Islam Menjawab Tantangan Zaman
A
A
A
Sebagai sebuah tawaran, Kebangkitan Kedua Umat Islam: Jalan Menuju Kemuliaan karya Yusuf Effendi ini senapas dengan karya Prof Dr Nurcholish Madjid: Islam, Doktrin, dan Peradaban, terbitan Paramadina (1995).
Kedua karya bermutu tinggi ini menawarkan sebuah gagasan kebangsaan terbarukan, perdamaian global, Islam santun dan antiteror, serta semangat persaudaraan dunia yang dianggit dari pengalaman Islam merawat sejarah sepanjang 1.500 tahun lebih. Sebuah perjalanan panjang yang telah menciptakan dinamika luar biasa yang sulit dicari padanannya pada peradaban manusia mana pun sebelum Islam lahir ke bumi. Tapi tunggu dulu. Mari membuka mata dengan lebih jernih.
Dalam The Rise and Fall of the Great Powers (1987), Paul Kennedy menulis begini, “Selama berabad- abad sebelum tahun 1500 M, Dunia Islam sudah lebih dulu maju dibanding Eropa di bidang peradaban dan teknologi.” Pada bidang matematika, pemetaan, pengobatan dan banyak bidang ilmu serta industri pabrik pemintalan, pengecoran laras senjata, mercusuar, peternakan kuda kaum muslim menikmati keunggulannya (halaman 387).
Islam dalam sejarahnya telah mengalami pasang-surut kemajuan dan kebangkitan yang berlangsung silih berganti. Mari kita menjelajah sebentar ke sebuah era gilang gemilang Islam yang motor penggeraknya sudah dimulai sejak era Nabi Muhammad SAW hidup pada 570 M sampai menjelang 1031 M. Nabi Muhammad SAW memang tidak menunjuk penggantinya sebelum beliau wafat.
Namun, akhirnya umat Islam generasi awal berhasil memilih penerusnya secara aklamasi. Empat khalifah pertama dipilih dari orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi, yaitu dari kalangan sahabat dan keluarganya (al-Muhajirin ). Mereka adalah Abu Bakar Siddiq ra, Umar ibn Khattab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali ibn Abi Thalib kw, sepupu Nabi yang kemudian menikahi putri beliau, Fatimah az-Zahra.
Keempat khalifah ini, oleh sebagian besar muslim dinamakan “Orang-orang yang beroleh petunjuk yang benar” (Al-Rasyidun ). Pasca-Khulafa Al-Rasyidun, para tokoh penggerak Islam berikutnya adalah Umar bin Abdul- Aziz, khalifah Bani Umayyah yang berkuasa sedari 717-720 M.
Kemudian ada Abdurrahman ad- Dakhil (Abdurrahman I [756-788 M]), pelarian Dinasti Umayyah I yang dikejar Abdullah al-Saffah Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas peletak dasar Dinasti Abbasiyah yang berdiri sejak (132 H/750 M-656 H/1258 M) di kota permata dunia, Baghdad. Tiga dekade berselang, muncul tiga khalifah tersohor dari dinasti ini.
Mereka adalah, Abu Jafar Abdullah bin Muhammad al- Mansyur (712-775), Harun ar- Rasyid (786-803 M), Mamun ar- Rasyid (813-833 M). Jika kita membaca sejarah para khalifah di atas, sejatinya, Islam telah lebih dari dua kali bangkit memimpin zaman. Masyarakat muslim sejak era Nabi di Madinah, Damaskus,
Baghdad, Andalusia, hingga Dinasti Ottoman pada abad ke-15 ketika berhasil merebut Konstantinopel pada 1453 di bawah pimpinan Mehmet al-Fatih, kerap saling mengoreksi zaman yang mereka hadapi berdasar anjuran dan tuntunan yang telah ditinggalkan Nabi dan para pewarisnya.
Rekan pembaca akan segera mengamini betapa sebenarnya Islam telah bolak-balik tampil mengampu zaman, termasuk menjadi perantara utama berpindahnya ilmu pengetahuan dari Dinasti Umayyah II di Andalusia, ke orangorang Barat di Prancis dan Inggris hingga mereka terlihat seperti sekarang.
Fajar Baru Islam
Buku karya Yusuf Effendi terbitan Noura Books (2015) ini mendorong penulis menelaah ulang sejarah sebuah agama besar yang kini memang telah menjadi agama terbesar dunia. Pada 2013, jumlah penduduk dunia mencapai 7.021.836.029 jiwa, dengan persebaran menurut agama adalah: Islam 22,43%, Kristen Katolik 16,83%, Kristen Protestan 6,08%, Ortodoks 4,03%, Anglikan 1,26%, Hindu 13,78%, Buddha 7,13%, Sikh 0,36%, Yahudi 0,21%, Bahai 0,11%, nonagama 9,42%, atheis 2,04%, lainnya 11,17%. (www.30 days.net , 2014).
Yusuf sangat baik merekam sejarah pergulatan Islam dalam mewarnai laju sejarah. Dari bab satu sampai tujuh penulis mendedah bagaimana sejatinya Islam telah terlibat secara penuh dalam proses penulisan sejarah dengan tinta emas. Ruang yang terbatas dalam menulis resensi ini yang membuat peresensi jadi terhambat mengulasnya lebih rinci. Maka itu, amatan penulis lebih tertuju pada bab delapan dan sembilan.
Masing-masing bertajuk: Kebangkitan Umat Islam dalam Sorotan dan Rancang Bangun Strategi Kebangkitan Umat Islam (halaman 355-428). Dalam sebuah subbab kecil di bab delapan, Yusuf mencantumkan judul Ideologi Sosialis? Sepintas kita seolah disodorkan jalan keluar dari salah satu masalah paling ruwet dalam kehidupan berbangsa-bernegara masyarakat modern.
Pertarungan ideologi ini telah menjadi sumbu pemicu bertikainya umat manusia dalam Perang Dunia I & II, Perang Dingin, Perang Arab-Israel, Perang Soviet-Afghanistan, Perang Teluk, dan Perang Musim Semi Arab yang masih berlangsung hingga tulisan ini dikerjakan. Semua perang tersebut, berlangsung di atas kesombongan dan keangkuhan manusia.
Sayangnya, Yusuf hanya melakukan kritik mendasar belaka pada prinsip sosialisme yang diyakini para cendekiawan & akademisi muslim telah dimulai Nabi Muhammad SAW, dan HOS Cokroaminoto (dalam kasus Indonesia). Padahal jika merujuk pada judul buku ini, tawaran bentuk ideologi (adicita) adalah langkah terdepan yang harus dirumuskan secara baik dan benar, tak jauh beda seperti Bung Karno merenungkan dan menawarkan Pancasila sebelum negara ini bernama Indonesia.
Tapi yang patut kita garis bawahi adalah, Yusuf telah menunjukkan itikad baiknya yang begitu serius dalam memeta ulang dan merumuskan langkah perubahan yang bisa dijadikan rujukan oleh masyarakat muslim Indonesia bagi terbentuknya wajah dunia yang lebih baik, lebih beradab, dan harmonis.
Sudah saatnya dunia menyadari, betapa sejarah manusia telah begitu dinamis sejak Islam lahir ke muka bumi pada abad ke-6 M di Kota Mekkah. Buku ini bisa menjadi tolok ukur bagi muslim Indonesia dalam menakar kemampuannya untuk tinggal landas mengejar ketertinggalan dari dunia Barat.
Sedari perbaikan akhlak, pemanfaatan dan memakmurkan masjid secara mumpuni, perencanaan ekonomi yang lebih matang, penguasaan ilmu pengetahuan, mentalitas hidup, tampil percaya diri di kancah global, dan turut bersumbangsih dalam penataan wajah dunia yang lebih bersahabat berdasar spirit utama Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
Bre Kahuripan,
Seniman dan Peminat Kajian Peradaban
Kedua karya bermutu tinggi ini menawarkan sebuah gagasan kebangsaan terbarukan, perdamaian global, Islam santun dan antiteror, serta semangat persaudaraan dunia yang dianggit dari pengalaman Islam merawat sejarah sepanjang 1.500 tahun lebih. Sebuah perjalanan panjang yang telah menciptakan dinamika luar biasa yang sulit dicari padanannya pada peradaban manusia mana pun sebelum Islam lahir ke bumi. Tapi tunggu dulu. Mari membuka mata dengan lebih jernih.
Dalam The Rise and Fall of the Great Powers (1987), Paul Kennedy menulis begini, “Selama berabad- abad sebelum tahun 1500 M, Dunia Islam sudah lebih dulu maju dibanding Eropa di bidang peradaban dan teknologi.” Pada bidang matematika, pemetaan, pengobatan dan banyak bidang ilmu serta industri pabrik pemintalan, pengecoran laras senjata, mercusuar, peternakan kuda kaum muslim menikmati keunggulannya (halaman 387).
Islam dalam sejarahnya telah mengalami pasang-surut kemajuan dan kebangkitan yang berlangsung silih berganti. Mari kita menjelajah sebentar ke sebuah era gilang gemilang Islam yang motor penggeraknya sudah dimulai sejak era Nabi Muhammad SAW hidup pada 570 M sampai menjelang 1031 M. Nabi Muhammad SAW memang tidak menunjuk penggantinya sebelum beliau wafat.
Namun, akhirnya umat Islam generasi awal berhasil memilih penerusnya secara aklamasi. Empat khalifah pertama dipilih dari orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi, yaitu dari kalangan sahabat dan keluarganya (al-Muhajirin ). Mereka adalah Abu Bakar Siddiq ra, Umar ibn Khattab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali ibn Abi Thalib kw, sepupu Nabi yang kemudian menikahi putri beliau, Fatimah az-Zahra.
Keempat khalifah ini, oleh sebagian besar muslim dinamakan “Orang-orang yang beroleh petunjuk yang benar” (Al-Rasyidun ). Pasca-Khulafa Al-Rasyidun, para tokoh penggerak Islam berikutnya adalah Umar bin Abdul- Aziz, khalifah Bani Umayyah yang berkuasa sedari 717-720 M.
Kemudian ada Abdurrahman ad- Dakhil (Abdurrahman I [756-788 M]), pelarian Dinasti Umayyah I yang dikejar Abdullah al-Saffah Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas peletak dasar Dinasti Abbasiyah yang berdiri sejak (132 H/750 M-656 H/1258 M) di kota permata dunia, Baghdad. Tiga dekade berselang, muncul tiga khalifah tersohor dari dinasti ini.
Mereka adalah, Abu Jafar Abdullah bin Muhammad al- Mansyur (712-775), Harun ar- Rasyid (786-803 M), Mamun ar- Rasyid (813-833 M). Jika kita membaca sejarah para khalifah di atas, sejatinya, Islam telah lebih dari dua kali bangkit memimpin zaman. Masyarakat muslim sejak era Nabi di Madinah, Damaskus,
Baghdad, Andalusia, hingga Dinasti Ottoman pada abad ke-15 ketika berhasil merebut Konstantinopel pada 1453 di bawah pimpinan Mehmet al-Fatih, kerap saling mengoreksi zaman yang mereka hadapi berdasar anjuran dan tuntunan yang telah ditinggalkan Nabi dan para pewarisnya.
Rekan pembaca akan segera mengamini betapa sebenarnya Islam telah bolak-balik tampil mengampu zaman, termasuk menjadi perantara utama berpindahnya ilmu pengetahuan dari Dinasti Umayyah II di Andalusia, ke orangorang Barat di Prancis dan Inggris hingga mereka terlihat seperti sekarang.
Fajar Baru Islam
Buku karya Yusuf Effendi terbitan Noura Books (2015) ini mendorong penulis menelaah ulang sejarah sebuah agama besar yang kini memang telah menjadi agama terbesar dunia. Pada 2013, jumlah penduduk dunia mencapai 7.021.836.029 jiwa, dengan persebaran menurut agama adalah: Islam 22,43%, Kristen Katolik 16,83%, Kristen Protestan 6,08%, Ortodoks 4,03%, Anglikan 1,26%, Hindu 13,78%, Buddha 7,13%, Sikh 0,36%, Yahudi 0,21%, Bahai 0,11%, nonagama 9,42%, atheis 2,04%, lainnya 11,17%. (www.30 days.net , 2014).
Yusuf sangat baik merekam sejarah pergulatan Islam dalam mewarnai laju sejarah. Dari bab satu sampai tujuh penulis mendedah bagaimana sejatinya Islam telah terlibat secara penuh dalam proses penulisan sejarah dengan tinta emas. Ruang yang terbatas dalam menulis resensi ini yang membuat peresensi jadi terhambat mengulasnya lebih rinci. Maka itu, amatan penulis lebih tertuju pada bab delapan dan sembilan.
Masing-masing bertajuk: Kebangkitan Umat Islam dalam Sorotan dan Rancang Bangun Strategi Kebangkitan Umat Islam (halaman 355-428). Dalam sebuah subbab kecil di bab delapan, Yusuf mencantumkan judul Ideologi Sosialis? Sepintas kita seolah disodorkan jalan keluar dari salah satu masalah paling ruwet dalam kehidupan berbangsa-bernegara masyarakat modern.
Pertarungan ideologi ini telah menjadi sumbu pemicu bertikainya umat manusia dalam Perang Dunia I & II, Perang Dingin, Perang Arab-Israel, Perang Soviet-Afghanistan, Perang Teluk, dan Perang Musim Semi Arab yang masih berlangsung hingga tulisan ini dikerjakan. Semua perang tersebut, berlangsung di atas kesombongan dan keangkuhan manusia.
Sayangnya, Yusuf hanya melakukan kritik mendasar belaka pada prinsip sosialisme yang diyakini para cendekiawan & akademisi muslim telah dimulai Nabi Muhammad SAW, dan HOS Cokroaminoto (dalam kasus Indonesia). Padahal jika merujuk pada judul buku ini, tawaran bentuk ideologi (adicita) adalah langkah terdepan yang harus dirumuskan secara baik dan benar, tak jauh beda seperti Bung Karno merenungkan dan menawarkan Pancasila sebelum negara ini bernama Indonesia.
Tapi yang patut kita garis bawahi adalah, Yusuf telah menunjukkan itikad baiknya yang begitu serius dalam memeta ulang dan merumuskan langkah perubahan yang bisa dijadikan rujukan oleh masyarakat muslim Indonesia bagi terbentuknya wajah dunia yang lebih baik, lebih beradab, dan harmonis.
Sudah saatnya dunia menyadari, betapa sejarah manusia telah begitu dinamis sejak Islam lahir ke muka bumi pada abad ke-6 M di Kota Mekkah. Buku ini bisa menjadi tolok ukur bagi muslim Indonesia dalam menakar kemampuannya untuk tinggal landas mengejar ketertinggalan dari dunia Barat.
Sedari perbaikan akhlak, pemanfaatan dan memakmurkan masjid secara mumpuni, perencanaan ekonomi yang lebih matang, penguasaan ilmu pengetahuan, mentalitas hidup, tampil percaya diri di kancah global, dan turut bersumbangsih dalam penataan wajah dunia yang lebih bersahabat berdasar spirit utama Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
Bre Kahuripan,
Seniman dan Peminat Kajian Peradaban
(bbg)