Labirin Kekuasaan di Mata Ardern
Rabu, 15 Februari 2023 - 11:53 WIB
Muhammad Takdir
Pemerhati Masalah Internasional
JACINDA Ardern (37), seorang perempuan yang menjadi Perdana Menteri termuda Selandia Baru mengundurkan diri dari jabatannya minggu lalu. PM Arden yang terpilih sejak Oktober 2017, memutuskan turun dari jabatan itu pada 7 Februari 2023. Bagi banyak orang, masa kepemimpinan Ardern boleh disebut pendek (short tenure), lima tahun lebih.
Mengejutkan sekaligus mengagumkan. Ardern turun pada saat dirinya diklaim sukses memimpin navigasi negara itu melewati sejumlah krisis penting, lokal dan global. Ardern yang sukses memenangkan term keduanya pada 2020 mampu membawa Selandia Baru keluar dari krisis kesehatan Covid-19.
Dirinya juga berhasil menenangkan masyarakat Selandia Baru yang marah dan berkabung akibat serangan teroris Christchurch. Ardern bahkan terlihat cekatan dan atentif memimpin penanganan bencana letusan Gunung Merapi Whakaari.
Saya kira di bawah Ardern, kaum perempuan di Selandia Baru berhasil meraup rekor 48% penguasaan kursi di parlemen diduduki oleh perempuan. Dalam pemilu itu, Ardern menjelma menjadi figur pemimpin partai politik pertama dan perempun pula yang mampu memenangkan mayoritas kursi di parlemen sejak sistem elektoral proporsional mixed member diperkenalkan pada tahun 1996.
Gaya kepemimpinan Ardern selama ini didefinisikan sebagai “politics of kindness”. Dia membangun karier politik dan dunia kekuasaan politik menurut terminnya sendiri. Ardern misalnya tidak canggung memimpin delegasi Selandia Baru mengikuti prosesi sidang-sidang sangat serius di PBB tanpa risih dan kerepotan membawa puterinya yang masih bayi bernama Neve.
Pokoknya, Ardern adalah antitesa terhadap sexism dan misogyny politik. Sebagai seorang politisi perempuan, Ardern mendefinisikan dunia politik sebagai labirin yang dapat dilalui tanpa harus tersesat ataupun kehilangan jejak.
Ini merupakan cara pandang politik yang justeru di kalangan politisi kaum laki kerap menjadi dunia hitam yang sulit ditaklukkan. Sehingga dunia politik yang mereka ciptakan seringkali meninggalkan ego politik yang memangsa mereka sendiri.
Pemerhati Masalah Internasional
JACINDA Ardern (37), seorang perempuan yang menjadi Perdana Menteri termuda Selandia Baru mengundurkan diri dari jabatannya minggu lalu. PM Arden yang terpilih sejak Oktober 2017, memutuskan turun dari jabatan itu pada 7 Februari 2023. Bagi banyak orang, masa kepemimpinan Ardern boleh disebut pendek (short tenure), lima tahun lebih.
Mengejutkan sekaligus mengagumkan. Ardern turun pada saat dirinya diklaim sukses memimpin navigasi negara itu melewati sejumlah krisis penting, lokal dan global. Ardern yang sukses memenangkan term keduanya pada 2020 mampu membawa Selandia Baru keluar dari krisis kesehatan Covid-19.
Dirinya juga berhasil menenangkan masyarakat Selandia Baru yang marah dan berkabung akibat serangan teroris Christchurch. Ardern bahkan terlihat cekatan dan atentif memimpin penanganan bencana letusan Gunung Merapi Whakaari.
Saya kira di bawah Ardern, kaum perempuan di Selandia Baru berhasil meraup rekor 48% penguasaan kursi di parlemen diduduki oleh perempuan. Dalam pemilu itu, Ardern menjelma menjadi figur pemimpin partai politik pertama dan perempun pula yang mampu memenangkan mayoritas kursi di parlemen sejak sistem elektoral proporsional mixed member diperkenalkan pada tahun 1996.
Gaya kepemimpinan Ardern selama ini didefinisikan sebagai “politics of kindness”. Dia membangun karier politik dan dunia kekuasaan politik menurut terminnya sendiri. Ardern misalnya tidak canggung memimpin delegasi Selandia Baru mengikuti prosesi sidang-sidang sangat serius di PBB tanpa risih dan kerepotan membawa puterinya yang masih bayi bernama Neve.
Pokoknya, Ardern adalah antitesa terhadap sexism dan misogyny politik. Sebagai seorang politisi perempuan, Ardern mendefinisikan dunia politik sebagai labirin yang dapat dilalui tanpa harus tersesat ataupun kehilangan jejak.
Ini merupakan cara pandang politik yang justeru di kalangan politisi kaum laki kerap menjadi dunia hitam yang sulit ditaklukkan. Sehingga dunia politik yang mereka ciptakan seringkali meninggalkan ego politik yang memangsa mereka sendiri.
tulis komentar anda