Paradoks Mobile First Culture

Kamis, 16 Juli 2020 - 12:28 WIB
Bahagiakah manusia dengan migrasinya dari ruang hidup analog ke digital ? Dalam What to Do When Machine Do Everyithing, Malcolm Frank, Paul Roehrig dan Ben Pring, 2017, menyebut teknologi hadir di tengah kehidupan manusia dengan 3 sifat. Pertama ubipresent.

Ia hadir di mana mana. Mulai bangun tidur, jalani ritual pagi, aktivitas pendidikan maupun kerja, sampai tidur lagi, ada teknologi yang mengiringi. Kegiatan menyeduh kopi pagi, ada coffee machine-nya yang dapat menyediakan kopi ala kafe. Kebutuhan berita disediakan agregator berita yang dapat diakses di smartphone.

Pengaturan suhu ruangan dilakukan oleh teknologi AC terkini. Hingga menjalankan hobby, tersedia konsol yang makin mampu membaca algoritma pemakainya. Semua ada teknologinya. Sifat ubipresent teknologi karena mampu melayani aneka kebutuhan, lalu disambut sebagai harapan baru yang meningkatkan kualitas hidup manusia. Maka pada tahap kedua, manusia menerima teknologi dengan tangan terbuka, welcome.

Sayangnya, keterbukaan tangan manusia menerima teknologi tak selalu disertai kesadaran atas dampak, di luar kegunaannya. Ini adalah sifat ketiga yang diuraikan Frank, Roehrig dan Pring. Banyak aplikasi mobile yang ditawarkan secara massif, penuh variasi dan tak jarang bebas biaya, diikuti dengan konsekuensi yang tersembunyi sebagai syarat dan ketentuan adopsinya.

Celakanya, konsekuensi itu dapat mengubah hidup penggunannya dari tingkat mikro hingga makro di komunitas. Calon pengguna teknologi hanya berfokus pada kenikmatan yang dijanjikan. Hal-hal yang jadi dampak, sekaligus sumber keuntungan pengembang teknologi, diabaikan.

Apakah ketaksadaran calon penggunakan teknologi merupakan bentuk kecurangan sistematis yang dilakukan pengembang teknologi apapun ? Secara etis tentunya para pengembang teknologi berupaya bertindak transparan, tak menjebak, menipu, mengelabui calon penggunanya. Namun saat calon penggunanya terbuai pada kenikmatan yang ditawarkan, konsekuensi kerugian jangka panjang kerap diabaikan.

Hal lain yang turut menyumbang relasi yang tak menguntungkan pengguna, berupa rendahnya literasi teknologi. Ini menyebabkan tak dikenalinya dampak kerugian jangka panjang teknologi, berupa penggunaan data pribadi, analisis pola interaksi, pentemaan posting foto, hingga algoritma yang dapat memprediksi perilaku.

Maka yang harus jadi pertimbangan bagi tiap adopter, adanya sisi transaksional dari teknologi. “Tak ada makan siang gratis”. Para pengguna diuntungkan oleh aplikasi yang tampak gratis, namun informasi pribadinya terancam dimanfaatkan pengembang teknologi.

Teknologi hadir disambut, bersamaan tergadainya privasi. Ini sisi yang wajib dipahami. Tak mungkin pengembangan teknologi berjalan tanpa biaya. Ada kebutuhan riset, tenaga kerja, pemasaran, yang untuk semua itu harus ada yang menanggung. Kalau bukan biaya dalam bentuk uang, ya bentuk lain yang mengkompensasinya. Sehingga untuk menghindarkan transaksi yang merugikan, ya tolak ketika relasi terjadi tak setara. Pengenalan terhadap risiko adopsi mutlak dikenali.

Lagi pula, hubungan pengembang dan calon pengguna teknologi saling bebas. Maka, pada mobile only culture maupun groundswell yang telah dihayati manusia seraya dijadikan sebagai harapan hidup baru, namun konsekuensinya tak dipahami ada paradoks yang nyata. Ini akibat, tak jarang akibat modus memperoleh keuntungan yang hendak ditangguk pengembang taknologi, tak selalu tampak nyata dan segera dikenali. Hadir samar, namun fatal di tahap berikutnya. Sebuah ganjaran yang tak pernah setara.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More