Menyorot Kinerja KPK, Butuh Konsistensi Berkelanjutan
Sabtu, 18 Juli 2020 - 08:27 WIB
JAKARTA - Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah komando Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol) Firli Bahuri penuh kontroversial. Hal ini tidak lepas dari upaya pelemahan yang diinginkan segelintir orang terhadap KPK sepanjang 2019 lalu.
Mulai dari proses pemilihan pimpinan KPK yang sarat kepentingan politik, sampai upaya meluluhlantakkan kewenangan melalui jalur legislasi, yakni revisi UU KPK. Berbagai persoalan selama kurun waktu enam bulan terakhir ini berimplikasi pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK.
Fakta ini diperkuat dengan sejumlah hasil survei bahwa KPK tidak lagi menempati peringkat teratas dalam hal kepercayaan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa ada permasalahan yang sangat serius dalam kelembagaan KPK .
Perjalanan KPK pada era Firli memang penuh gimik dan pemolesan citra yang sebenarnya tidak perlu. Dari olahan nasi goreng ala “Chef Filri”, tidak melakukan penggeledahan di kantor yang diduga sebenarnya ada jejak tersangka, menunda pengumuman tersangka, mendukung pembebasan narapidana koruptor pada masa pandemi, hingga menggunakan helikopter bertarif mahal. Belum lagi operasi tangkap tangan (OTT) yang minim, penyebutan OTT sebagai hiburan, hingga pengembalian penyidik dan jaksa yang punya andil jitu. Karena itu, butuh konsistensi Firli dkk untuk melanjutkan program, kinerja, dan capaian di bidang penindakan dan pencegahan. (Baca: Ketua MPR sarankan Tim Pemburu Koruptor Harus bebas dari Kepentingan)
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menyatakan, kinerja Firli dkk jauh di bawah kinerja KPK sebelumnya. Bahkan, secara keseluruhan, kinerja KPK di bawah kepemimpinan Firli gagal memenuhi harapan publik/masyarakat. Aspek tersebut mencakup bidang penindakan, pencegahan, hingga internal kelembagaan organisasi. "Kepercayaan pimpinan KPK saat ini sangat merosot dibanding pimpinan sebelumnya," tegas Azyumardi.
Pria bergelar Sir dari Kerajaan Inggris ini menggariskan, ada tiga penyebab utama Firli dkk gagal memenuhi harapan masyarakat. Pertama, UU KPK Nomor 19/2019 yang merupakan hasil revisi yang disahkan DPR pada September 2019. UU KPK baru ini berhasil “menjinakkan” KPK seperti yang diinginkan Presiden Joko Widodo dan DPR yang mengusulkan revisi UU KPK Nomor 30/2002.
Kedua, kepemimpinan KPK dengan beberapa komisioner yang tidak kredibel. Pasalnya, dari lima komisioner terdapat pimpinan dengan rekam jejak yang tidak sepenuhnya bersih. Ketiga, ada Dewas yang sedikit banyak juga membuat KPK tidak lagi bebas sepenuhnya. Pasalnya, menurut Azyumardi, penyadapan dan OTT harus mendapat restu Dewas.
Azyumardi melanjutkan, meski belakangan KPK melakukan beberapa penangkapan kepala daerah dan pejabat pemerintah daerah serta kolaborator korupsinya, tapi tetap publik masih skeptis dengan KPK. Menurutnya, masih harus ditunggu apakah penangkapan itu hanya untuk “menghibur” sebagaimana pernyataan seorang pimpinan KPK. (Baca juga: Youtube Cantik Aduhai Asal Batam ini Diciduk Polisi)
"Saya kira operasi penangkapan itu adalah atas izin Dewas. Kalau itu benar, berarti Dewas cukup memberikan ruang gerak bagi KPK. Masalahnya, seberapa besar ruang gerak itu. Dan, dalam kasus korupsi menyangkut pihak mana saja Dewas bisa memberi izin bagi KPK untuk melakukan operasi/penangkapan dan sebagainya," tegasnya.
Mulai dari proses pemilihan pimpinan KPK yang sarat kepentingan politik, sampai upaya meluluhlantakkan kewenangan melalui jalur legislasi, yakni revisi UU KPK. Berbagai persoalan selama kurun waktu enam bulan terakhir ini berimplikasi pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK.
Fakta ini diperkuat dengan sejumlah hasil survei bahwa KPK tidak lagi menempati peringkat teratas dalam hal kepercayaan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa ada permasalahan yang sangat serius dalam kelembagaan KPK .
Perjalanan KPK pada era Firli memang penuh gimik dan pemolesan citra yang sebenarnya tidak perlu. Dari olahan nasi goreng ala “Chef Filri”, tidak melakukan penggeledahan di kantor yang diduga sebenarnya ada jejak tersangka, menunda pengumuman tersangka, mendukung pembebasan narapidana koruptor pada masa pandemi, hingga menggunakan helikopter bertarif mahal. Belum lagi operasi tangkap tangan (OTT) yang minim, penyebutan OTT sebagai hiburan, hingga pengembalian penyidik dan jaksa yang punya andil jitu. Karena itu, butuh konsistensi Firli dkk untuk melanjutkan program, kinerja, dan capaian di bidang penindakan dan pencegahan. (Baca: Ketua MPR sarankan Tim Pemburu Koruptor Harus bebas dari Kepentingan)
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menyatakan, kinerja Firli dkk jauh di bawah kinerja KPK sebelumnya. Bahkan, secara keseluruhan, kinerja KPK di bawah kepemimpinan Firli gagal memenuhi harapan publik/masyarakat. Aspek tersebut mencakup bidang penindakan, pencegahan, hingga internal kelembagaan organisasi. "Kepercayaan pimpinan KPK saat ini sangat merosot dibanding pimpinan sebelumnya," tegas Azyumardi.
Pria bergelar Sir dari Kerajaan Inggris ini menggariskan, ada tiga penyebab utama Firli dkk gagal memenuhi harapan masyarakat. Pertama, UU KPK Nomor 19/2019 yang merupakan hasil revisi yang disahkan DPR pada September 2019. UU KPK baru ini berhasil “menjinakkan” KPK seperti yang diinginkan Presiden Joko Widodo dan DPR yang mengusulkan revisi UU KPK Nomor 30/2002.
Kedua, kepemimpinan KPK dengan beberapa komisioner yang tidak kredibel. Pasalnya, dari lima komisioner terdapat pimpinan dengan rekam jejak yang tidak sepenuhnya bersih. Ketiga, ada Dewas yang sedikit banyak juga membuat KPK tidak lagi bebas sepenuhnya. Pasalnya, menurut Azyumardi, penyadapan dan OTT harus mendapat restu Dewas.
Azyumardi melanjutkan, meski belakangan KPK melakukan beberapa penangkapan kepala daerah dan pejabat pemerintah daerah serta kolaborator korupsinya, tapi tetap publik masih skeptis dengan KPK. Menurutnya, masih harus ditunggu apakah penangkapan itu hanya untuk “menghibur” sebagaimana pernyataan seorang pimpinan KPK. (Baca juga: Youtube Cantik Aduhai Asal Batam ini Diciduk Polisi)
"Saya kira operasi penangkapan itu adalah atas izin Dewas. Kalau itu benar, berarti Dewas cukup memberikan ruang gerak bagi KPK. Masalahnya, seberapa besar ruang gerak itu. Dan, dalam kasus korupsi menyangkut pihak mana saja Dewas bisa memberi izin bagi KPK untuk melakukan operasi/penangkapan dan sebagainya," tegasnya.
tulis komentar anda