Napak Tilas Semangat Bandung

Jum'at, 24 April 2015 - 08:32 WIB
Napak Tilas Semangat Bandung
Napak Tilas Semangat Bandung
A A A
Para kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara Asia-Afrika hari ini melakukan napak tilas (historical walk ) di Bandung. Agendanya, mereka akan bersama-sama berjalan kaki dari Hotel Savoy Homann menuju Gedung Merdeka lewat Jalan Asia-Afrika, Kota Bandung.

Agenda yang merupakan rangkaian dari acara Konferensi dan Peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika (KAA), negara-negara tersebut tentu diarahkan mengenang kembali perhelatan yang menjadi tonggak kebangkitan negara-negara di dua kawasan saat itu, serta visi apa yang ingin diusung para pelopor KAA, yakni Ali Sastroamidjojo, Mohammad Ali Bogra, Jawaharlal Nehru, Sir John Kotelawala, dan U Nu.

Lebih substansial, tentu muara peringatan tidak berhenti pada wisata sejarah, tapi juga bagaimana mengambil semangat berdirinya KAA dan memproyeksikannya untuk perjalanan bangsa-bangsa Asia- Afrika ke depan. Sejauh mana relevansi KAA dengan tantangan yang akan dihadapi negara-negara Asia-Afrika ke depan? Jika mengaca pada Dasasila Bandung, substansi KAA lebih terfokus pada semangat kebangkitan negara Asia-Afrika yang saat itu sebagian besar baru merasakan kemerdekaan.

Semangatnya berkisar pada kedaulatan dan antiintervensi, penghormatan hak asasi dan persamaan, perdamaian, serta kesejahteraan. Substansi senada juga disampaikan Presiden Soekarno saat menyampaikan pidatonya. Setelah 60 tahun berlalu, nasib bangsa-bangsa di Asia-Afrika sudah kian membaik.

Namun, di sisi lain, ternyata masih banyak amanat yang belum tertuntaskan: Palestina belum sepenuhnya merdeka; bangsa-bangsa Asia-Afrika: belum terwujudnya kesetaraan dalam hubungan internasional; belum terwujudnya perdamaian, termasuk di antara bangsa-bangsa Asia-Afrika sendiri; belum terwujudnya kesejahteraan; dan beberapa persoalan krusial lain.

Peringatan Soekarno tentang adanya kolonialisme modern sebagai metamorfosis kolonialisme klasik seperti pernah dirasakan sebagian besar negara-negara Asia-Afrika, di antaranya dalam bentuk kontrol ekonomi ternyata menjadi kenyataan dan hingga kini masih dirasakan. Di luar itu, tantangan baru yang dihadapi internal bangsa-bangsa, hubungan antarbangsa di dua kawasan, dan hubungan bangsa-bangsa di dunia pun semakin berkembang dan kian kompleks.

Berdasarkan fakta-fakta demikian, sejatinya semangat Bandung masihlah relevan. Barangkali, dalam konteks itulah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya secara lantang menyerukan PBB, mengingatkan agar Asia-Afrika tidak bergantung pada lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia, IMF, dan ADB serta mengajak bersatu untuk melakukan perubahan.

Keputusan yang diambil dalam KTT Asia-Afrika menunjukkan kesadaran kolektif para kepala negara dan kepala pemerintahan negara peserta bahwa perjuangan KAA masih belum tuntas, seperti mendukung perjuangan Palestina. Lebih dari itu, mereka juga menyadari perlunya merevitalisasi perjuangan KAA melalui berbagai langkah yang tercantum dalam Bandung Messages.

Mereka juga mempertajam kerja sama untuk mengejar ketertinggalan, terutama dengan negara-negara di belahan bumi utara, melalui New Asian-African Strategic Partnership (NAASP) hingga kerja sama di antara negara-negara di kawasan tersebut menjadi lebih terstruktur, sistematis, dan intensif. Untuk diketahui, kawasan Asia-Afrika yang didiami 75,3% penduduk dunia hanya menyumbangkan 28,5% gross domestic bruto (GDB) dunia.

Pada akhirnya, perjuangan bangsa-bangsa Asia-Afrika masih panjang. Namun, benar apa yang disampaikan Presiden Jokowi bahwa di kawasan inilah masa depan dunia berada. Dengan demikian, momen Konferensi dan Peringatan KAA ke-60 harus menjadi penyala semangat baru, seperti halnya 60 tahun lalu dengan hasil yang dirasakan saat ini. ”Jadi, biarkan Konferensi Asia-Afrika ini menjadi sukses besar!” demikian seru Soekarno.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8953 seconds (0.1#10.140)