Inspirasi Srikandi bagi Negeri
A
A
A
Genap enam bulan pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla. Sejak awal mula pengenalan kabinet, masyarakat luas tak mengalihkan pengamatannya dari para menteri pimpinan mantan gubernur DKI Jakarta.
Tak terkecuali delapan perempuan yang didapuk Jokowi untuk memperkuat tim kerjanya. Siapa pun tahu tentang adanya sorotan khusus pada para srikandi Jokowi. Dengan jumlah menteri perempuan terbanyak sepanjang sejarah, pro-kontra pun tak terelakkan. Orang-orang mulai kasak-kusuk mencari tahu rekam jejak para srikandi tersebut.
Yang pro menyampaikan pembelaannya dengan menyebutkan bahwa sebagai presiden, Jokowi telah menciptakan sejarahbarudalamhalkomposisi menteri berdasarkan gender. Bolehlah ini dianggap sebagai pencapaian tersendiri. Sejumlah aktivis perempuan optimistis bahwa langkah istimewa tersebut akan dapat lebih banyak mengakomodasi kepentingan perempuan. Sementara itu, tak sedikit pula yang menyangsikan kapasitas para srikandi andalan tersebut.
Memang ada namanama populer yang kompetensinya tak diragukan. Namun, ada juga nama baru yang terkesan dipaksakan. Alasan yang mengemuka pada publik adalah belum ada rekam jejak yang menunjukkan pembuktian memiliki kompetensi komprehensif sesuai bidang yang dipercayakan kepadanya. Melalui buku ini, Octavia Pramono mencoba memaparkan fakta tentang para srikandi tersebut. Tulisan berisi jabaran fakta para menteri perempuan itu disusun secara alfabet.
Dimulai dari Khofifah Indar Parawansa, Nila F Moeloek, Puan Maharani, Retno Lestari Priansari Marsudi, Rini M Soemarno, Siti Nurbaya, Susi Pudjiastuti, ditutup catatan fakta tentang diri Yohana Susana Yembise. Tokoh perempuan yang amat populer dengan rekam jejak mengesankan adalah Khofifah Indar Parawansa. Perempuan yang didaulat Jokowi menjadi menteri sosial itu memiliki segudang pengalaman dengan prestasi tak terbantahkan secara nasional ataupun internasional.
Khofifah adalah perempuan cerdas dan kritis. Prestasilah yang membuat namanya makin diperhitungkan orang. Semua jabatan yang pernah diembannya diraih se-cara fair , tanpa politik uang. Tragedi demokrasi yang dialami Khofifah saat Pilkada Jawa Timur pada 2008 semakin mencuatkan namanya sebagai korban atas kejahatan demokrasi yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Tiga sosok srikandi yang disebut-sebut tak pantas adalah Puan Maharani, Rini M Soemarno, dan Susi Pudjiastuti. Bekal Puan Maharani untuk memegang jabatan menteri dianggap jauh dari cukup. Bahkan, ada tuduhan yang muncul bahwa menjadi menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan semata-mata adalah pemberian Presiden Jokowi karena Puan adalah putri Megawati, ketua umum partai yang mengusungnya (halaman 64).
Rini M Soemarno dituding tak patut menjadi salah satu srikandi Jokowi karena diduga memiliki rapor merah. Sosok perempuan yang dipercaya Jokowi menjadi menteri BUMN tersebut dianggap bukan sosok yang bersih dari korupsi. Ada indikasi keterlibatan Rini dalam berbagai upaya membangkrutkan negeri ini. Kenyataannya, mantan presiden direktur PT Astra Internasional itu memang pernah dimintai keterangan oleh KPK.
Akan tetapi, seseorang yang pernah dimintai keterangan KPK belum tentu terlibat kasus. Sederet prestasi masa lampau Rini menunjukkan kompetensinya menduduki jabatan tersebut. Pengangkatan Susi Pudjiastuti untuk memimpin Departemen Kelautan dan Perikanan dianggap tak pantas lebih karena pendidikan formal yang minimal. Ya, Susi hanya mengenyam pendidikan formal sampai di bangku kelas XI SMA.
Publik melupakan fakta penting berupa latar belakang pengusaha perikanan yang melekat pada sosok Susi. Pengalaman itulah yang nantinya tentu akan sangat berguna. Putus sekolah menjadikan sosok Susi sebagai pembelajar dan terus meningkatkan kemampuan dengan cara membaca apa saja. Mulai buku-buku hasil tulisan tokoh terkenal, demokrasi, hingga filsafat.
Komunikasi bahasa Inggrisnya bagus karena banyak belajar dari novel. Sosok Susi menambah satu bukti lagi bahwa kesuksesan tak melulu karena pendidikan tinggi, tetapi sangat mungkin diraih dengan sikap independen, mandiri, bertanggung jawab, komitmen tinggi dalam belajar, dan bekerja keras (halaman 144).
Dianika W Wardhani
Editor buku di beberapa
Tak terkecuali delapan perempuan yang didapuk Jokowi untuk memperkuat tim kerjanya. Siapa pun tahu tentang adanya sorotan khusus pada para srikandi Jokowi. Dengan jumlah menteri perempuan terbanyak sepanjang sejarah, pro-kontra pun tak terelakkan. Orang-orang mulai kasak-kusuk mencari tahu rekam jejak para srikandi tersebut.
Yang pro menyampaikan pembelaannya dengan menyebutkan bahwa sebagai presiden, Jokowi telah menciptakan sejarahbarudalamhalkomposisi menteri berdasarkan gender. Bolehlah ini dianggap sebagai pencapaian tersendiri. Sejumlah aktivis perempuan optimistis bahwa langkah istimewa tersebut akan dapat lebih banyak mengakomodasi kepentingan perempuan. Sementara itu, tak sedikit pula yang menyangsikan kapasitas para srikandi andalan tersebut.
Memang ada namanama populer yang kompetensinya tak diragukan. Namun, ada juga nama baru yang terkesan dipaksakan. Alasan yang mengemuka pada publik adalah belum ada rekam jejak yang menunjukkan pembuktian memiliki kompetensi komprehensif sesuai bidang yang dipercayakan kepadanya. Melalui buku ini, Octavia Pramono mencoba memaparkan fakta tentang para srikandi tersebut. Tulisan berisi jabaran fakta para menteri perempuan itu disusun secara alfabet.
Dimulai dari Khofifah Indar Parawansa, Nila F Moeloek, Puan Maharani, Retno Lestari Priansari Marsudi, Rini M Soemarno, Siti Nurbaya, Susi Pudjiastuti, ditutup catatan fakta tentang diri Yohana Susana Yembise. Tokoh perempuan yang amat populer dengan rekam jejak mengesankan adalah Khofifah Indar Parawansa. Perempuan yang didaulat Jokowi menjadi menteri sosial itu memiliki segudang pengalaman dengan prestasi tak terbantahkan secara nasional ataupun internasional.
Khofifah adalah perempuan cerdas dan kritis. Prestasilah yang membuat namanya makin diperhitungkan orang. Semua jabatan yang pernah diembannya diraih se-cara fair , tanpa politik uang. Tragedi demokrasi yang dialami Khofifah saat Pilkada Jawa Timur pada 2008 semakin mencuatkan namanya sebagai korban atas kejahatan demokrasi yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Tiga sosok srikandi yang disebut-sebut tak pantas adalah Puan Maharani, Rini M Soemarno, dan Susi Pudjiastuti. Bekal Puan Maharani untuk memegang jabatan menteri dianggap jauh dari cukup. Bahkan, ada tuduhan yang muncul bahwa menjadi menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan semata-mata adalah pemberian Presiden Jokowi karena Puan adalah putri Megawati, ketua umum partai yang mengusungnya (halaman 64).
Rini M Soemarno dituding tak patut menjadi salah satu srikandi Jokowi karena diduga memiliki rapor merah. Sosok perempuan yang dipercaya Jokowi menjadi menteri BUMN tersebut dianggap bukan sosok yang bersih dari korupsi. Ada indikasi keterlibatan Rini dalam berbagai upaya membangkrutkan negeri ini. Kenyataannya, mantan presiden direktur PT Astra Internasional itu memang pernah dimintai keterangan oleh KPK.
Akan tetapi, seseorang yang pernah dimintai keterangan KPK belum tentu terlibat kasus. Sederet prestasi masa lampau Rini menunjukkan kompetensinya menduduki jabatan tersebut. Pengangkatan Susi Pudjiastuti untuk memimpin Departemen Kelautan dan Perikanan dianggap tak pantas lebih karena pendidikan formal yang minimal. Ya, Susi hanya mengenyam pendidikan formal sampai di bangku kelas XI SMA.
Publik melupakan fakta penting berupa latar belakang pengusaha perikanan yang melekat pada sosok Susi. Pengalaman itulah yang nantinya tentu akan sangat berguna. Putus sekolah menjadikan sosok Susi sebagai pembelajar dan terus meningkatkan kemampuan dengan cara membaca apa saja. Mulai buku-buku hasil tulisan tokoh terkenal, demokrasi, hingga filsafat.
Komunikasi bahasa Inggrisnya bagus karena banyak belajar dari novel. Sosok Susi menambah satu bukti lagi bahwa kesuksesan tak melulu karena pendidikan tinggi, tetapi sangat mungkin diraih dengan sikap independen, mandiri, bertanggung jawab, komitmen tinggi dalam belajar, dan bekerja keras (halaman 144).
Dianika W Wardhani
Editor buku di beberapa
(ars)