Musik dalam Film dan Potensi Konfliknya

Kamis, 30 Maret 2023 - 11:40 WIB
loading...
Musik dalam Film dan Potensi Konfliknya
Kemala Atmojo - Peminat Masalah Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
A A A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni

Musik memang istimewa. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), misalnya, musik mendapat porsi pengaturan dan penjelasan jauh lebih banyak dibandingkan dengan seni-seni lain – bahkan dibanding dengan karya cipta non-seni yang lain. Tak kurang dari 19 jenis ciptaan yang dilindungi undang-undang, tapi musik seperti mendapat tempat paling istimewa.

Hal ini karena musik merupakan seni yang sangat mudah diperbanyak dan didistribusikan dengan berbagai sarana. Di era digital sekarang ini, orang dapat dengan mudah menyalin, memperbanyak, dan mendistribusikan karya musik dalam hitungan detik ke mana saja. Hal ini dapat menyebabkan pencipta bisa kehilangan kendali atas karya mereka dan kehilangan penghasilan yang seharusnya mereka terima.

Alasan lain, musik adalah jenis seni yang sangat populer dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Musik juga memiliki pengaruh besar dalam kebudayaan serta ekonomi, yang membuat hak cipta menjadi isu penting dalam perlindungan kekayaan intelektual. Ada banyak orang dan perusahaan yang dapat menghasilkan uang dari karya musik, seperti pencipta lagu, produsen rekaman, distributor musik, penyanyi, dan lain-lain. Oleh karena itu, perlindungan hak cipta menjadi sangat penting untuk memastikan keberlangsungan industri musik.

Maka, dalam undang-undang hak cipta, selain diakui sebagai Pencipta yang punya hak ekonomi dan hak moral, musisi -- dalam pengertian luas -- juga dimasukkan juga ke dalam Hak Terkait dan Pelaku Pertunjukan. Bahkan, sebagai konsekuensi dari pasal-pasal yang ada di undang-undang, muncul beberapa peraturan menteri yang berkaitan dengan sistem informasi hak cipta musik, tentang mekanisme pendaftarannya, cara mendapatkan royalti, sampai besaran angka yang harus dibayar oleh para pengguna jasa musik.

Tak sampai di situ. Dan ini yang istimewa. Dalam Pasal 18 UUHC, selain karya tulis, lagu serta dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan atau pengalihan tanpa batas waktu, hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.

Kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 30 UUHC, yang berbunyi: “Karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, kepemilkan hak ekonominya beralih kembali kepada Pelaku Pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.”

Lalu dalam Pasal 122 UUC dirinci bagaimana cara melakukan perhitungan masa 25 tahun itu baik ketika UU No. 28 Tahun 2014 belum berlaku atau sesudah berlaku. Misalnya saja, perjanjian jual putus pada saat diberlakukannya undang-undang No. 28 tahun 2014 telah mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun, maka dikembalikan hak ciptanya kepada Pencipta 2 (dua) tahun sejak berlakunya UU tersebut. Lalu, jika perjanjian jual putus yang pada saat diberlakukannya UUHC belum mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun, maka dikembalikan Hak Ciptanya kepada Pencipta setelah mencapai 25 (dua puluh lima) tahun sejak ditanda tanganinya perjanjian jual putus dimaksud dan ditambah 2 (dua) tahun.

***

Kita ingat bersama, ketiga pasal (18, 30, 122) itu pernah diajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh PT Musica Studios pada November 2021 (permohonan perkara nomor 63/PUU-XIX/2021). Menurut pihak Musica yang diwakili kuasa hukumnya, Otto Hasibuan & Associates, ketiga pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28H Ayat (4) dan Ayat (1); Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945.

Bunyi Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 adalah “Setiap orang berhak mempunyai Hak Milik pribadi dan Hak Milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”. Sedangkan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Dua pasal UUD 1945 itulah yang menjadi batu ujinya.

Dalam petitumnya, Musica meminta agar hakim konstitusi menyatakan bahwa Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UUHC bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selanjutnya, menurut Musica, adanya batas waktu pengembalian itu (Pasal 18) menghalangi Pemohon untuk mengeksplorasi secara ekonomi hak cipta yang sudah dibeli secara putus. Pembatasan itu menyebabkan status Pemohon hanya sekadar sebagai penyewa, yang sewaktu-waktu harus mengembalikan hak tersebut. Pasal 18 dan 30 UUHC itu juga dianggap bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Pasal yang sama (18 dan 30) juga dianggap melanggar “hak milik” Pemohon atas hak ekonomi yang telah dialihkan kepada Pemohon melalui perjanjian jual putus (sold flat) dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Ini berarti, menurut Musica, kedua pasal tersebut melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

Hak Cipta sebagai benda bergerak tak berwujud (intangible object) memang dapat dialihkan kepemilikannya atau diperjualbelikan. Peralihan baik seluruh atau sebagian Hak Cipta ini, antara lain dapat dilakukan dengan cara perjanjian tertulis. Dalam hukum perdata, perjanjian jual beli ini dimaknai sebagai “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah disepakati (Pasal 1457 KUHPerdata). Isi perjanjian bisa macam-macam tergantung kesepakatan para pihak. Di situ berlaku asas pacta sunt servanda, yakni “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata).

Umumnya, pengalihan atau penjualan Hak Cipta dari Pencipta kepada orang lain dilakukan denga sistem flat pay atau jual beli putus, yakni pemohon membayar di muka berupa sejumlah uang kepada Pencipta sesuai kesepakatan. Bentuk atau cara pengalihan hak ekonomi yang lain bisa berupa pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, atau sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Tetapi, hak cipta – termasuk musik-- memang istimewa. Misalnya, dia dianggap memiliki sifat yang khusus dan tidak dapat dialihkan secara mutlak. Sehingga hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud, tidak bisa dipersamakan dengan benda tidak berwujud lainnya. Hak cipta adalah suatu hak yang unik, diatur secara khusus (sui generis) dalam UU Hak Cipta. Hak cipta juga dianggap tidak melekat pada benda bergerak maupun benda tidak bergerak sesuai dengan kebendaan pada KUHPerdata. Oleh karena itu, sifat hukum kebendaan pada KUHPerdata tidak dapat digunakan sebagai dasar pengaturan terhadap hak cipta.

Singkat cerita, setelah menggelar persidangan yang berlarut-larut dan mendengarkan berbagai pihak, pada November 2022 akhinrya MK membuat keputusan setebal 535 halaman yang menyatakan bahwa pokok permohonan Pemohon (Musica) tidak beralasan menurut hukum, dan karena itu permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya. Tetapi, sebagai catatan, dari sembilan hakim MK yang mengadili perkara ini, ada satu hakim yang menyatakan Pendapat Berbeda alias Dissenting Opinion, yakni Hakim Suhartoyo, yang argumennya juga lumayan panjang. Antara lain, dikatakan oleh Suhartoyo, bahwa ketentuan norma Pasal 18 UU 28/2014 yang menjadi pemicu (trigger) dari persoalan yang mengemuka itu, baik ketentuan normanya maupun pada tataran empiriknya, tidak dapat dilepaskan dari adanya 2 (dua) esensi pokok yang termuat dalam norma tersebut yang mengandung contracditio in terminis.

Substansi yang mengandung pertentangan dalam norma pasal tersebut adalah, di satu sisi norma pasal itu membuka peluang untuk dilakukannya perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, namun di sisi lainnya norma pasal itu juga mengatur adanya akibat yuridis, yakni bahwa perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu tersebut beralih kembali kepada pencipta setelah perjanjian mencapai 25 (dua puluh lima) tahun.

Maka, jika dikaitkan dengan terminologi perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, secara sederhana dapat ditangkap pemaknaan bahwa perjanjian tersebut adalah pelepasan atas hak kebendaan tanpa adanya syarat untuk dijual kembali atau dengan sendirinya kembali kepada pemegang hak semula sampai batas yang tidak ditentukan.

Oleh karena itu, adanya syarat pengalihan kembali kepada pemegang hak (pencipta) menjadikan perjanjian yang demikian merupakan bentuk perjanjian yang tidak jelas baik karakter maupun sifatnya.

***
Palu sudah diketuk. Hasilnya tidak ada perubahan apa pun dalam isi UUHC yang saat ini berlaku. Namun, di zaman globalisasi dan maraknya platform berbasis Over The Top (OTT) saat ini, potensi konflik lain bisa muncul di kemudian hari. Meski setiap konflik bisa diselesaikan, tetapi tetap saja bisa menguras tenaga dan mungkin biaya. Apa itu? Dalam membuat sebuah film, production house (PH) lokal tentunya membeli atau mengadakan kontrak dengan musisi lokal. Lalu, PH lokal ini bekerja sama dengan perusahaan asing, sebut misalnya Netflix, Amazon Prime, Viu, Tencent, Vidio, Maxtream, HBOgo, Disney+, WeTV, atau yang lain. Kerja sama ini bisa terjadi sejak awal (artinya pihak asing terlibat dalam pembiayaan produksi) atau sekadar jual-beli produk yang sudah jadi.

Sejauh yang saya tahu, baik dalam bentuk kerja sama atau penjualan film jadi, PH lokal dan pihak asing mengadakan kontrak tersendiri. Tak jarang dalam kontrak tersebut pilihan penyelesaian sengketanya adalah badan arbitrase yang ada di luar negeri –meski bisa saja mengusulkan badan sejenis di Indonesia.

Sangat bisa terjadi masalah pengembalian hak cipta musik kepada pencipta itu luput dari perhatian. Padahal, apabila sudah mencapai 25 tahun, hak cipta musik itu harus dibayar ulang atau dikembalikan kepada Penciptanya. Pertanyaannya: Siapakah nanti yang bertanggung jawab mengembaikan atau membeli ulang hak cipta musik yang ada di dalam film tersebut? Maukah perusahaan asing itu membayar ulang hak cipta musik itu dengan harga yang bisa saja melambung tinggi? Kalau tidak mau bagaimana? Haruskah musik dalam film tersebut diganti dengan musik baru?

Bahkan sebenarnya tak cuma dengan perusahaan asing potensi konflik itu bisa terjadi. Antara PH lokal dengan musisi lokal yang selama ini sudah berlangsung juga bisa timbul konflik setelah usia film tersebut mencapai 25 tahun. Para produser film akan dihadapkan pada pilihan yang sama: membayar ulang royalti kepada musisi atau mengganti musik yang selama ini sudah ada di dalam film. Hal-hal semacam itulah yang – antara lain-- harus dipikirkan sejak awal. Intinya, mulai sekarang, lebih baik berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, daripada sebaliknya.
(wur)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.7575 seconds (0.1#10.140)