Reposisi Alquran dalam Kehidupan

Senin, 10 April 2023 - 09:15 WIB
Sebagai produk keilmuan, munculnya berbagai teori, metodologi, dan tafsir baru dalam Quranic Studies patut diapresiasi. Hanya saja, semua itu tampaknya tidak cukup memberikan kontribusi bagi penyelesaian persoalan kehidupan umat. Dengan kata lain, ada gap yang lebar antara misi Alquran yang hendak menjadi problem solver kehidupan (das sollen) dengan melimpahnya tafsir-tafsir baru atas teks Alquran (das sein).

Survei global yang dilakukan Ronald F. Inglehart, Direktur World Values Survey (WVS), menjadi indikator masalah kehidupan umat yang akut. Survei ini mencakup lebih dari 100 negara yang terdiri dari 90% populasi dunia sejak 1981-2020. Menurut survei ini, negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim umumnya setidaknya menghadapi dua persoalan utama.

Pertama, terjadi tren penurunan religiusitas akibat sekularisasi. Agama tidak lagi mampu berperan penting membangun kohesi sosial, moralitas publik, membentuk kesehatan mental, dan mengatasi rasa tidak aman. Kedua, indeks toleransi, kesetaraan gender, dan kebebasan berpolitik jauh berada di bawah negara-negara yang demokrasinya sudah mapan.

Data di atas menjadi ironi mengingat syiar Alquran berkembang pesat di negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Banyak pesantren Alquran berdiri. Jumlah penghafal Alquran kian bertambah banyak. Berbagai kompetisi hafalan dan tilawah Alquran tingkat nasional hingga internasional begitu semarak.

Tapi sekali lagi, intensitas syiar Alquran dan produktivitas tafsirnya belum berkorelasi positif dengan perbaikan kualitas kehidupan dan penyelesaian persoalan riil di tengah masyarakat. Meminjam istilah filsuf Prancis, Henri Bergson, Alquran seolah kehilangan elan vitalnya bagi kehidupan.

Menurut penulis, ada asumsi yang kurang tepat dalam mendekati dan memperlakukan Alquran selama ini. Pertama, Alquran diperlakukan sebagai teks tertulis yang pasif. Padahal, Alquran sendiri menolak untuk disebut sebagai teks. Sebagaimana tersurat dalam QS. al-An’am ayat 7 “Dan sekiranya Kami turunkan kepadamu (Muhammad) tulisan di atas kertas, sehingga mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, niscaya orang-orang kafir itu akan berkata: Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.”

Kedua, karena Alquran telah direduksi sebatas teks, maka ia didekati sebagai objek, sedang si Pembaca/Penafsir memosisikan dirinya sebagai subjek. Padahal, ketika Alquran turun melalau lisan Nabi Muhammad, ia adalah subjek yang berbicara pada setiap manusia yang menjadi audiensnya. Hal inilah yang menyebabkan substansi Alquran justru tidak terjangkau karena diposisikan sebagai objek teks.

Fenomena ini telah diprediksi Nabi Muhammad 14 abad yang lalu dalam sabdanya “Akan datang suatu masa pada manusia ketika Alquran tidak tinggal melainkan tulisannya saja” (HR. Al-Baihaqi). Apa yang dikhawatirkan dalam sabda ini dapat kita rasakan sekarang.

Tulisan dan cetakan teks Alquran begitu juga tafsirnya terus melonjak, tapi pemahaman dan pengamalan Alquran makin kering dan dangkal karena tidak sampai pada substansinya.

Alquran , mulai dari tulisan, bacaan, dan maknanya yang berlapis-lapis semuanya memang berguna. Ketika Alquran dikaji oleh ahli Matematika, lahirlah Matematika Alquran . Ketika yang mengkaji pakar Psikologi, muncullah Psikologi Alquran . Begitu seterusnya ada Sosiologi Alquran , Antropologi Alquran , dan lain-lain.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More