Dekati Kelompok Islam, Istana Tunjuk 2 Jenderal Hijau Pegang Komando TNI
Selasa, 07 Maret 2023 - 09:27 WIB
JAKARTA - Pertama kali dalam sejarah, dua jenderal bintang empat yang dekat dengan kalangan Islam, dipilih Presiden Soeharto menempati posisi puncak TNI . Keduanya yakni Jenderal TNI Feisal Tanjung yang didapuk sebagai Panglima ABRI (kini Panglima TNI) dan Jenderal TNI R Hartono sebagai KSAD. Mengapa Istana memilih kedua ABRI Hijau itu?
Sudah bukan rahasia hubungan Soeharto dengan kelompok Islam Tanah Air diwarnai pasang surut. Hampir semua tahu, ada masa di mana kepala negara kelahiran Dusun Kemusuk, Bantul, Yogyakarta tersebut bahkan dicap alergi Islam. Penunjukan Jenderal TNI Leonardus Benyamin Moerdani sebagai Panglima ABRI semakin memperkuat stigma ini.
Benny, jenderal berwajah dingin yang kesohor sebagai ahli intelijen, tak dimungkiri kerap dilabeli sebagai sosok terdepan memusuhi Islam. Namun, dalam satu kesempatan lain, loyalis Soeharto ini menentang keras tuduhan tersebut.
Baca juga: Cara Halus Soeharto Tolak 3 Letjen Jadi Panglima TNI, Malah Pilih Jenderal Bintang 2
"Kok saya yang dituduh anti-Islam. Soeharto itu yang anti-Islam," kata Benny menjawab pertanyaan jurnalis kawakan Salim Said. Ucapan keras jenderal Kopassus asal Blora itu tertuang dalam buku Salim bertajuk Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto(hal 116) dikutip, Selasa (7/3/2023).
Ketidaksenangan Soeharto dengan Islam diduga karena dua hal. Pertama, latar belakangnya yang seorang kejawen atau abangan. Kedua, penguasa Cendana itu tak ingin kalangan Islam secara politik tumbuh besar. Pada pemilu pertama tahun 1955, suara yang diperoleh partai-partai Islam mencapai 85%, dengan jumlah terbesar diperoleh Masyumi.
Bagi Soeharto, kemapanan partai Islam dirasa bisa menjadi pengganjal ambisi politiknya, terutama dalam menciptakan tatanan Orde Baru. Bagi Harto, Orde Baru membutuhkan stabilitas. Sayangnya ini diciptakan dengan memberangus demokrasi dan hak-hak rakyat.
Semua kebijakan yang membatasi dan menyudutkan Islam membuat umat bersifat oposisi terhadap pemerintah. Bahkan pada dasawarsa ini fatwa-fatwa ulama mewajibkan masyarakat muslim memilih partai Islam dalam pemilu.
"Dakwah-dakwah yang disampaikan dari tokoh agama Islam juga sering berisi kritik-kritik terhadap pemerintah. Akibatnya pemerintah kesulitan melakukan komunikasi dengan umat Islam, karena tidak ada organisasi Islam yang suportif terhadap pemerintah," kata Azyumardi Azra dalam buku Menteri-Menteri Agama dan RI: Biografi dan Politik (hal 328).
Sudah bukan rahasia hubungan Soeharto dengan kelompok Islam Tanah Air diwarnai pasang surut. Hampir semua tahu, ada masa di mana kepala negara kelahiran Dusun Kemusuk, Bantul, Yogyakarta tersebut bahkan dicap alergi Islam. Penunjukan Jenderal TNI Leonardus Benyamin Moerdani sebagai Panglima ABRI semakin memperkuat stigma ini.
Benny, jenderal berwajah dingin yang kesohor sebagai ahli intelijen, tak dimungkiri kerap dilabeli sebagai sosok terdepan memusuhi Islam. Namun, dalam satu kesempatan lain, loyalis Soeharto ini menentang keras tuduhan tersebut.
Baca juga: Cara Halus Soeharto Tolak 3 Letjen Jadi Panglima TNI, Malah Pilih Jenderal Bintang 2
"Kok saya yang dituduh anti-Islam. Soeharto itu yang anti-Islam," kata Benny menjawab pertanyaan jurnalis kawakan Salim Said. Ucapan keras jenderal Kopassus asal Blora itu tertuang dalam buku Salim bertajuk Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto(hal 116) dikutip, Selasa (7/3/2023).
Ketidaksenangan Soeharto dengan Islam diduga karena dua hal. Pertama, latar belakangnya yang seorang kejawen atau abangan. Kedua, penguasa Cendana itu tak ingin kalangan Islam secara politik tumbuh besar. Pada pemilu pertama tahun 1955, suara yang diperoleh partai-partai Islam mencapai 85%, dengan jumlah terbesar diperoleh Masyumi.
Bagi Soeharto, kemapanan partai Islam dirasa bisa menjadi pengganjal ambisi politiknya, terutama dalam menciptakan tatanan Orde Baru. Bagi Harto, Orde Baru membutuhkan stabilitas. Sayangnya ini diciptakan dengan memberangus demokrasi dan hak-hak rakyat.
Semua kebijakan yang membatasi dan menyudutkan Islam membuat umat bersifat oposisi terhadap pemerintah. Bahkan pada dasawarsa ini fatwa-fatwa ulama mewajibkan masyarakat muslim memilih partai Islam dalam pemilu.
"Dakwah-dakwah yang disampaikan dari tokoh agama Islam juga sering berisi kritik-kritik terhadap pemerintah. Akibatnya pemerintah kesulitan melakukan komunikasi dengan umat Islam, karena tidak ada organisasi Islam yang suportif terhadap pemerintah," kata Azyumardi Azra dalam buku Menteri-Menteri Agama dan RI: Biografi dan Politik (hal 328).
Lihat Juga :
tulis komentar anda