suka atau tidak, inilah realitas yang ada. Driving force peradaban utama sudah tak lagi di tangan hidup beragama," ujarnya.

Kedua, agama meredup sebagai kekuatan akhlak. Akibatnya, riuh rendah ritus agama tidak berlanjut pada perilaku sosial yang sesuai. Semakin terlihat ada kesenjangan antara doktrin agama dan peradaban yang dihasilkannya, ada jurang menganga antara keriuhan ritus agama dengan perilaku sosial penganutnya.

"Merenungkan Paskah dan Ramadan, saatnya kembali kita bangkitkan kekuatan compassion, kekuatan akhlak di setiap agama. Kita termasuk kelompok yang meyakini, kompleksitas batin manusia tak hanya bisa dipuaskan semata oleh kelimpahan ekonomi dan kemajuan teknologi. Manusia adalah makhluk spiritual yang memiliki tubuh," ujar Denny JA.

Menurutnya, kehangatan cinta dan indahnya kekudusan alam adalah sesuatu yang eksistensial yang perlu dihayati batin manusia. Karena itu, harta yang terpendam dalam samudera agama tetap berharga untuk terus digali. "Tapi apa itu harta paling mahal yang terpendam dalam samudera agama? Apa itu esensi agama?" kata Denny JA.

Di awal masa awal kelahirannya, agama berfungsi menjadi revolusi akhlak bagi masyarakat, sehingga esensi agama adalah melahirkan akhlak kebajikan di hati manusia. Ajaran kasih dan cinta dalam khotbah di atas bukit Yesus Kristus dalam agama Kristen adalah sebuah revolusi moral di zamannya.

"Di era ketika berlaku hukum Nabi Musa, mata dibalas mata, mati dibalas mati, Yesus mengajarkan yang sangat berbeda; maafkan mereka yang melukaimu, cintai musuhmu, sayangi tetanggamu," ungkapnya.

Hal yang sama terjadi pada Nabi Muhammad. Begitu banyak ayat dan hadis yang menyatakan Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Denny JA juga mengajak manusia untuk kembali menggemakan apa yang ditulis dalam Kitab Veda 3.500 tahun lalu. Kebenaran adalah satu. Para nabi dan guru suci datang silih berganti, menyebut kebenaran itu dengan nama yang berbeda.

"Kita bangkitan kembali compassion dan kekuatan cinta yang ada pada setiap agama. Renungan Paskah dan Ramadan kita arahkan untuk mengembalikan agama cinta kasih, agama akhlak, agama compassion," katanya.

Pdt Janoe Widyopramono mengatakan, kegiatan dialog lintas agama tersebut menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan dan memberikan aura menentramkan. Selain itu, juga memberikan harapan bagi Indonesia bahwa untuk hidup berdampingan justru hadir karena bisa saling menghargai sesama pemeluk agama.

"Acara seperti ini harus terus digelar di mana-mana. Saya berharap bisa menyentuh akar rumput karena sangat mudah digerakkan dan dibakar. Kalau di kalangan intelektual dan pemimpin agama sudah biasa memahami. Tapi akar rumput harus terus disuntik," katanya.

Sementara itu, Prof Siti Musdah Mulia mengatakan, suasana seperti dalam kegiatan itu harus dikembangkan terus-menerus. Sebab, kedamaian tidak pernah tercipta dengan sendirinya. Beda dengan konflik, kedamaian harus diusahakan dengan segala macam cara.

"Saya pikir upaya ini harus ditumbuhkan. Mungkin kita mulai tumbuhkan di kalangan anak-anak kita, remaja, Gen Z, dan generasi milenial secara bertahap. Kapan-kapan mungkin kita bisa duduk santai membahas bagaimana caranya dikembangkan di lingkungan anak-anak, PAUD, TK, sehingga nilai perdamaian, persaudaraan, kesetaraan bisa dirasakan kelompok lain,” katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1382 seconds (0.1#10.140)