Menyambut Rupiah Digital dengan Perangkat Legal
Rabu, 22 Februari 2023 - 05:42 WIB
Saraswati Harsasi
Pemerhati dan Peneliti Hukum Fintech
UNDANG-UNDANG Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) telah resmi disahkan. Omnibus law ini mengamendemen 17 undang-undang terkait sektor keuangan agar dapat beradaptasi dengan dinamika perubahan zaman dan perkembangan teknologi yang pesat.
Satu di antara undang-undang yang diamendemen adalah UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, dengan memasukkan ketentuan mengenai rupiah digital. Menurut UU P2SK, rupiah digital adalah rupiah dalam bentuk digital yang dikeluarkan dan merupakan kewajiban moneter Bank Indonesia (BI).
Baca Juga: koran-sindo.com
Pada dasarnya rupiah digital sama dengan uang kartal rupiah (kertas dan logam yang berlaku saat ini), yang dikonversi ke bentuk digital. Fungsinya juga sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), alat tukar dan alat penyimpanan nilai.
Oleh karena itu, kehadirannya tidak memengaruhi jumlah uang beredar, nilainya pun stabil, berdenominasi sama dengan mata uang rupiah. Selain bebas risiko, rupiah digital juga dapat digunakan untuk pembayaran lintas negara.
Penerbitan rupiah digital diharapkan dapat menjaga kedaulatan rupiah pada sistem pembayaran digital. Ini karena keriuhan fenomena crypto asset seperti bitcoin dan ethereum, menimbulkan shadow banking dan bahkan shadow central banking. Perusahaan penerbit crypto asset berlaku seolah-olah sebagai bank sentral tanpa batas yurisdiksi.
Lantas apa bedanya rupiah digital dengan crypto asset? Crypto asset dibuat oleh perusahaan swasta yang tidak memiliki legitimasi mengeluarkan mata uang, tanpa jaminan kedaulatan negara. Nilainya lebih fluktuatif, seringkali dibentuk oleh ekspektasi dan rentan manipulasi. “Pengoperasiannya terdesentralisasi dan nilainya tidak stabil,” begitu kata Bill Gates.
Pemerhati dan Peneliti Hukum Fintech
UNDANG-UNDANG Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) telah resmi disahkan. Omnibus law ini mengamendemen 17 undang-undang terkait sektor keuangan agar dapat beradaptasi dengan dinamika perubahan zaman dan perkembangan teknologi yang pesat.
Satu di antara undang-undang yang diamendemen adalah UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, dengan memasukkan ketentuan mengenai rupiah digital. Menurut UU P2SK, rupiah digital adalah rupiah dalam bentuk digital yang dikeluarkan dan merupakan kewajiban moneter Bank Indonesia (BI).
Baca Juga: koran-sindo.com
Pada dasarnya rupiah digital sama dengan uang kartal rupiah (kertas dan logam yang berlaku saat ini), yang dikonversi ke bentuk digital. Fungsinya juga sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), alat tukar dan alat penyimpanan nilai.
Oleh karena itu, kehadirannya tidak memengaruhi jumlah uang beredar, nilainya pun stabil, berdenominasi sama dengan mata uang rupiah. Selain bebas risiko, rupiah digital juga dapat digunakan untuk pembayaran lintas negara.
Penerbitan rupiah digital diharapkan dapat menjaga kedaulatan rupiah pada sistem pembayaran digital. Ini karena keriuhan fenomena crypto asset seperti bitcoin dan ethereum, menimbulkan shadow banking dan bahkan shadow central banking. Perusahaan penerbit crypto asset berlaku seolah-olah sebagai bank sentral tanpa batas yurisdiksi.
Lantas apa bedanya rupiah digital dengan crypto asset? Crypto asset dibuat oleh perusahaan swasta yang tidak memiliki legitimasi mengeluarkan mata uang, tanpa jaminan kedaulatan negara. Nilainya lebih fluktuatif, seringkali dibentuk oleh ekspektasi dan rentan manipulasi. “Pengoperasiannya terdesentralisasi dan nilainya tidak stabil,” begitu kata Bill Gates.
tulis komentar anda