Dekati Kelompok Islam, Istana Tunjuk 2 Jenderal Hijau Pegang Komando TNI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pertama kali dalam sejarah, dua jenderal bintang empat yang dekat dengan kalangan Islam, dipilih Presiden Soeharto menempati posisi puncak TNI . Keduanya yakni Jenderal TNI Feisal Tanjung yang didapuk sebagai Panglima ABRI (kini Panglima TNI) dan Jenderal TNI R Hartono sebagai KSAD. Mengapa Istana memilih kedua ABRI Hijau itu?
Sudah bukan rahasia hubungan Soeharto dengan kelompok Islam Tanah Air diwarnai pasang surut. Hampir semua tahu, ada masa di mana kepala negara kelahiran Dusun Kemusuk, Bantul, Yogyakarta tersebut bahkan dicap alergi Islam. Penunjukan Jenderal TNI Leonardus Benyamin Moerdani sebagai Panglima ABRI semakin memperkuat stigma ini.
Benny, jenderal berwajah dingin yang kesohor sebagai ahli intelijen, tak dimungkiri kerap dilabeli sebagai sosok terdepan memusuhi Islam. Namun, dalam satu kesempatan lain, loyalis Soeharto ini menentang keras tuduhan tersebut.
Baca juga: Cara Halus Soeharto Tolak 3 Letjen Jadi Panglima TNI, Malah Pilih Jenderal Bintang 2
"Kok saya yang dituduh anti-Islam. Soeharto itu yang anti-Islam," kata Benny menjawab pertanyaan jurnalis kawakan Salim Said. Ucapan keras jenderal Kopassus asal Blora itu tertuang dalam buku Salim bertajuk Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto(hal 116) dikutip, Selasa (7/3/2023).
Ketidaksenangan Soeharto dengan Islam diduga karena dua hal. Pertama, latar belakangnya yang seorang kejawen atau abangan. Kedua, penguasa Cendana itu tak ingin kalangan Islam secara politik tumbuh besar. Pada pemilu pertama tahun 1955, suara yang diperoleh partai-partai Islam mencapai 85%, dengan jumlah terbesar diperoleh Masyumi.
Bagi Soeharto, kemapanan partai Islam dirasa bisa menjadi pengganjal ambisi politiknya, terutama dalam menciptakan tatanan Orde Baru. Bagi Harto, Orde Baru membutuhkan stabilitas. Sayangnya ini diciptakan dengan memberangus demokrasi dan hak-hak rakyat.
Semua kebijakan yang membatasi dan menyudutkan Islam membuat umat bersifat oposisi terhadap pemerintah. Bahkan pada dasawarsa ini fatwa-fatwa ulama mewajibkan masyarakat muslim memilih partai Islam dalam pemilu.
"Dakwah-dakwah yang disampaikan dari tokoh agama Islam juga sering berisi kritik-kritik terhadap pemerintah. Akibatnya pemerintah kesulitan melakukan komunikasi dengan umat Islam, karena tidak ada organisasi Islam yang suportif terhadap pemerintah," kata Azyumardi Azra dalam buku Menteri-Menteri Agama dan RI: Biografi dan Politik (hal 328).
Ketidaksenangan Soeharto dengan kekuatan politik kalangan Islam juga tergambar dari hubungannya dengan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Menurut Greg Barton, penulis biografi Gus Dur, hubungan antara kedua sosok itu selalu bersifat pelik. Muktamar Cipasung pada 1994 menjadi contoh betapa Soeharto aktif dalam rekayasa menentang Gus Dur.
Greg menuturkan, Pak Harto jelas khawatir bila Gus Dur terpilih kembali sebagai Ketua Umum PBNU untuk periode ketiga. Yang perlu diperhatikan adalah dalam muktamar kali ini, Gus Dur berada di baris ketiga dari depan ketika acara pembukaan dan tidak disapa secara resmi oleh presiden.
Jurnalis Australia, David Jenkins secara gamblang mengetahui langsung ketidaksukaan Soeharto dengan Islam lewat wawancara khususnya dengan mantan Panglima Teritorium IV/Diponegoro tersebut. Jelang Pemilu 1977 Soeharto menerima IJ Kasimo, Frans Seda, dan beberapa orang lain. Sebelum para tamu duduk, dia berujar.
"Musuh kita bersama ialah Islam," kata Soeharto ditulis Jenkins dalam buku Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983(hal 35).
Presiden Soeharto bersama para menteri menghadiri acara Nuzulul Quran beberapa waktu lampau. Foto/Khastara Perpusnas
Soeharto boleh saja alergi dengan kalangan Islam. Namun secara politis jelas dia tak bisa selamanya berhadapan dengan kaum santri. Berbagai cara pun dilakukan agar kemesraan itu terjalin. Salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan kelompok Muslim ditandai dengan didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Desember 1990.
Menurut Greg Barton, lima tahun sebelumnya tidak terbayang organisasi semacam ICMI dapat muncul. Dalam bulan-bulan sebelum organisasi ini resmi diluncurkan, Soeharto secara jelas telah mengutarakan niatnya untuk menyeponsori.
Sebagai hasilnya, ICMI sejak kelahirannya menjadi sangat dekat dengan Golkar-nya Soeharto. Indonesianis asal Amerika Serikat, R William Liddle berpandangan, ICMI didirikan bukan hanya untuk kooptasi oposisi yang potensial menentang Soeharto, termasuk para jenderal militer yang bermanuver melawan. ICMI juga sebuah alat untuk merayu kelompok-kelompok Islam tertentu untuk berpihak pada mantan Pangkostrad itu sebelum Pemilu 1992 dan Pemilihan Presiden 1993.
"Karena alasan inilah dikepalai BJ Habibie, orang dekat Soeharto. Dari pendirian ICMI, Soeharto menjamin organisasi ini di bawah control staf Habibie," kata Liddle dalam Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesiadikutip Benyamin Fleming Intan di buku Agama Publik di Bumi Pancasila(hal 100).
Upaya merangkul kelompok Islam juga dilakukan melalui militer. The Smilling General, julukan Pak Harto, memilih perwira-perwira tinggi yang dekat dengan kalangan Muslim masuk dalam lingkarannya. Di kalangan militer, yang demikian ini disebut ABRI Hijau. Masuk dalam kategori ABRI Hijau antara lain Jenderal TNI R Hartono, Jenderal TNI Feisal Tanjung dan Letjen TNI Syarwan Hamid.
Rivalitas ABRI Hijau dan ABRI Merah Putih telah mencuat pada 1990. Bukan sekedar berebut pengaruh pada Soeharto, namun perseteruan internal ini juga berujung pada karier militer mereka. Benny Moerdani sebagai pemeluk Katolik dan dianggap memiliki andil besar dalam menghabisi gerakan Islam menyingkirkan para ABRI Hijau dari pusaran inti TNI. Mereka dikotak dan dipinggirkan.
"Tokoh-tokoh militer yang terafiliasi dengan organisasi Islam terkendala untuk menduduki posisi strategis di tubuh TNI. Feisal Tanjung dan R Hartono, misalnya. Keduanya dari keluarga Muhammadiyah terhambat dalam promosi jabatan," tutur Muh Khamdan dalam Politik Identitas dan Perebutan Hegemoni Kuasa: Kontestasi dalam Politik Elektoral di Indonesia(hal 228).
Panglima ABRI Jenderal TNI Benny Moerdani kerap dicap sebagai sosok anti-Islam di lingkaran dalam Soeharto. Foto/Istimewa
Kivlan mengisahkan, ketika Edi Sudrajat naik takhta sebagai Pangab selama dua bulan (12 Maret-12 Mei 1993), dia melakukan mutasi besar-besaran. Nasib pahit harus diterima R Hartono. Oleh jenderal berperawakan kerempeng itu, Hartono masuk kotak sebagai Komandan Sesko ABRI.
Adapun Mayjen TNI Feisal Tanjung diperkenalkan kepada BJ Habibie dengan harapan jenderal muslim dari Sumatera Utara itu dapat posisi strategis demi mengimbangi kekuatan Benny Moerdani. Namun toh dia tak juga naik pangkat. Setidaknya tujuh tahun jenderal berkumis itu menyandang pangkat jenderal bintang dua.
Oleh Kivlan, Feisal akhirnya dikenalkan kepada Letjen TNI Azwar Anas yang saat itu menjabat Menteri Perhubungan. Azwar orang dekat Soeharto. Sehari setelahnya atau pada 9 Juni 1992, Tanjung dipromosikan sebagai Kasum ABRI dan menyandang pangkat bintang 3. Ketika Soeharto akhirnya memercayai Tanjung sebagai Pangab, nasib R Hartono turut berubah.
Atas saran Kivlan, kachong (anak laki-laki) Madura itu diangkat sebagai Gubernur Lemhannas dan promosi letjen. Pada 1994, kariernya makin mencorong karena didapuk sebagai Kassospol ABRI. Pada 1995, Hartono didaulat menjadi KSAD.
"Dengan Feisal Tanjung sebagai Pangab, maka TNI AD untuk pertama kalinya mendudukkan dua perwira tinggi yang dekat dengan kalangan Islam pada pucuk pimpinan ABRI. Duet jenderal ini mendapat julukan duet jenderal santri," kata Kivlan dalam buku Masalah Internal TNI AD 1945-2000.
Pendek kata, penunjukan dua jenderal hijau itu dapat disebut sebagai upaya rekonsiliasi Harto dengan kelompok Muslim Tanah Air. Apakah sukses? Penulis buku Relasi Islam, Politik, dan Kekuasaan, Abdul Halim mengungkapkan, situasi beku pemerintah dan kalangan Islam lama-lama mencair pada 1990-an. Ini karena Soeharto mulai mengubah haluannya.
"Pada masa inilah politik Indonesia banyak diwarnai oleh fenomena-fenomena keislaman, misalnya ICMI didirikan, Soeharto Naik haji, pencabutan SDSB, dan pendirian BMI," kata dia.
Sudah bukan rahasia hubungan Soeharto dengan kelompok Islam Tanah Air diwarnai pasang surut. Hampir semua tahu, ada masa di mana kepala negara kelahiran Dusun Kemusuk, Bantul, Yogyakarta tersebut bahkan dicap alergi Islam. Penunjukan Jenderal TNI Leonardus Benyamin Moerdani sebagai Panglima ABRI semakin memperkuat stigma ini.
Benny, jenderal berwajah dingin yang kesohor sebagai ahli intelijen, tak dimungkiri kerap dilabeli sebagai sosok terdepan memusuhi Islam. Namun, dalam satu kesempatan lain, loyalis Soeharto ini menentang keras tuduhan tersebut.
Baca juga: Cara Halus Soeharto Tolak 3 Letjen Jadi Panglima TNI, Malah Pilih Jenderal Bintang 2
"Kok saya yang dituduh anti-Islam. Soeharto itu yang anti-Islam," kata Benny menjawab pertanyaan jurnalis kawakan Salim Said. Ucapan keras jenderal Kopassus asal Blora itu tertuang dalam buku Salim bertajuk Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto(hal 116) dikutip, Selasa (7/3/2023).
Ketidaksenangan Soeharto dengan Islam diduga karena dua hal. Pertama, latar belakangnya yang seorang kejawen atau abangan. Kedua, penguasa Cendana itu tak ingin kalangan Islam secara politik tumbuh besar. Pada pemilu pertama tahun 1955, suara yang diperoleh partai-partai Islam mencapai 85%, dengan jumlah terbesar diperoleh Masyumi.
Bagi Soeharto, kemapanan partai Islam dirasa bisa menjadi pengganjal ambisi politiknya, terutama dalam menciptakan tatanan Orde Baru. Bagi Harto, Orde Baru membutuhkan stabilitas. Sayangnya ini diciptakan dengan memberangus demokrasi dan hak-hak rakyat.
Semua kebijakan yang membatasi dan menyudutkan Islam membuat umat bersifat oposisi terhadap pemerintah. Bahkan pada dasawarsa ini fatwa-fatwa ulama mewajibkan masyarakat muslim memilih partai Islam dalam pemilu.
"Dakwah-dakwah yang disampaikan dari tokoh agama Islam juga sering berisi kritik-kritik terhadap pemerintah. Akibatnya pemerintah kesulitan melakukan komunikasi dengan umat Islam, karena tidak ada organisasi Islam yang suportif terhadap pemerintah," kata Azyumardi Azra dalam buku Menteri-Menteri Agama dan RI: Biografi dan Politik (hal 328).
Ketidaksenangan Soeharto dengan kekuatan politik kalangan Islam juga tergambar dari hubungannya dengan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Menurut Greg Barton, penulis biografi Gus Dur, hubungan antara kedua sosok itu selalu bersifat pelik. Muktamar Cipasung pada 1994 menjadi contoh betapa Soeharto aktif dalam rekayasa menentang Gus Dur.
Greg menuturkan, Pak Harto jelas khawatir bila Gus Dur terpilih kembali sebagai Ketua Umum PBNU untuk periode ketiga. Yang perlu diperhatikan adalah dalam muktamar kali ini, Gus Dur berada di baris ketiga dari depan ketika acara pembukaan dan tidak disapa secara resmi oleh presiden.
Jurnalis Australia, David Jenkins secara gamblang mengetahui langsung ketidaksukaan Soeharto dengan Islam lewat wawancara khususnya dengan mantan Panglima Teritorium IV/Diponegoro tersebut. Jelang Pemilu 1977 Soeharto menerima IJ Kasimo, Frans Seda, dan beberapa orang lain. Sebelum para tamu duduk, dia berujar.
"Musuh kita bersama ialah Islam," kata Soeharto ditulis Jenkins dalam buku Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983(hal 35).
Merangkul Islam
Presiden Soeharto bersama para menteri menghadiri acara Nuzulul Quran beberapa waktu lampau. Foto/Khastara Perpusnas
Soeharto boleh saja alergi dengan kalangan Islam. Namun secara politis jelas dia tak bisa selamanya berhadapan dengan kaum santri. Berbagai cara pun dilakukan agar kemesraan itu terjalin. Salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan kelompok Muslim ditandai dengan didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Desember 1990.
Menurut Greg Barton, lima tahun sebelumnya tidak terbayang organisasi semacam ICMI dapat muncul. Dalam bulan-bulan sebelum organisasi ini resmi diluncurkan, Soeharto secara jelas telah mengutarakan niatnya untuk menyeponsori.
Sebagai hasilnya, ICMI sejak kelahirannya menjadi sangat dekat dengan Golkar-nya Soeharto. Indonesianis asal Amerika Serikat, R William Liddle berpandangan, ICMI didirikan bukan hanya untuk kooptasi oposisi yang potensial menentang Soeharto, termasuk para jenderal militer yang bermanuver melawan. ICMI juga sebuah alat untuk merayu kelompok-kelompok Islam tertentu untuk berpihak pada mantan Pangkostrad itu sebelum Pemilu 1992 dan Pemilihan Presiden 1993.
"Karena alasan inilah dikepalai BJ Habibie, orang dekat Soeharto. Dari pendirian ICMI, Soeharto menjamin organisasi ini di bawah control staf Habibie," kata Liddle dalam Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesiadikutip Benyamin Fleming Intan di buku Agama Publik di Bumi Pancasila(hal 100).
Upaya merangkul kelompok Islam juga dilakukan melalui militer. The Smilling General, julukan Pak Harto, memilih perwira-perwira tinggi yang dekat dengan kalangan Muslim masuk dalam lingkarannya. Di kalangan militer, yang demikian ini disebut ABRI Hijau. Masuk dalam kategori ABRI Hijau antara lain Jenderal TNI R Hartono, Jenderal TNI Feisal Tanjung dan Letjen TNI Syarwan Hamid.
Duet Jenderal Santri
Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen mengatakan, ABRI Hijau adalah julukan untuk tentara yang berasal dari subkultur Islam dan dekat dengan kalangan tokoh-tokoh Islam seperti ulama, kiai, dan pimpinan ormas Islam. Sebaliknya, muncul pula istilah ABRI Merah Putih. Ini julukan untuk kelompok tentara yang dianggap nasionalis dan tidak membawa bendera agama. Masuk dalam golongan ini yaitu Benny Moerdani dan selanjutnya Edi Sudrajat.Rivalitas ABRI Hijau dan ABRI Merah Putih telah mencuat pada 1990. Bukan sekedar berebut pengaruh pada Soeharto, namun perseteruan internal ini juga berujung pada karier militer mereka. Benny Moerdani sebagai pemeluk Katolik dan dianggap memiliki andil besar dalam menghabisi gerakan Islam menyingkirkan para ABRI Hijau dari pusaran inti TNI. Mereka dikotak dan dipinggirkan.
"Tokoh-tokoh militer yang terafiliasi dengan organisasi Islam terkendala untuk menduduki posisi strategis di tubuh TNI. Feisal Tanjung dan R Hartono, misalnya. Keduanya dari keluarga Muhammadiyah terhambat dalam promosi jabatan," tutur Muh Khamdan dalam Politik Identitas dan Perebutan Hegemoni Kuasa: Kontestasi dalam Politik Elektoral di Indonesia(hal 228).
Panglima ABRI Jenderal TNI Benny Moerdani kerap dicap sebagai sosok anti-Islam di lingkaran dalam Soeharto. Foto/Istimewa
Kivlan mengisahkan, ketika Edi Sudrajat naik takhta sebagai Pangab selama dua bulan (12 Maret-12 Mei 1993), dia melakukan mutasi besar-besaran. Nasib pahit harus diterima R Hartono. Oleh jenderal berperawakan kerempeng itu, Hartono masuk kotak sebagai Komandan Sesko ABRI.
Adapun Mayjen TNI Feisal Tanjung diperkenalkan kepada BJ Habibie dengan harapan jenderal muslim dari Sumatera Utara itu dapat posisi strategis demi mengimbangi kekuatan Benny Moerdani. Namun toh dia tak juga naik pangkat. Setidaknya tujuh tahun jenderal berkumis itu menyandang pangkat jenderal bintang dua.
Oleh Kivlan, Feisal akhirnya dikenalkan kepada Letjen TNI Azwar Anas yang saat itu menjabat Menteri Perhubungan. Azwar orang dekat Soeharto. Sehari setelahnya atau pada 9 Juni 1992, Tanjung dipromosikan sebagai Kasum ABRI dan menyandang pangkat bintang 3. Ketika Soeharto akhirnya memercayai Tanjung sebagai Pangab, nasib R Hartono turut berubah.
Atas saran Kivlan, kachong (anak laki-laki) Madura itu diangkat sebagai Gubernur Lemhannas dan promosi letjen. Pada 1994, kariernya makin mencorong karena didapuk sebagai Kassospol ABRI. Pada 1995, Hartono didaulat menjadi KSAD.
"Dengan Feisal Tanjung sebagai Pangab, maka TNI AD untuk pertama kalinya mendudukkan dua perwira tinggi yang dekat dengan kalangan Islam pada pucuk pimpinan ABRI. Duet jenderal ini mendapat julukan duet jenderal santri," kata Kivlan dalam buku Masalah Internal TNI AD 1945-2000.
Pendek kata, penunjukan dua jenderal hijau itu dapat disebut sebagai upaya rekonsiliasi Harto dengan kelompok Muslim Tanah Air. Apakah sukses? Penulis buku Relasi Islam, Politik, dan Kekuasaan, Abdul Halim mengungkapkan, situasi beku pemerintah dan kalangan Islam lama-lama mencair pada 1990-an. Ini karena Soeharto mulai mengubah haluannya.
"Pada masa inilah politik Indonesia banyak diwarnai oleh fenomena-fenomena keislaman, misalnya ICMI didirikan, Soeharto Naik haji, pencabutan SDSB, dan pendirian BMI," kata dia.
(abd)