Hukum yang Tidak Adil Bukanlah Hukum
A
A
A
NOER FAUZI RACHMAN PHD
Peneliti Utama Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi-Studi Agraria,
Pengajar Politik dan Gerakan Agraria di Program Studi Sosiologi Pedesaan,
Institut Pertanian Bogor
Pada Kamis, 23 April 2015, Nenek Asyani, 63, dan tiga terdakwa yang terkait, diputuskan bersalah oleh Hakim Pengadilan Negeri Situbondo dengan hukuman satu tahun penjara, dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan, denda 500 juta dengan subsider satu hari kurungan.
Mereka dinyatakan bersalah memiliki dan menguasai kayu hasil hutan tanpa izin. Hakim menyatakan bahwa terdakwa Asyani dkk terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf (d) UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
Pasal itu berbunyi ”Setiap orang dilarang memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin”. Selanjutnya, hakim juga menganggap perbuatan Nenek Asyani dkk terkena Pasal 83 ayat 1 UU P3H itu, yang memidanakan:
”Orang perseorangan yang dengan sengaja (a) memuat, membongkar, mengeluarkan, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin; (b) mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan, dan (c) memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar.”
Nenek Asyani dkk menolak diperlakukan sebagai pencuri. Karena itu, mereka menolak vonis itu, dan naik banding. Nenek Asyani meyakini 7 potong kayu jati ukuran 1,5 meter diameter 5-6 cm tersebut dipanen suaminya dari lahan milik mereka sendiri sekitar enam tahun lalu, dan disimpan di rumahnya. Ia meminta keponakannya untuk menyewa mobil dan membawa potongan kayunya ke rumah tukang kayu untuk membuat kursi dan dipan untuk kerja memijat bayi dan anak-anak.
Nenek Asyani dkk dilaporkan oleh empat petugas Perhutani yang tidak melihat secara langsung bagaimana kayu tersebut diambil dari pohonnya. Para saksi pelapor hanya melihat potongan-potongan kayu jati tersebut di rumah tukang kayu, dan diketahui berada di sana karena diangkut oleh keponakannya dan sopir mobil. Ketiganya ikut dilaporkan sebagai pelaku kejahatan.
Para saksi melaporkan bahwa satu pohon jati hilang dari lahan Perum Perhutani RPH Bondowoso di kebun Coto, Desa Kerangstal, Desa Jati Batang, dan mereka menduga kayu jati yang berada di rumah tukang kayu itu merupakan kayu yang hilang itu. Atas laporan tersebut, Nenek Asyani dkk itu pun ditahan polisi, yang kemudian memprosesnya.
Jaksa bekerja atas dasar berkas dari polisi, dan pengadilan pun digelar. Nenek Asyani dkk ditahan polisi dan jaksa serta pengadilan selama 100 hari. Mereka diizinkan menjalani tahanan luar setelah kasus ini memperoleh perhatian luas, termasuk dari media massa, Bupati Situbondo Dadang Wigiyanto dan Menteri Lingkungan dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Mengkriminalisasi Rakyat
Para peneliti politik agraria atas penguasaan hutan oleh negara di Jawa telah mafhum bahwa penguasaan dan pengendalian atas lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan merupakan bagian dari ciri utama politik agraria kehutanan di Jawa masa pascakolonial yang berakar pada praktik penguasa kolonial Belanda yang dimulai di abad ke-19 (Peluso 1992, Santoso 2005, Mary dkk 2007).
Selain politik tanam paksa (cultuurstelsel ) 1830-1870, sejak akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda menerapkan teritorialisasi negara terhadap hutan (Vandergeest dan Peluso 1995). Langkah pertama dari teritorialisasi negara itu adalah pembentukan perundang-undangan yang secara khusus mengatur pengenda- lian negara terhadap lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan.
Yang pertama adalah Peraturan Pemerintah mengenai Kehutanan di Jawa dan Madura pada 1865. Langkah berikutnya adalah pemberlakuan undang-undang yang dikenal dengan ‘Domeinverklaring’ pada 1870 yang menganggap semua tanah hutan adalah tanah milik negara, kecuali tanah-tanah yang eigendom, pemilikan pribadi (Peluso 1992, Vandergeest dan Peluso 2001, Simon 2001).
Langkah kedua dalam hal pengendalian negara atas hutan pada masa kolonial Indonesia terjadi ketika Dinas Kehutanan Kolonial (Boschwezen ) melakukan proses pembuatan dan kemudian penetapan batas- batas antara wilayah ”kawasan hutan” dengan wilayah nonhutan (pertanian, perkebunan, permukiman, dsb).
Penetapan batas ini adalah bagian dari proses politik (makanya Vandergeest dan Peluso 2001 menyebutnya sebagai political forest ). Kebijakan kehutanan di zaman Gubernur Jenderal Daendels, telah teguh dengan prinsip bahwa pengelolaan hutan paling baik dijamin oleh pengelolaan negara atas tanah hutan, dipimpin oleh satu dinas kehutanan pemerintah, dan dijalankan oleh ahli kehutanan profesional.
Ini adalah prinsip-prinsip ”kehutanan ilmiah”. Tanggung jawabnya Boschwezen itu termasuk menguasai tanah hutan, menanami kembali hutan-hutan yang gundul, pengembangan spesies pohon jati, memperbaiki praktikpraktik pengelolaan hutan, serta memobilisasi dan mengendalikan penduduk pekerja dan rakyat miskin sekitar hutan (Peluso 1992).
Langkah ketiga adalah ”teritorialisasi fungsional”, yang terjadi ketika Dinas Kehutanan Kolonial Belanda menentukan wilayah hutan menjadi berdasar fungsi-fungsi seperti hutan produksi, hutan lindung, cagar alam. Bisa penulis tambahkan, langkah keempat adalah penetapan legalitas dan ilegalitas dalam akses/pemanfaatan atas hutan.
Mereka yang mempunyai lisensi (surat izin) dinyatakan sebagai akses legal, sementara akses rakyat dinyatakan ilegal karena tidak memiliki izin formal. Ujungnya adalah kriminalisasi rakyat, dalam rangka memberikan hukuman pada praktik ilegal rakyat miskin sekitar ”kawasan hutan negara”, dan kemudian penghukuman tersebut disosialisasikan dalam rangka meneguhkan pengendalian negara atas lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan itu.
Masih Cara Kolonial
Kasus kriminalisasi terhadap rakyat sekitar hutan, seperti yang dialami oleh Nenek Asyani dkk, bukanlah suatu gejala yang berdiri sendiri dan terlepas dari politik agraria yang melingkupinya. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah instrumentasi hukum sebagai taktik untuk pelanggengan penguasaan dan pengendalian Perhutani atas lahan, spesies, dan rakyat.
Dari perspektif politik agraria, kriminalisasi atas Asyani dkk berfungsi sebagai suatu pengumuman pada rakyat miskin sekitar hutan: bahwa hukuman demikian itu dapat mengenai siapa pun yang berani menantang kuasa Perhutani mengendalikan lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan. Lebih dari itu, cara negara hadir dalam pengalaman rakyat yang lemah, masih serupa dengan yang dilakukan penguasa kolonial terdahulu.
Menurut penulis, penggunaan UUP3H Pasal 12 huruf (d) dan Pasal 83 ayat 1 untuk kasus Nenek Asyani dkk adalah salah sasaran, karena UUP3H ditujukan memberantas kejahatan terorganisasi (pasal 1 ayat 4). Sangat jelas bahwa yang dilakukan mereka sama sekali bukan kejahatan terorganisasi.
Dari pandangan Nenek Asyani sendiri, hadirnya negara dengan cara demikian itu merupakan suatu tindakan aparatus negara menzalimi diri dan kawankawannya. Ketika hukum negara tidak lagi menyediakan keadilan, ia menolak mematuhinya, dan merujuk ke cara penyelesaian yang lain. Setelah hakim memutuskan menutup persidangan, Nenek Asyani menyampaikan kalimat berikut dengan lantang: ”Abbeh mak nyingla. Mara tojuk Pak Hakim. Berarti Hakim tak parcaje jhek engkok tak ngecok.
Mara a sompah pocong bik engkok. (Kenapa kok keluar. Mari duduk di sini Pak Hakim. Berarti Hakim tidak percaya kalau saya tidak mencuri. Mari sumpah pocong saja sama saya).” Nenek Asyani bertindak lebih jauh dari pada yang dimaksud oleh pepatah hukum yang bersumber dari filsuf Thomas Aquinas (1225- 1274) bahwa ”hukum yang tidak adil bukanlah hukum”, malah ia menunjukkan lanjutannya, mencari rujukan lain untuk menyelesaikan pertentangan antara hukum dan rasa keadilan.
Peneliti Utama Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi-Studi Agraria,
Pengajar Politik dan Gerakan Agraria di Program Studi Sosiologi Pedesaan,
Institut Pertanian Bogor
Pada Kamis, 23 April 2015, Nenek Asyani, 63, dan tiga terdakwa yang terkait, diputuskan bersalah oleh Hakim Pengadilan Negeri Situbondo dengan hukuman satu tahun penjara, dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan, denda 500 juta dengan subsider satu hari kurungan.
Mereka dinyatakan bersalah memiliki dan menguasai kayu hasil hutan tanpa izin. Hakim menyatakan bahwa terdakwa Asyani dkk terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf (d) UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
Pasal itu berbunyi ”Setiap orang dilarang memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin”. Selanjutnya, hakim juga menganggap perbuatan Nenek Asyani dkk terkena Pasal 83 ayat 1 UU P3H itu, yang memidanakan:
”Orang perseorangan yang dengan sengaja (a) memuat, membongkar, mengeluarkan, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin; (b) mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan, dan (c) memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar.”
Nenek Asyani dkk menolak diperlakukan sebagai pencuri. Karena itu, mereka menolak vonis itu, dan naik banding. Nenek Asyani meyakini 7 potong kayu jati ukuran 1,5 meter diameter 5-6 cm tersebut dipanen suaminya dari lahan milik mereka sendiri sekitar enam tahun lalu, dan disimpan di rumahnya. Ia meminta keponakannya untuk menyewa mobil dan membawa potongan kayunya ke rumah tukang kayu untuk membuat kursi dan dipan untuk kerja memijat bayi dan anak-anak.
Nenek Asyani dkk dilaporkan oleh empat petugas Perhutani yang tidak melihat secara langsung bagaimana kayu tersebut diambil dari pohonnya. Para saksi pelapor hanya melihat potongan-potongan kayu jati tersebut di rumah tukang kayu, dan diketahui berada di sana karena diangkut oleh keponakannya dan sopir mobil. Ketiganya ikut dilaporkan sebagai pelaku kejahatan.
Para saksi melaporkan bahwa satu pohon jati hilang dari lahan Perum Perhutani RPH Bondowoso di kebun Coto, Desa Kerangstal, Desa Jati Batang, dan mereka menduga kayu jati yang berada di rumah tukang kayu itu merupakan kayu yang hilang itu. Atas laporan tersebut, Nenek Asyani dkk itu pun ditahan polisi, yang kemudian memprosesnya.
Jaksa bekerja atas dasar berkas dari polisi, dan pengadilan pun digelar. Nenek Asyani dkk ditahan polisi dan jaksa serta pengadilan selama 100 hari. Mereka diizinkan menjalani tahanan luar setelah kasus ini memperoleh perhatian luas, termasuk dari media massa, Bupati Situbondo Dadang Wigiyanto dan Menteri Lingkungan dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Mengkriminalisasi Rakyat
Para peneliti politik agraria atas penguasaan hutan oleh negara di Jawa telah mafhum bahwa penguasaan dan pengendalian atas lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan merupakan bagian dari ciri utama politik agraria kehutanan di Jawa masa pascakolonial yang berakar pada praktik penguasa kolonial Belanda yang dimulai di abad ke-19 (Peluso 1992, Santoso 2005, Mary dkk 2007).
Selain politik tanam paksa (cultuurstelsel ) 1830-1870, sejak akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda menerapkan teritorialisasi negara terhadap hutan (Vandergeest dan Peluso 1995). Langkah pertama dari teritorialisasi negara itu adalah pembentukan perundang-undangan yang secara khusus mengatur pengenda- lian negara terhadap lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan.
Yang pertama adalah Peraturan Pemerintah mengenai Kehutanan di Jawa dan Madura pada 1865. Langkah berikutnya adalah pemberlakuan undang-undang yang dikenal dengan ‘Domeinverklaring’ pada 1870 yang menganggap semua tanah hutan adalah tanah milik negara, kecuali tanah-tanah yang eigendom, pemilikan pribadi (Peluso 1992, Vandergeest dan Peluso 2001, Simon 2001).
Langkah kedua dalam hal pengendalian negara atas hutan pada masa kolonial Indonesia terjadi ketika Dinas Kehutanan Kolonial (Boschwezen ) melakukan proses pembuatan dan kemudian penetapan batas- batas antara wilayah ”kawasan hutan” dengan wilayah nonhutan (pertanian, perkebunan, permukiman, dsb).
Penetapan batas ini adalah bagian dari proses politik (makanya Vandergeest dan Peluso 2001 menyebutnya sebagai political forest ). Kebijakan kehutanan di zaman Gubernur Jenderal Daendels, telah teguh dengan prinsip bahwa pengelolaan hutan paling baik dijamin oleh pengelolaan negara atas tanah hutan, dipimpin oleh satu dinas kehutanan pemerintah, dan dijalankan oleh ahli kehutanan profesional.
Ini adalah prinsip-prinsip ”kehutanan ilmiah”. Tanggung jawabnya Boschwezen itu termasuk menguasai tanah hutan, menanami kembali hutan-hutan yang gundul, pengembangan spesies pohon jati, memperbaiki praktikpraktik pengelolaan hutan, serta memobilisasi dan mengendalikan penduduk pekerja dan rakyat miskin sekitar hutan (Peluso 1992).
Langkah ketiga adalah ”teritorialisasi fungsional”, yang terjadi ketika Dinas Kehutanan Kolonial Belanda menentukan wilayah hutan menjadi berdasar fungsi-fungsi seperti hutan produksi, hutan lindung, cagar alam. Bisa penulis tambahkan, langkah keempat adalah penetapan legalitas dan ilegalitas dalam akses/pemanfaatan atas hutan.
Mereka yang mempunyai lisensi (surat izin) dinyatakan sebagai akses legal, sementara akses rakyat dinyatakan ilegal karena tidak memiliki izin formal. Ujungnya adalah kriminalisasi rakyat, dalam rangka memberikan hukuman pada praktik ilegal rakyat miskin sekitar ”kawasan hutan negara”, dan kemudian penghukuman tersebut disosialisasikan dalam rangka meneguhkan pengendalian negara atas lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan itu.
Masih Cara Kolonial
Kasus kriminalisasi terhadap rakyat sekitar hutan, seperti yang dialami oleh Nenek Asyani dkk, bukanlah suatu gejala yang berdiri sendiri dan terlepas dari politik agraria yang melingkupinya. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah instrumentasi hukum sebagai taktik untuk pelanggengan penguasaan dan pengendalian Perhutani atas lahan, spesies, dan rakyat.
Dari perspektif politik agraria, kriminalisasi atas Asyani dkk berfungsi sebagai suatu pengumuman pada rakyat miskin sekitar hutan: bahwa hukuman demikian itu dapat mengenai siapa pun yang berani menantang kuasa Perhutani mengendalikan lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan. Lebih dari itu, cara negara hadir dalam pengalaman rakyat yang lemah, masih serupa dengan yang dilakukan penguasa kolonial terdahulu.
Menurut penulis, penggunaan UUP3H Pasal 12 huruf (d) dan Pasal 83 ayat 1 untuk kasus Nenek Asyani dkk adalah salah sasaran, karena UUP3H ditujukan memberantas kejahatan terorganisasi (pasal 1 ayat 4). Sangat jelas bahwa yang dilakukan mereka sama sekali bukan kejahatan terorganisasi.
Dari pandangan Nenek Asyani sendiri, hadirnya negara dengan cara demikian itu merupakan suatu tindakan aparatus negara menzalimi diri dan kawankawannya. Ketika hukum negara tidak lagi menyediakan keadilan, ia menolak mematuhinya, dan merujuk ke cara penyelesaian yang lain. Setelah hakim memutuskan menutup persidangan, Nenek Asyani menyampaikan kalimat berikut dengan lantang: ”Abbeh mak nyingla. Mara tojuk Pak Hakim. Berarti Hakim tak parcaje jhek engkok tak ngecok.
Mara a sompah pocong bik engkok. (Kenapa kok keluar. Mari duduk di sini Pak Hakim. Berarti Hakim tidak percaya kalau saya tidak mencuri. Mari sumpah pocong saja sama saya).” Nenek Asyani bertindak lebih jauh dari pada yang dimaksud oleh pepatah hukum yang bersumber dari filsuf Thomas Aquinas (1225- 1274) bahwa ”hukum yang tidak adil bukanlah hukum”, malah ia menunjukkan lanjutannya, mencari rujukan lain untuk menyelesaikan pertentangan antara hukum dan rasa keadilan.
(bbg)