Perampasan Aset Tindak Pidana
Senin, 06 Maret 2023 - 09:23 WIB
Keberadaan RUU Perampasan Aset Tindak pidana melengkapi keberlakuan UU Nomor 31 Tahun 1999 yang sudah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 dan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pencucian Uang.
Kemunculan UU terkait objek termasuk aset tindak pidana, merupakan perubahan perkembangan besar dalam hukum pidana yang berfungsi sebagai sarana pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di mana subjek hukum pidana tidak hanya orang perorangan atau orang lain atau korporasi melainkan juga aset tindak pidana. Ini sekaligus menutup celah hukum tindak pidana terkait ekonomi dan keuangan negara.
Secara teoritik hukum pidana perampasan aset dibedakan antara perampasan aset berdasarkan hukum pidana – Criminal Based Foefeiture atau In Personam Forfeiture, dan In Rem Forfeiture atau Civil Based Forfeiture.
RUU PA menganut In Rem Forfeiture. Di dalam perampasan model pertama, perampasan aset merupakan langkah hukum lanjutan dari proses penyitaan aset tindak pidana sebagai barang bukti perkara tindak pidana; sedangkan perampasan aset model kedua, merupakan perampasan aset yang berdiri sendiri melalui tuntutan perampasan aset.
Di dalam RUU Perampasan Aset (November 2020) dianut perampasan model kedua di mana pemerintah yang diwakili Jaksa Agung mengajukan permohonan perampasan aset yang ditujukan ke pengadilan negeri di wilayah di mana lokasi aset yang dirampas berada. TItik berat perampasan model kedua adalah pada permohonan sedangkan titik berat perampasan model pertama, pada penuntutan. Dalam hal perampasan aset model kedua fungsi dan peranan Jamdatun mengemuka sedangkan model perampasan pertama, Jampidsus yang mengemuka.
Dalam RUU PA fungsi dan peranan Jaksan Agung sejak awal proses perampasan aset sampai dengan lokas Pusat Pengelolaan Aset Tindak Pidana (PPATPP) berada di bawah lingkup organisasi Kejaksaan. Yang terpenting perubahan yang harus segera ditindak lanjuti dalam UU Perampasan Aset adalah ketersediaan sarana dan prasarana perampasan aset seperti penambahan Rumah Pengelolaan Barang Rampasan atau yang dikenal selama ini, RUPBASAN, yang belum tersedia di seluruh ibukota provinsi.
Sekalipun lingkup kewenangan perampasan aset dalam RUU PA adalah melakukan perampasan aset hasil tindak pidana, seharusnya aparat penegakan hUkum (APH) khususnya Kejaksaan dan Kepolisian, memperhatikan sungguh-sungguh perlindugan hak asasi siapa pun yang berkepentingan dengan aset tindak pidana yang dirampas. Antara lain pihak lain yang memiliki alas hak atas aset barang rampasan diizinkan untuk mengajukan keberatan ke pengadilan negeri di mana lokasI aset tindak pidana yang telah dirampas berada.
Substansi RUU PA tampak kompleks terkait masalah keuangan khusus perpajakan, masalah lembaga jasa keuangan dan perbankan BUMN di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), masalah kewenangan Jaksa Agung khusus Jamdatun, masalah pengadilan negeri dengan hukum acara perampasan aset, masalah kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan masalah kekuasaan kehakiman dalam hal pelindungan hak asasi pemilik aset tindak pidana atau pihak ketiga yang berkepentngan dengan aset yang di duga merupakan aset tindak pidana.
Dengan begitu kompleksnya materi muatan perampasan aset tindak pidana maka diperlukan metode omnibus law untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana perampasan aset dan tumpeng tindih antara peraturan perundang-undangan terkait UU PA sebagaimana diuraikan di atas.
RUU Perampasan Aset masih menggunakan metode lama prosedur pembentukan perundang-undangan sehingga kemungkinan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang dapat merugikan para pemangku kepentingan sangat besar dan akan berujung kegagalan tujuan perampasan aset. Maka itu perlu dipertimbangkan hambatan-hambatan prosedural yang bakal terjadi.
Kemunculan UU terkait objek termasuk aset tindak pidana, merupakan perubahan perkembangan besar dalam hukum pidana yang berfungsi sebagai sarana pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di mana subjek hukum pidana tidak hanya orang perorangan atau orang lain atau korporasi melainkan juga aset tindak pidana. Ini sekaligus menutup celah hukum tindak pidana terkait ekonomi dan keuangan negara.
Secara teoritik hukum pidana perampasan aset dibedakan antara perampasan aset berdasarkan hukum pidana – Criminal Based Foefeiture atau In Personam Forfeiture, dan In Rem Forfeiture atau Civil Based Forfeiture.
RUU PA menganut In Rem Forfeiture. Di dalam perampasan model pertama, perampasan aset merupakan langkah hukum lanjutan dari proses penyitaan aset tindak pidana sebagai barang bukti perkara tindak pidana; sedangkan perampasan aset model kedua, merupakan perampasan aset yang berdiri sendiri melalui tuntutan perampasan aset.
Di dalam RUU Perampasan Aset (November 2020) dianut perampasan model kedua di mana pemerintah yang diwakili Jaksa Agung mengajukan permohonan perampasan aset yang ditujukan ke pengadilan negeri di wilayah di mana lokasi aset yang dirampas berada. TItik berat perampasan model kedua adalah pada permohonan sedangkan titik berat perampasan model pertama, pada penuntutan. Dalam hal perampasan aset model kedua fungsi dan peranan Jamdatun mengemuka sedangkan model perampasan pertama, Jampidsus yang mengemuka.
Dalam RUU PA fungsi dan peranan Jaksan Agung sejak awal proses perampasan aset sampai dengan lokas Pusat Pengelolaan Aset Tindak Pidana (PPATPP) berada di bawah lingkup organisasi Kejaksaan. Yang terpenting perubahan yang harus segera ditindak lanjuti dalam UU Perampasan Aset adalah ketersediaan sarana dan prasarana perampasan aset seperti penambahan Rumah Pengelolaan Barang Rampasan atau yang dikenal selama ini, RUPBASAN, yang belum tersedia di seluruh ibukota provinsi.
Sekalipun lingkup kewenangan perampasan aset dalam RUU PA adalah melakukan perampasan aset hasil tindak pidana, seharusnya aparat penegakan hUkum (APH) khususnya Kejaksaan dan Kepolisian, memperhatikan sungguh-sungguh perlindugan hak asasi siapa pun yang berkepentingan dengan aset tindak pidana yang dirampas. Antara lain pihak lain yang memiliki alas hak atas aset barang rampasan diizinkan untuk mengajukan keberatan ke pengadilan negeri di mana lokasI aset tindak pidana yang telah dirampas berada.
Substansi RUU PA tampak kompleks terkait masalah keuangan khusus perpajakan, masalah lembaga jasa keuangan dan perbankan BUMN di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), masalah kewenangan Jaksa Agung khusus Jamdatun, masalah pengadilan negeri dengan hukum acara perampasan aset, masalah kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan masalah kekuasaan kehakiman dalam hal pelindungan hak asasi pemilik aset tindak pidana atau pihak ketiga yang berkepentngan dengan aset yang di duga merupakan aset tindak pidana.
Dengan begitu kompleksnya materi muatan perampasan aset tindak pidana maka diperlukan metode omnibus law untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana perampasan aset dan tumpeng tindih antara peraturan perundang-undangan terkait UU PA sebagaimana diuraikan di atas.
RUU Perampasan Aset masih menggunakan metode lama prosedur pembentukan perundang-undangan sehingga kemungkinan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang dapat merugikan para pemangku kepentingan sangat besar dan akan berujung kegagalan tujuan perampasan aset. Maka itu perlu dipertimbangkan hambatan-hambatan prosedural yang bakal terjadi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda