Penangkapan Novel
A
A
A
Penangkapan salah satu penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, oleh Bareskrim Polri akhir pekan lalu benar-benar menyedot perhatian masyarakat.
Penangkapan tersebut memicu kontroversi yang kemudian menjadi bola liar. Kurangnya koordinasi antara Polri dan KPK dinilai menjadi penyebab membesarnya berita penangkapan Novel tersebut. Penangkapan seorang tersangka sebenarnya hal yang biasa dilakukan polisi. Namun fenomena ini menjadi lain karena Novel merupakan penyidik KPK.
Ditambah lagi hubungan antara KPK dan Polri belum lama ini memang sedang bermasalah kalau tidak bisa disebut sedang berkonflik. Akhirnya, apa pun yang terjadi menyangkut dua institusi penegak hukum tersebut terdengar sangat seksi. Tak salah memang jika kemudian berita penangkapan Novel ini benar-benar melejit dan menjadi konsumsi publik.
Apalagi KPK, aktivis, serta sejumlah pegiat antikorupsi kemudian menggalang dukungan masyarakat lewat media sosial untuk ”membebaskan” Novel hingga cukup menimbulkan kegaduhan politik. Kampanye para pendukung Novel tersebut ”meluluhkan” hati Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akhirnya memerintahkan Polri untuk membebaskannya.
Akhirnya, yang terjadi adalah langkah Polri ini mendapat kritikan keras dari sebagian masyarakat sebagai upaya kriminalisasi terhadap KPK. Memang tidak sedikit juga warga masyarakat yang menganggap bahwa penangkapan Novel merupakan hal biasa yang dilakukan Polri seperti menangkap para tersangka lain.
Terlepas benar atau tidaknya tuduhan kriminalisasi pada penangkapan Novel tersebut, ada sejumlah hal yang patut kita cermati bersama. Ada kesan yang tidak fair terjadi menyangkut KPK dan Polri. Selama ini pemahaman publik selalu menganggap bahwa apa yang dilakukan KPK selalu benar dan sebaliknya apa yang dilakukan Polri selalu salah.
Mendukung KPK terkesan seksi, mendukung Polri pun di-bully. Tentu dikotomi pelabelan KPK selalu benar dan Polri selalu salah sama sekali tidak bijaksana. Karena penyebutan tersebut akhirnya akan merugikan Polri secara kelembagaan. Karenaitu, masyarakat seharusnya lebih adil dalam menyikapi kasus ini. Kita seharusnya melihat lebih jernih dengan memberi kesempatan Polri mengusut kasus Novel.
Oke, kasus dugaan pembunuhan yang dituduhkan kepada Novel memang terjadi sudah lama saat Novel menjabat sebagai kasatreskrim di Bengkulu dulu. Namun tetap saja kasusnya tak bisa hilang begitu saja hanya karena yang bersangkutan menjadi penyidik KPK. Ingat bahwa tidak ada yang kebal hukum di negeri ini. Harus pula dibedakan antara lembaga KPK dengan individu.
Tidak bisa kita menyebut kasus yang menimpa Novel atau Abraham Samad atau Bambang Widjojanto mewakili lembaga KPK. Kasus yang menimpa individu harus diselesaikan secara individu. Jangan malah menggunakan lembaga KPK untuk tameng atau melindungi diri agar terlepas dari kasus yang membelitnya. Hal itu jelas tidak diperbolehkan.
Karena itu, sekali lagi agar kasusnya menjadi jelas biarlah Polri menyidik kasus ini hingga tuntas. Polri tentu memiliki cara dan standar sendiri dalam menyelesaikan kasus ini. Toh pengadilan nanti yang menentukan apakah Novel bersalah atau tidak. Satu hal lagi, langkah Presiden Jokowi yang memerintahkan Kapolri membebaskan Novel lewat media massa seharusnya tidak dilakukan.
Selain akan menimbulkan kesan sebagai intervensi seorang presiden terhadap independensi penyidik Polri, langkah Jokowi tersebut juga mengurangi kewibawaan lembaga kepresidenan itu sendiri. Seharusnya Presiden Jokowi bisa menghubungi Kapolri secara langsung untuk membebaskan Novel atau setidaknya mengutus pejabatnya untuk mengurus masalah tersebut. Membuat pernyataan lewat media terkesan hanya mencari popularitas.
Di sisi lain, hal ini juga mempermalukan lembaga Polri. Padahal secara hukum, Polri punya hak dan wewenang untuk melakukan penangkapan dalam kasus Novel ini. Campur tangan Presiden tersebut seharusnya tidak terjadi karena bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum ke depan. Kini Novel sudah dibebaskan setelah para petinggi Polri dan KPK bertemu. Polri pun berjanji akan bertindak profesional, begitu pun KPK tidak akan menghalangi penyidikan kasus Novel.
Agar tak terulang lagi, Polri seharusnya berkoordinasi dulu dengan pimpinan KPK jika ke depan akan mengusut kasus yang ada di lembaga tersebut. Begitu pula sebaliknya. Kita tunggu saja komitmen mereka dalam menegakkan hukum di negara ini.
Penangkapan tersebut memicu kontroversi yang kemudian menjadi bola liar. Kurangnya koordinasi antara Polri dan KPK dinilai menjadi penyebab membesarnya berita penangkapan Novel tersebut. Penangkapan seorang tersangka sebenarnya hal yang biasa dilakukan polisi. Namun fenomena ini menjadi lain karena Novel merupakan penyidik KPK.
Ditambah lagi hubungan antara KPK dan Polri belum lama ini memang sedang bermasalah kalau tidak bisa disebut sedang berkonflik. Akhirnya, apa pun yang terjadi menyangkut dua institusi penegak hukum tersebut terdengar sangat seksi. Tak salah memang jika kemudian berita penangkapan Novel ini benar-benar melejit dan menjadi konsumsi publik.
Apalagi KPK, aktivis, serta sejumlah pegiat antikorupsi kemudian menggalang dukungan masyarakat lewat media sosial untuk ”membebaskan” Novel hingga cukup menimbulkan kegaduhan politik. Kampanye para pendukung Novel tersebut ”meluluhkan” hati Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akhirnya memerintahkan Polri untuk membebaskannya.
Akhirnya, yang terjadi adalah langkah Polri ini mendapat kritikan keras dari sebagian masyarakat sebagai upaya kriminalisasi terhadap KPK. Memang tidak sedikit juga warga masyarakat yang menganggap bahwa penangkapan Novel merupakan hal biasa yang dilakukan Polri seperti menangkap para tersangka lain.
Terlepas benar atau tidaknya tuduhan kriminalisasi pada penangkapan Novel tersebut, ada sejumlah hal yang patut kita cermati bersama. Ada kesan yang tidak fair terjadi menyangkut KPK dan Polri. Selama ini pemahaman publik selalu menganggap bahwa apa yang dilakukan KPK selalu benar dan sebaliknya apa yang dilakukan Polri selalu salah.
Mendukung KPK terkesan seksi, mendukung Polri pun di-bully. Tentu dikotomi pelabelan KPK selalu benar dan Polri selalu salah sama sekali tidak bijaksana. Karena penyebutan tersebut akhirnya akan merugikan Polri secara kelembagaan. Karenaitu, masyarakat seharusnya lebih adil dalam menyikapi kasus ini. Kita seharusnya melihat lebih jernih dengan memberi kesempatan Polri mengusut kasus Novel.
Oke, kasus dugaan pembunuhan yang dituduhkan kepada Novel memang terjadi sudah lama saat Novel menjabat sebagai kasatreskrim di Bengkulu dulu. Namun tetap saja kasusnya tak bisa hilang begitu saja hanya karena yang bersangkutan menjadi penyidik KPK. Ingat bahwa tidak ada yang kebal hukum di negeri ini. Harus pula dibedakan antara lembaga KPK dengan individu.
Tidak bisa kita menyebut kasus yang menimpa Novel atau Abraham Samad atau Bambang Widjojanto mewakili lembaga KPK. Kasus yang menimpa individu harus diselesaikan secara individu. Jangan malah menggunakan lembaga KPK untuk tameng atau melindungi diri agar terlepas dari kasus yang membelitnya. Hal itu jelas tidak diperbolehkan.
Karena itu, sekali lagi agar kasusnya menjadi jelas biarlah Polri menyidik kasus ini hingga tuntas. Polri tentu memiliki cara dan standar sendiri dalam menyelesaikan kasus ini. Toh pengadilan nanti yang menentukan apakah Novel bersalah atau tidak. Satu hal lagi, langkah Presiden Jokowi yang memerintahkan Kapolri membebaskan Novel lewat media massa seharusnya tidak dilakukan.
Selain akan menimbulkan kesan sebagai intervensi seorang presiden terhadap independensi penyidik Polri, langkah Jokowi tersebut juga mengurangi kewibawaan lembaga kepresidenan itu sendiri. Seharusnya Presiden Jokowi bisa menghubungi Kapolri secara langsung untuk membebaskan Novel atau setidaknya mengutus pejabatnya untuk mengurus masalah tersebut. Membuat pernyataan lewat media terkesan hanya mencari popularitas.
Di sisi lain, hal ini juga mempermalukan lembaga Polri. Padahal secara hukum, Polri punya hak dan wewenang untuk melakukan penangkapan dalam kasus Novel ini. Campur tangan Presiden tersebut seharusnya tidak terjadi karena bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum ke depan. Kini Novel sudah dibebaskan setelah para petinggi Polri dan KPK bertemu. Polri pun berjanji akan bertindak profesional, begitu pun KPK tidak akan menghalangi penyidikan kasus Novel.
Agar tak terulang lagi, Polri seharusnya berkoordinasi dulu dengan pimpinan KPK jika ke depan akan mengusut kasus yang ada di lembaga tersebut. Begitu pula sebaliknya. Kita tunggu saja komitmen mereka dalam menegakkan hukum di negara ini.
(ftr)