Hari Koperasi dan Kontroversi Baru LPDB
Rabu, 15 Juli 2020 - 11:12 WIB
Dr Iqbal Alan Abdullah, MSc
Ketua Umum Center of Excellent Management Indonesia (Cemindo)
SEMUA negara kini menghadapi kesulitan menghadapi pandemi Covid-19 yang sudah terjadi hampir 6 bulan terakhir. Tak hanya Indonesia, wajah buram kita menutupi berbagai negara. Tidak mengherankan kalau Bank Dunia (World Bank) memprediksi pertumbuhan ekonomi global minus yaitu -5,2% pada tahun 2020.
Sementara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memberikan angka lebih buruk yaitu - 6-7,6%, Bahkan dalam skenario paling buruk OECD menyebut tingkat pengangguran global akan meningkat sebesar 10%, dan perdagangan internasional -11,4%. Kondisi ini menjadikan ekonomi dunia paling buruk sejak 1930.
Itu sebabnya OECD menilai dibutuhkan kebijakan yang fleksibel dan cepat untuk mengatasi ketidakpastian dari Covid-19. OECD menilai diperlukan strategi khusus di masing-masing sektor agar kinerjanya tetap terjaga.
Sebuah pesan yang kita lihat sudah dengan cepat ditangkap oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dikabarkan meluapkan kemarahan dan kejengkelannya kepada para menteri/lembaga pada sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2020).
Kemarahan ini sangat bisa kita pahami karena sepertinya tidak ada sense of crisis di tengah kesulitan yang sangat dahsyat yang dihadapi oleh masyarakat dan dunia usaha saat ini. Presiden Jokowi marah karena saat dunia membutuhkan kebijakan yang fleksibel dan cepat serta adanya strategi khusus, para pejabat dan aparaturnya masih berpikir kaku, lambat dan tidak punya strategi khusus.
Rendahnya realisasi anggaran untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) menjadi bukti tidak adanya sense of crisis itu. Total anggaran terkait PEN sebesar Rp695,20 triliun yang dibagi untuk kesehatan sebesar Rp87,55 triliun, perlindungan sosial Rp203,90 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, UMKM Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, sektoral K/L dan Pemda Rp106,11 triliun.
Sampai pertengahan Juni 2020, di bidang kesehatan realiasinya 1,54%, perlindungan sosial 28,63%, insentif dunia usaha, penyerapan masih 6,8%. Untuk UMKM realisasi juga masih sangat kecil yaitu 0,06%, untuk pembiayaan korporasi masih belum terealisasi atau 0%, sedangkan untuk bidang sektoral/Pemda, penyerapan sudah 3,65%.
Ketua Umum Center of Excellent Management Indonesia (Cemindo)
SEMUA negara kini menghadapi kesulitan menghadapi pandemi Covid-19 yang sudah terjadi hampir 6 bulan terakhir. Tak hanya Indonesia, wajah buram kita menutupi berbagai negara. Tidak mengherankan kalau Bank Dunia (World Bank) memprediksi pertumbuhan ekonomi global minus yaitu -5,2% pada tahun 2020.
Sementara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memberikan angka lebih buruk yaitu - 6-7,6%, Bahkan dalam skenario paling buruk OECD menyebut tingkat pengangguran global akan meningkat sebesar 10%, dan perdagangan internasional -11,4%. Kondisi ini menjadikan ekonomi dunia paling buruk sejak 1930.
Itu sebabnya OECD menilai dibutuhkan kebijakan yang fleksibel dan cepat untuk mengatasi ketidakpastian dari Covid-19. OECD menilai diperlukan strategi khusus di masing-masing sektor agar kinerjanya tetap terjaga.
Sebuah pesan yang kita lihat sudah dengan cepat ditangkap oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dikabarkan meluapkan kemarahan dan kejengkelannya kepada para menteri/lembaga pada sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2020).
Kemarahan ini sangat bisa kita pahami karena sepertinya tidak ada sense of crisis di tengah kesulitan yang sangat dahsyat yang dihadapi oleh masyarakat dan dunia usaha saat ini. Presiden Jokowi marah karena saat dunia membutuhkan kebijakan yang fleksibel dan cepat serta adanya strategi khusus, para pejabat dan aparaturnya masih berpikir kaku, lambat dan tidak punya strategi khusus.
Rendahnya realisasi anggaran untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) menjadi bukti tidak adanya sense of crisis itu. Total anggaran terkait PEN sebesar Rp695,20 triliun yang dibagi untuk kesehatan sebesar Rp87,55 triliun, perlindungan sosial Rp203,90 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, UMKM Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, sektoral K/L dan Pemda Rp106,11 triliun.
Sampai pertengahan Juni 2020, di bidang kesehatan realiasinya 1,54%, perlindungan sosial 28,63%, insentif dunia usaha, penyerapan masih 6,8%. Untuk UMKM realisasi juga masih sangat kecil yaitu 0,06%, untuk pembiayaan korporasi masih belum terealisasi atau 0%, sedangkan untuk bidang sektoral/Pemda, penyerapan sudah 3,65%.
tulis komentar anda