Urgensi Regulasi Publisher Rights
Selasa, 14 Februari 2023 - 10:57 WIB
Berdasarkan laporan Digital News Report 2022 yang dirilis oleh Reuters Institute, menunjukkan 88% masyarakat Indonesia mengonsumsi media daring sebagai sumber berita.
Masih berdasarkan laporan tersebut, situs media sosial seperti WhatsApp, YouTube, Facebook, dan Instagram sangat populer di kalangan pengguna di Indonesia, dengan 68% orang mengaku mengonsumsi berita dari platform media sosial.
Angka-angka tersebut berbanding terbalik dengan 17% masyarakat Indonesia yang masih mengonsumsi berita cetak sebagai sumber beritanya.
Tingginya angka konsumen berita daring berbanding lurus dengan jumlah perusahaan pers siber di Indonesia. Berdasarkan data di website Dewan Pers, perusahaan pers siber yang telah terverifikasi sebanyak 902 perusahaan.
Bahkan menyadur data dari Ketua Dewan Pers 2016-2019, Yosep Adi Prasetyo memperkirakan jumlah media massa di Indonesia mencapai 47.000 media dan media online mencapai 43.300 (Jurnal Dewan Pers, November 2018). Tentunya angka-angka tersebut menunjukkan betapa kuatnya pengaruh platform digital sebagai sumber berita masyarakat Indonesia.
Kita tentu tidak bisa menghalangi perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dalam mencari informasi di era internet. Maka langkah penerbitan regulasi mengenai publisher rights setidaknya mengutip Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), membuktikan kehadiran negara dalam menjaga dan membangun keseimbangan ekosistem fair level playing field.
Penerbitan regulasi publisher rights hemat penulis tidak lepas dari fenomena yang sama di dunia penyiaran. Pada 2020 lalu, dua televisi swasta sebagai pemohon mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal yang mempermasalahkan adalah Undang-Undang Penyiaran khususnya menyangkut definisi penyiaran.
Regulasi tersebut dianggap tidak bisa membuat kesetaraan atau perlakuan yang sama (equal treatment) antara penyiaran berbasis frekwensi dengan penyiaran berbasis internet, seperti YouTube, Facebook, Netflix, dan sebagainya. Pemohon kalah, MK memutuskan rezim pengaturan penyiaran berbasis frekwensi berbeda dengan penyiaran berbasis internet.
Kemudian perkembangan belakangan ini banyak yang mengatakan masa keemasan televisi hampir berakhir dihantam konten internet, namun sampai sekarang televisi free to air tetap tegak berdiri dengan pangsa pasar yang masih cukup besar baik di perkotaan, perdesaan dan di daerah-daerah yang minim infrastruktur internet.
Media massa nonelektronik kini mengalami apa seperti yang dirasakan televisi. Bedanya jika televisi masih relatif mendapatkan kue iklan, media massa konvensional perlahan kehilangan sumber utama pemasukan tersebut, sementara tanpa henti ia harus memproduksi berita melalui kerja jurnalisme yang rigid.
Masih berdasarkan laporan tersebut, situs media sosial seperti WhatsApp, YouTube, Facebook, dan Instagram sangat populer di kalangan pengguna di Indonesia, dengan 68% orang mengaku mengonsumsi berita dari platform media sosial.
Angka-angka tersebut berbanding terbalik dengan 17% masyarakat Indonesia yang masih mengonsumsi berita cetak sebagai sumber beritanya.
Tingginya angka konsumen berita daring berbanding lurus dengan jumlah perusahaan pers siber di Indonesia. Berdasarkan data di website Dewan Pers, perusahaan pers siber yang telah terverifikasi sebanyak 902 perusahaan.
Bahkan menyadur data dari Ketua Dewan Pers 2016-2019, Yosep Adi Prasetyo memperkirakan jumlah media massa di Indonesia mencapai 47.000 media dan media online mencapai 43.300 (Jurnal Dewan Pers, November 2018). Tentunya angka-angka tersebut menunjukkan betapa kuatnya pengaruh platform digital sebagai sumber berita masyarakat Indonesia.
Kita tentu tidak bisa menghalangi perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dalam mencari informasi di era internet. Maka langkah penerbitan regulasi mengenai publisher rights setidaknya mengutip Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), membuktikan kehadiran negara dalam menjaga dan membangun keseimbangan ekosistem fair level playing field.
Penerbitan regulasi publisher rights hemat penulis tidak lepas dari fenomena yang sama di dunia penyiaran. Pada 2020 lalu, dua televisi swasta sebagai pemohon mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal yang mempermasalahkan adalah Undang-Undang Penyiaran khususnya menyangkut definisi penyiaran.
Regulasi tersebut dianggap tidak bisa membuat kesetaraan atau perlakuan yang sama (equal treatment) antara penyiaran berbasis frekwensi dengan penyiaran berbasis internet, seperti YouTube, Facebook, Netflix, dan sebagainya. Pemohon kalah, MK memutuskan rezim pengaturan penyiaran berbasis frekwensi berbeda dengan penyiaran berbasis internet.
Kemudian perkembangan belakangan ini banyak yang mengatakan masa keemasan televisi hampir berakhir dihantam konten internet, namun sampai sekarang televisi free to air tetap tegak berdiri dengan pangsa pasar yang masih cukup besar baik di perkotaan, perdesaan dan di daerah-daerah yang minim infrastruktur internet.
Media massa nonelektronik kini mengalami apa seperti yang dirasakan televisi. Bedanya jika televisi masih relatif mendapatkan kue iklan, media massa konvensional perlahan kehilangan sumber utama pemasukan tersebut, sementara tanpa henti ia harus memproduksi berita melalui kerja jurnalisme yang rigid.
tulis komentar anda