Musik dalam Film dan Potensi Konfliknya
Kamis, 30 Maret 2023 - 11:40 WIB
Maka, jika dikaitkan dengan terminologi perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, secara sederhana dapat ditangkap pemaknaan bahwa perjanjian tersebut adalah pelepasan atas hak kebendaan tanpa adanya syarat untuk dijual kembali atau dengan sendirinya kembali kepada pemegang hak semula sampai batas yang tidak ditentukan.
Oleh karena itu, adanya syarat pengalihan kembali kepada pemegang hak (pencipta) menjadikan perjanjian yang demikian merupakan bentuk perjanjian yang tidak jelas baik karakter maupun sifatnya.
***
Palu sudah diketuk. Hasilnya tidak ada perubahan apa pun dalam isi UUHC yang saat ini berlaku. Namun, di zaman globalisasi dan maraknya platform berbasis Over The Top (OTT) saat ini, potensi konflik lain bisa muncul di kemudian hari. Meski setiap konflik bisa diselesaikan, tetapi tetap saja bisa menguras tenaga dan mungkin biaya. Apa itu? Dalam membuat sebuah film, production house (PH) lokal tentunya membeli atau mengadakan kontrak dengan musisi lokal. Lalu, PH lokal ini bekerja sama dengan perusahaan asing, sebut misalnya Netflix, Amazon Prime, Viu, Tencent, Vidio, Maxtream, HBOgo, Disney+, WeTV, atau yang lain. Kerja sama ini bisa terjadi sejak awal (artinya pihak asing terlibat dalam pembiayaan produksi) atau sekadar jual-beli produk yang sudah jadi.
Sejauh yang saya tahu, baik dalam bentuk kerja sama atau penjualan film jadi, PH lokal dan pihak asing mengadakan kontrak tersendiri. Tak jarang dalam kontrak tersebut pilihan penyelesaian sengketanya adalah badan arbitrase yang ada di luar negeri –meski bisa saja mengusulkan badan sejenis di Indonesia.
Sangat bisa terjadi masalah pengembalian hak cipta musik kepada pencipta itu luput dari perhatian. Padahal, apabila sudah mencapai 25 tahun, hak cipta musik itu harus dibayar ulang atau dikembalikan kepada Penciptanya. Pertanyaannya: Siapakah nanti yang bertanggung jawab mengembaikan atau membeli ulang hak cipta musik yang ada di dalam film tersebut? Maukah perusahaan asing itu membayar ulang hak cipta musik itu dengan harga yang bisa saja melambung tinggi? Kalau tidak mau bagaimana? Haruskah musik dalam film tersebut diganti dengan musik baru?
Bahkan sebenarnya tak cuma dengan perusahaan asing potensi konflik itu bisa terjadi. Antara PH lokal dengan musisi lokal yang selama ini sudah berlangsung juga bisa timbul konflik setelah usia film tersebut mencapai 25 tahun. Para produser film akan dihadapkan pada pilihan yang sama: membayar ulang royalti kepada musisi atau mengganti musik yang selama ini sudah ada di dalam film. Hal-hal semacam itulah yang – antara lain-- harus dipikirkan sejak awal. Intinya, mulai sekarang, lebih baik berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, daripada sebaliknya.
Oleh karena itu, adanya syarat pengalihan kembali kepada pemegang hak (pencipta) menjadikan perjanjian yang demikian merupakan bentuk perjanjian yang tidak jelas baik karakter maupun sifatnya.
***
Palu sudah diketuk. Hasilnya tidak ada perubahan apa pun dalam isi UUHC yang saat ini berlaku. Namun, di zaman globalisasi dan maraknya platform berbasis Over The Top (OTT) saat ini, potensi konflik lain bisa muncul di kemudian hari. Meski setiap konflik bisa diselesaikan, tetapi tetap saja bisa menguras tenaga dan mungkin biaya. Apa itu? Dalam membuat sebuah film, production house (PH) lokal tentunya membeli atau mengadakan kontrak dengan musisi lokal. Lalu, PH lokal ini bekerja sama dengan perusahaan asing, sebut misalnya Netflix, Amazon Prime, Viu, Tencent, Vidio, Maxtream, HBOgo, Disney+, WeTV, atau yang lain. Kerja sama ini bisa terjadi sejak awal (artinya pihak asing terlibat dalam pembiayaan produksi) atau sekadar jual-beli produk yang sudah jadi.
Sejauh yang saya tahu, baik dalam bentuk kerja sama atau penjualan film jadi, PH lokal dan pihak asing mengadakan kontrak tersendiri. Tak jarang dalam kontrak tersebut pilihan penyelesaian sengketanya adalah badan arbitrase yang ada di luar negeri –meski bisa saja mengusulkan badan sejenis di Indonesia.
Sangat bisa terjadi masalah pengembalian hak cipta musik kepada pencipta itu luput dari perhatian. Padahal, apabila sudah mencapai 25 tahun, hak cipta musik itu harus dibayar ulang atau dikembalikan kepada Penciptanya. Pertanyaannya: Siapakah nanti yang bertanggung jawab mengembaikan atau membeli ulang hak cipta musik yang ada di dalam film tersebut? Maukah perusahaan asing itu membayar ulang hak cipta musik itu dengan harga yang bisa saja melambung tinggi? Kalau tidak mau bagaimana? Haruskah musik dalam film tersebut diganti dengan musik baru?
Bahkan sebenarnya tak cuma dengan perusahaan asing potensi konflik itu bisa terjadi. Antara PH lokal dengan musisi lokal yang selama ini sudah berlangsung juga bisa timbul konflik setelah usia film tersebut mencapai 25 tahun. Para produser film akan dihadapkan pada pilihan yang sama: membayar ulang royalti kepada musisi atau mengganti musik yang selama ini sudah ada di dalam film. Hal-hal semacam itulah yang – antara lain-- harus dipikirkan sejak awal. Intinya, mulai sekarang, lebih baik berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, daripada sebaliknya.
(wur)
tulis komentar anda