Sulitnya Hapus Prostitusi

Rabu, 29 April 2015 - 08:54 WIB
Sulitnya Hapus Prostitusi
Sulitnya Hapus Prostitusi
A A A
Beberapa hari belakangan masyarakat diramaikan dengan berita-berita tentang bisnis prostitusi.

Uniknya, bisnis prostitusi ini tidak lagi menggunakan cara-cara konvensional atau cara lama, namun sudah mengikuti perkembangan teknologi informasi. Prostitusi melalui media sosial memang membuat kita geleng-geleng kepala karena begitu semakin vulgarnya bisnis prostitusi.

Sebenarnya praktik prostitusi via internet ini bukan barang baru karena sebelumnya memang sudah banyak pelaku praktik prostitusi menggunakan cara ini. Namun, perkembangannya cukup mencengangkan. Bukan hanya bagaimana menggunakan media sosial, melainkan juga bagaimana cara mereka menjajakan semakin terang-terangan.

Cukup sulit aparat menghapus atau mencegah bisnis prostitusi. Cara-cara konvensional seperti lokalisasi, berkedok kafe, karaoke, diskotek, panti pijat, ataupun salon sulit untuk dihilangkan secara tuntas. Belum rampung menyelesaikan persoalan prostitusi konvensional, aparat pun sudah dihadapkan pada gaya prostitusi baru yang diyakini orang lebih efisien dan efektif.

Kerja petugas menjadi menumpuk, satu persoalan dengan gaya lama belum mampu dicegah dan diatasi, muncul persoalan lama lagi dengan gaya baru. Hukum di negeri ini memang belum mampu menghapus praktik prostitusi. Ini menarik karena memang akan sulit mengenai para pelaku prostitusi dengan pasal pidana jika memang dilakukan mau sama mau.

Baru bisa dipidana jika memang perbuatan itu dianggap perselingkuhan atau melakukan dengan anak di bawah umur ataupun melakukan di tempat umum sehingga mengganggu ketertiban umum. Yang menjadi ancaman pidananya adalah perselingkuhan, melakukan dengan anak di bawah umur 15 tahun, ataupun bahkan hanya mengganggu ketertiban umum.

Dalam KUHP, ada sekitar lima pasal yaitu 284, 285, 286, 287, dan 288. Jeratan hukumannya pun hanya sekitar sembilan bulan. Artinya, secara hukum positif, aparat kita kurang senjata untuk memberantas ataupun mencegah. Menggunakan KUHP memang cukup sulit, namun pemerintah daerah yang menginginkan prostitusi tidak bercokol di daerah mencoba mengeluarkan peraturan daerah (perda).

Sejak otonomi daerah dikumandangkan memang beberapa daerah mengeluarkan perda yang bisa menjerat pelaku prostitusi dengan kurungan atau denda materi. Yang paling anyar adalah Kota Jambi yang mengeluarkan Perda No 2 Tahun 2014 yang efektif bisa digunakan pada Februari 2015 ini.

Wali Kota Jambi Syarif Fasha punya tekad untuk benarbenar memberantas prostitusi di Jambi. Bisakah? Karena beberapa daerah yang terlebih dahulu menerbitkan perda pemberantasan prostitusi pun hingga sekarang belum mampu. Tentu membutuhkan komitmen yang kuat dari kepala daerah bersangkutan. Jika ingin sedikit berkaca bagaimana memberantas prostitusi adalah Surabaya, Jawa Timur.

Pemkot dan pemprov mampu menutup lokalisasi terbesar yaitu Dolly. Memang banyak yang menganggap bahwa itu keberhasilan Surabaya dan Jawa Timur. Namun, yang patut disaksikan juga adalah bagaimana proses prapenutupan hingga pascapenutupan. Prapenutupan dan pascapenutupan adalah hal yang paling penting dalam penutupan Dolly.

Artinya, bukan hanya melakui penindakan, proses sosialisasi hingga treatment usai ditutup menjadi sangat penting. Lalu, dengan menutup Dolly, persoalan prostitusi di Surabaya selesai? Tentu belum, namun setidaknya pemerintah daerah benar-benar mempunyai komitmen yang kuat bukan hanya saat penutupan, namun pascapenutupan juga. Memang cukup sulit menghapus prostitusi.

Selain hukum dan penegak hukum yang belum berkomitmen kuat, prostitusi adalah masalah klasik sejak beratus-ratus atau bahkan ribuan tahun lalu yang sulit dihapus. Namun, bukan hal yang mustahil jika para aparat kita mempunyai komitmen yang kuat. Jika KUHP tak mempan, pemda bisa menggunakan perda.

Apalagi Indonesia sudah meratifikasi Convention for the Supression of the Traffic to Person and of the Prostituion of Others pada 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan bisa digunakan sebagai acuan oleh pemda-pemda.

Dalam konvensi tersebut sudah sangat jelas bahwa prostitusi adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan. Mampu dan maukah negeri ini menyingkirkan prostitusi, butuh komitmen yang sangat kuat.
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5829 seconds (0.1#10.140)