Sidang Gugatan UU Ciptaker, Ketua MK: Tidak Ada Kaitan dengan Politik

Senin, 20 Februari 2023 - 19:07 WIB
"Ini agenda sebenarnya dinanti nanti oleh masyarakat Indonesia, ini sebenarnya sangat boleh dikatakan kecewa ya kecewa, sebenarnya Mahkamah Konstitusi itu lembaga yang memang proses persidangan yang jelas dan tegas itu harapan sebenarnya sampai penundaan seperti ini, jadi menurut kami itu enggak masuk akal hanya menunda seperti ini," ucapnya.

Dia pun berharap, sidang ini berjalan sampai putusan dan tidak dikalahkan oleh hal yang bersifat politis. "Jadi ya kami berpengharapan sebenarnya proses ini sampai ada pada putusan, jadi jangan jangan sampai dikarenakan sebuah proses persidangan dikalahkan dengan politis, di situ saja sebenarnya terima kasih," jelasnya.

Menanggapi pernyataan tersebut, Anwar Usman menegaskan, sidang di MK tidak boleh dikaitkan dengan politik. Dalam sidang kata Anwar pihaknya mengikut hukum acara berdasarkan Peraturan MK.

"Jadi sekali lagi ucapan sudara itu tidak boleh mengaitkan dengan politik. Di sini lembaga hukum, kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 14 Ayat 1 dan 2, tidak ada kaitan dengan politik, walaupun perkaranya subtansinya berkaitan dengan politik tapi MK berbicara mengenai hukum acara," tegasnya.

Diketahui, permohonan Nomor 5/PUU-XIX/2023 diajukan oleh Hasrul Buamona (Dosen Hukum Kesehatan/Pemohon I), Siti Badriyah (Pengurus Migrant Care/Pemohon II), Harseto Setyadi Rajah (Konsultan Hukum/Pemohon III), Jati Puji Santoro (Wiraswasta/Pemohon IV), Syaloom Mega G. Matitaputty (Mahasiswa FH Usahid/Pemohon V), dan Ananda Luthfia Rahmadhani (Mahasiswa FH Usahid/Pemohon VI).

Sedangkan permohonan Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2023, diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Para Pemohon Perkara Nomor 5/PUU-XIX/2023 menyatakan Perpu Cipker tersebut tertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 22 Ayat (1), dan Pasal 22A UUD 1945 serta Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 dan Nomor 91/PUU-XVII/2020.

Menurut para Pemohon, subjektivitas Presiden untuk menerbitkan Perpu harus didasarkan pada keadaan yang objektif. Apabila diukur dari tiga tolok ukur, keberadaan Perpu ini tidak memenuhi syarat karena selama ini Pemerintah menggunakan UU 11/2020 (UU Cipta Kerja) untuk melaksanakan kebutuhan mendesak dalam penyelesaian masalah hukum yang masuk dalam ruang lingkupnya, dan selama ini tidak terjadi kekosongan hukum.

Sementara itu Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XXI/2023 menyebutkan 55 Pasal yang terdapat pada Perpu 2/2022 bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya norma yang terdapat pada Perppu tersebut menghilangkan hak konstitusional para buruh yang telah dijamin dalam UUD 1945 dan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam bidang hukum ketenagakerjaan, Pemohon tidak melihat adanya kekosongan hukum.

Sebab hingga saat ini masih terdapat UU 13/2003 dan sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya yang masih tetap berlaku di Indonesia. Untuk itu melalui Petitum dalam permohonan formil, Pemohon memohon kepada Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian formil Pemohon; menyatakan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memenuhi ketentuan UU berdasarkan UUD 1945.
(maf)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More