Pendidikan Nasional
A
A
A
Hari ini kita memperingati salah satu hari penting bagi bangsa ini, yaitu Hari Pendidikan Nasional.
Pada momen ini bangsa Indonesia memperingati dan memberikan penghargaan atas perjuangan salah satu tokoh peletak batu fondasi pendidikan negeri ini, yaitu Ki Hadjar Dewantara, yang lahir pada 2 Mei 1889. Pendidikan adalah sektor krusial bagi kemajuan setiap bangsa. Sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah tentu akan menjadi modal bagi suatu bangsa untuk mencapai kesejahteraan.
Tapi tanpa sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni dalam mengolahnya, kelebihan yang dimiliki akan tersia-siakan. Bahkan bisa jadi bangsa tersebut dininabobokan oleh SDA yang melimpah karena SDM yang visinya maju langka.
Sayangnya pendidikan di negeri ini selalu saja dihadapkan pada masalah klasik yang tak kunjung terpecahkan seperti masalah kurikulum, kualitas guru, gaji guru, anggaran pendidikan, serta para pejabat di bidang pendidikan yang tidak bervisi panjang dan bahkan sebagiannya korup.
Masalah-masalah tersebut selalu saja dipecahkan setengah-setengah sehingga tak kunjung selesai sepenuhnya. Lihat saja masalah kurikulum yang selalu mengundang perdebatan. Memang sudah sewajarnya menjawab perubahan zaman, maka kurikulum akan berubah.
Namun sayangnya selama ini perubahan kurikulum seperti menegasikan pencapaian yang sudah dicapai kurikulum sebelumnya. Bahkan di akhir tahun lalu ada kejadian menarik ketika Menteri Kebudayaan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan membatalkan implementasi Kurikulum 2013 yang belum lama diresmikan Menteri Pendidikan Muhammad Nuh yang memimpin pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sangat aneh, untuk kurikulum saja bisa terkesan sedemikian politis. Padahal berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kurikulum memang penting, tetapi para pelaksana dari kurikulum sangat diperlukan kualitasnya.
Secanggih apa pun kurikulum yang dibuat dan seholistis apa pun kurikulum yang diimplementasikan akan menjadi onggokan huruf di atas kertas saja jika para guru tidak mampu menyerap dan memaknai kurikulum tersebut. Kualitas guru juga selalu menjadi sumber kekhawatiran dalam dunia pendidikan Indonesia.
Sangat banyak guru di negeri ini yang cerdas dan kreatif, tetapi guru yang kualitasnya biasa-biasa saja dan di bawah standar tak kalah banyak. Sungguh sangat miris membayangkan anak bangsa dididik oleh orang yang biasa-biasa saja. Namun kita juga punya masalah apresiasi terhadap guru yang relatif biasa saja.
Memang kita sudah punya sertifikasi guru yang memberikan pemasukan lebih besar kepada guru, tetapi pemberiannya cenderung seperti urut kacang dari senior terlebih dahulu, bukan dari yang paling bagus kualitasnya. Masih ada pula nasib guru honorer yang sudah mendedikasikan dirinya untuk bangsa, tetapi dianaktirikan pemerintah. Indonesia ini tidak pernah kekurangan orang pintar.
Lihat saja banyak individu-individu yang sukses di berbagai bidang dan mendapatkan berbagai macam penghargaan di bidang internasional. Negeri ini seperti pool of talent yang sayangnya belum mampu diberdayakan dengan baik oleh para pemimpin.
Kenapa perlu diberdayakan, padahal mereka pintar? Karena dalam membangun negeri ini akan sangat sempit pandangannya jika lihat individu per individu. Kita perlu melakukan helicopter view untuk melihat berbagai potensi bangsa ini yang terserak.
Dalam membangun pendidikan pun harus diterapkan sudut pandang itu. Para pengambil kebijakan harus bisa melihat secara holistis kondisi pendidikan dan menyelesaikannya dengan cara yang holistis pula.
Negeri ini butuh pemimpin yang berpikir outside the box karena sudah terbukti para pemimpin di bidang pendidikan yang membangun pendidikan Indonesia dengan cara by the book belum mampu melentingkan tingkat pendidikan bangsa ini. Budaya kritis dalam sekolah perlu ditingkatkan. Selama masih banyak guru yang terjebak dalam mindset sebagai pemilik tunggal kebenaran dan yang paling tahu di dalam bidang yang diajarnya, murid pun khawatir untuk kritis.
Guru harus sadar bahwa mereka adalah teman bagi murid, pemerintah harus sadar juga bahwa mereka ini fungsinya untuk menjamin bahwa bangsa ini akan bertahan ribuan tahun lagi dengan makmur tentunya.
Pada momen ini bangsa Indonesia memperingati dan memberikan penghargaan atas perjuangan salah satu tokoh peletak batu fondasi pendidikan negeri ini, yaitu Ki Hadjar Dewantara, yang lahir pada 2 Mei 1889. Pendidikan adalah sektor krusial bagi kemajuan setiap bangsa. Sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah tentu akan menjadi modal bagi suatu bangsa untuk mencapai kesejahteraan.
Tapi tanpa sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni dalam mengolahnya, kelebihan yang dimiliki akan tersia-siakan. Bahkan bisa jadi bangsa tersebut dininabobokan oleh SDA yang melimpah karena SDM yang visinya maju langka.
Sayangnya pendidikan di negeri ini selalu saja dihadapkan pada masalah klasik yang tak kunjung terpecahkan seperti masalah kurikulum, kualitas guru, gaji guru, anggaran pendidikan, serta para pejabat di bidang pendidikan yang tidak bervisi panjang dan bahkan sebagiannya korup.
Masalah-masalah tersebut selalu saja dipecahkan setengah-setengah sehingga tak kunjung selesai sepenuhnya. Lihat saja masalah kurikulum yang selalu mengundang perdebatan. Memang sudah sewajarnya menjawab perubahan zaman, maka kurikulum akan berubah.
Namun sayangnya selama ini perubahan kurikulum seperti menegasikan pencapaian yang sudah dicapai kurikulum sebelumnya. Bahkan di akhir tahun lalu ada kejadian menarik ketika Menteri Kebudayaan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan membatalkan implementasi Kurikulum 2013 yang belum lama diresmikan Menteri Pendidikan Muhammad Nuh yang memimpin pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sangat aneh, untuk kurikulum saja bisa terkesan sedemikian politis. Padahal berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kurikulum memang penting, tetapi para pelaksana dari kurikulum sangat diperlukan kualitasnya.
Secanggih apa pun kurikulum yang dibuat dan seholistis apa pun kurikulum yang diimplementasikan akan menjadi onggokan huruf di atas kertas saja jika para guru tidak mampu menyerap dan memaknai kurikulum tersebut. Kualitas guru juga selalu menjadi sumber kekhawatiran dalam dunia pendidikan Indonesia.
Sangat banyak guru di negeri ini yang cerdas dan kreatif, tetapi guru yang kualitasnya biasa-biasa saja dan di bawah standar tak kalah banyak. Sungguh sangat miris membayangkan anak bangsa dididik oleh orang yang biasa-biasa saja. Namun kita juga punya masalah apresiasi terhadap guru yang relatif biasa saja.
Memang kita sudah punya sertifikasi guru yang memberikan pemasukan lebih besar kepada guru, tetapi pemberiannya cenderung seperti urut kacang dari senior terlebih dahulu, bukan dari yang paling bagus kualitasnya. Masih ada pula nasib guru honorer yang sudah mendedikasikan dirinya untuk bangsa, tetapi dianaktirikan pemerintah. Indonesia ini tidak pernah kekurangan orang pintar.
Lihat saja banyak individu-individu yang sukses di berbagai bidang dan mendapatkan berbagai macam penghargaan di bidang internasional. Negeri ini seperti pool of talent yang sayangnya belum mampu diberdayakan dengan baik oleh para pemimpin.
Kenapa perlu diberdayakan, padahal mereka pintar? Karena dalam membangun negeri ini akan sangat sempit pandangannya jika lihat individu per individu. Kita perlu melakukan helicopter view untuk melihat berbagai potensi bangsa ini yang terserak.
Dalam membangun pendidikan pun harus diterapkan sudut pandang itu. Para pengambil kebijakan harus bisa melihat secara holistis kondisi pendidikan dan menyelesaikannya dengan cara yang holistis pula.
Negeri ini butuh pemimpin yang berpikir outside the box karena sudah terbukti para pemimpin di bidang pendidikan yang membangun pendidikan Indonesia dengan cara by the book belum mampu melentingkan tingkat pendidikan bangsa ini. Budaya kritis dalam sekolah perlu ditingkatkan. Selama masih banyak guru yang terjebak dalam mindset sebagai pemilik tunggal kebenaran dan yang paling tahu di dalam bidang yang diajarnya, murid pun khawatir untuk kritis.
Guru harus sadar bahwa mereka adalah teman bagi murid, pemerintah harus sadar juga bahwa mereka ini fungsinya untuk menjamin bahwa bangsa ini akan bertahan ribuan tahun lagi dengan makmur tentunya.
(ftr)