Berdiri In Between
Rabu, 08 Februari 2023 - 08:09 WIB
Muhammad Takdir
Pemerhati Masalah Internasional
DUTA Besar Emil Brix, Direktur Vienna School of International Studies secara provokatif menyentil negara-negara seperti Indonesia atau Austria. Masyarakat internasional harus memilih berdiri di mana.
Perang di Ukraina memasuki tahun kedua. Pertanyaan tentang masa depan setelah perang akan banyak menyangkut power politics dengan banyak pengaruh. “…the consequence for everybody including Indonesia, Austria and other countries who has to make decision where they would like to stand”, ujar Brix di depan audiens Foreign Policy Circle’s Talks di Pejambon (6/2/2023).
Sekilas, Brix terlalu simplistik. Seolah dunia tidak punya pilihan selain para big powers, AS, Rusia dan China. Mereka yang akan menentukan pendulum global. Tipikal Eropa seperti Josep Borrell yang menyebut benuanya garden, lainnya jungle.
Konstatasi Brix menyedihkam. Bahwa perang hanya akan dimenangkan big powers. Sehingga menurutnya, kitapun mesti segera menentukan sikap. Padahal perang sama sekali tidak memberikan pilihan. Jika bisa memilih, jangan perang!.
Perang di Ukraina justeru instigasi AS dan Eropa. Jadi mereka punya kewajiban menyelesaikannya. Arsitektur keamanan NATO yang selama ini merayu Kyiv. Ide bergabung di bawah ekosistem keamanan Eropa adalah check list paling atas kausalitas perang. Mereka tidak pernah belajar dari krisis Teluk Babi di Kuba.
Di tengah akutnya perang dan rivalitas big powers tadi, Indonesia tak pernah tidak punya pilihan. Tradisi politik luar negeri kita sejak dahulu sudah menanamkan filosofi rowing between the two reefs. Berlayar di antara dua karang.
Jangan keliru menafsirkan falsafah itu bahwa Indonesia senang berada di tengah. Memuja netralitas sebagai barometer seperti Swiss mendudukkan dirinya pada era cold war. Berdiri di antara dua kubu besar, di tengah kampiun Paman Sam dan imperium Kremlin. Mirip konteks strategic rivalry AS dan China sekarang.
Pemerhati Masalah Internasional
DUTA Besar Emil Brix, Direktur Vienna School of International Studies secara provokatif menyentil negara-negara seperti Indonesia atau Austria. Masyarakat internasional harus memilih berdiri di mana.
Perang di Ukraina memasuki tahun kedua. Pertanyaan tentang masa depan setelah perang akan banyak menyangkut power politics dengan banyak pengaruh. “…the consequence for everybody including Indonesia, Austria and other countries who has to make decision where they would like to stand”, ujar Brix di depan audiens Foreign Policy Circle’s Talks di Pejambon (6/2/2023).
Sekilas, Brix terlalu simplistik. Seolah dunia tidak punya pilihan selain para big powers, AS, Rusia dan China. Mereka yang akan menentukan pendulum global. Tipikal Eropa seperti Josep Borrell yang menyebut benuanya garden, lainnya jungle.
Konstatasi Brix menyedihkam. Bahwa perang hanya akan dimenangkan big powers. Sehingga menurutnya, kitapun mesti segera menentukan sikap. Padahal perang sama sekali tidak memberikan pilihan. Jika bisa memilih, jangan perang!.
Perang di Ukraina justeru instigasi AS dan Eropa. Jadi mereka punya kewajiban menyelesaikannya. Arsitektur keamanan NATO yang selama ini merayu Kyiv. Ide bergabung di bawah ekosistem keamanan Eropa adalah check list paling atas kausalitas perang. Mereka tidak pernah belajar dari krisis Teluk Babi di Kuba.
Di tengah akutnya perang dan rivalitas big powers tadi, Indonesia tak pernah tidak punya pilihan. Tradisi politik luar negeri kita sejak dahulu sudah menanamkan filosofi rowing between the two reefs. Berlayar di antara dua karang.
Jangan keliru menafsirkan falsafah itu bahwa Indonesia senang berada di tengah. Memuja netralitas sebagai barometer seperti Swiss mendudukkan dirinya pada era cold war. Berdiri di antara dua kubu besar, di tengah kampiun Paman Sam dan imperium Kremlin. Mirip konteks strategic rivalry AS dan China sekarang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda