Bisnis Esek-Esek Itu Bernama Prostitusi

Rabu, 22 April 2015 - 11:27 WIB
Bisnis Esek-Esek Itu...
Bisnis Esek-Esek Itu Bernama Prostitusi
A A A
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta

”Nerakaku bukan urusanmu. Apalagi surga belum tentu menjadi tempatmu.” Demikian pernyataan keras-tegas dan straight forward seorang prostitute (pelacur atau pekerja seks komersial/PSK) dalam HPnya yang disiarkan di berbagai televisi di Jakarta baru-baru ini.

Sang prostitute itu dibunuh oleh laki-laki pelanggannya karena si pelanggan, sebagaimana dilansir di media massa, mengaku sangat tersinggung dengan sikapnya. Dalam waktu yang tidak lama, si pembunuh ditangkap polisi dan kini sedang menjalani proses hukum. Tulisan ini lebih banyak mencermati pernyataan tegas prostitute yang dikutip di atas.

Jika diungkap dengan kalimat lain, pernyataan prostitute tadi kira-kira berbunyi begini: ”Aku masuk neraka bukan urusan lu. Lu belum tentu juga masuk surga.” Pernyataan ini dapat dimaknai sebagai cetusan moral ”semau gue” dan sebagai bentuk protes, cibiran, atau reaksi keras terhadap kaum moralis dan agamawan yang selalu mengingatkan dan memperingatkan bahwa pelacuran adalah perbuatan tabu, terlarang, dan dosa besar.

Prostitute tadi (dan para PSK lain yang mempunyai prinsip yang sama dengan dia) bereaksi keras dan melakukan ”pembangkangan” terhadap kaum moralis dan agamawan yang selalu memperingatkan mereka bahwa pelacuran adalah termasuk perbuatan dosa besar. Para prostitute tadi bahkan melakukan pembangkangan dan pelanggaran terhadap moral agama yang diajarkan dalam kitab suci.

Tantangan kompleksitas modernitas di kota-kota, terutama di kota-kota besar, semakin rumit dan menyorongkan lilitan problema hidup dalam masyarakat dan umat beragama. Dalam kehidupan masyarakat di kota-kota besar, terjadi intensitas perjumpaan dan pergumulan nilai-nilai keagamaan dengan nilai-nilai sekuler yang datang dari luar.

Bagi kalangan yang imannya tidak tahan banting, terjadi pengeroposan nilai-nilai keagamaan dan nilainilai moral. Fenomena ini pernah dicermati Harvey Cook dalam bukunya, The Secular City . Di kota yang telah menjadi sekuler atau semisekuler, agama tersisihkan dan bagi sebagian orang, ukuran baik-buruk menjadi relatif dan batas-batas patokan moral menjadi nisbi.

Pertimbangan praktis-hedonistik dan gaya hidup sekularistik yang berorientasi pada kesenangan materi duniawi pun menjadi pilihan. Dari pandangan hidup seperti inilah, barangkali, muncul moral permisif dan moral semua gue. Moral permisif dan moral semau gue ini pulalah yang mendasari pertimbangan perempuan menjadi pelacur atau PSK seraya berucap mantap:

”Nerakaku bukan urusanmu. Apalagi surga belum tentu menjadi tempatmu.” Di sini hukum ekonomi berlaku: ada demand, ada supply. Laki-laki iseng, suka jajan, hidung belang, dan tidak setia kepada istri menjadi pelanggan sang pelacur dengan membayar bayaran yang disepakati bersama.

Teknologi dan prostitusi adalah dua hal yang berdiri sendiri dan tidak ada kaitannya satu sama lain. Yang pertama adalah hasil olah pikir dan produk ilmu pengetahuan yang modern canggih, sedangkan yang satunya adalah hubungan seks di luar nikah, perbuatan asusila, perbuatan mesum, dan perselingkuhan haram.

Walau begitu, teknologi yang modern dan canggih dapat digunakan oleh para PSK untuk bertransaksi seks dengan para pelanggannya. Pelacur dapat menjajakan dagangan cintanya atau menawarkan bisnis seksnya kepada para pelanggan melalui jejaring sosial, termasuk melalui handphone. Dengan menggunakan jejaring sosial, praktik esek-esek ini semakin sulit dideteksi dan diawasi.

Seandainya Deudeuh Alfisahrin alias Tata Chubby (yang tinggal di rumah kos di Tebet, Jakarta) itu tidak mati terbunuh di kamarnya, dapat dipastikan bahwa praktik prostitusinya tidak akan segera terungkap. Karena dia tewas (dibunuh oleh pelanggannya), kasus dan praktik pelacurannya terungkap dan menjadi berita luas di media massa.

Menyusul terungkapnya kasus Deudeuh, para petugas Satpol PP merazia rumah-rumah kos (kontrakan) di kawasan Tebet dan berhasil menangkap sejumlah pasangan yang berbuat mesum. Praktik prostitusi tidak selalu disebabkan oleh himpitan dan lilitan masalah ekonomi.

Banyak prostitute (apalagi yang dikenal sebagai pelacur kelas menengah dan pelacur kelas atas yang disuplai ke hotel-hotel berbintang) yang ”berprofesi” sebagai PSK karena dimotivasi oleh gebyar gaya hidup dan ingin memperoleh pendapatan atau imbalan besar dengan cara yang mudah, gampang, dan tidak perlu bekerja keras memeras keringat.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa salah satu penyebab merebaknya prostitusi di negeri ini adalah faktor kemiskinan. Pendapat ini kalau diuji sahih dengan melihat negara kaya dan makmur seperti Kanada misalnya adalah tidak tepat. Di Kanada yang dikenal sebagai negara kaya, makmur, dan sejahtera, praktik-praktik prostitusi (plus pornografi dan aborsi) tetap saja menjamur.

Bisnis esek-esek yang menggiurkan ini lebih disebabkan oleh menjamurnya permissiveness (keserbabolehan; Arab: abahah ) yang menyebabkan menjamurnya moral permisif dalam masyarakat. Majalah Plain Truth yang terbit di Amerika Serikat dalam sebuah edisinya pada 1980-an menyebut permissiveness sebagai ” curse of western society ” (laknat terhadap masyarakat Barat).

Laknat dan kutukan ini sekarang tidak hanya terjadi pada masyarakat Barat, tetapi terjadi juga pada hampir semua masyarakat di dunia, termasuk di Indonesia. Terdapat lebih dari 100 tempat prostitusi yang dilegalisasi di seluruh Indonesia. Ironis! Justru ini terjadi di sebuah negara yang dikenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Kaum agamawan dan moralis tentu menyampaikan salut kepada Sutiyoso (saat itu sebagai gubernur DKI) dan Tri Rismaharini (wali Kota Surabaya sekarang) yang menggunakan akal sehat menghapus pelacuran di wilayahnya masing- masing. Sutiyoso menyulap pusat pelacuran Kramat Tunggak menjadi Islamic Center.

Tri Rismaharini melikuidasi pusat pelacuran Gang Dolly menjadi kawasan nyaman dan terhormat. Saya tidak sependapat dengan kalangan yang mengatakan, pelacuran harus dilokalisasi agar tidak menyebar ke mana-mana. Jika logika tolol ini diikuti, korupsi juga harus dilokalisasi agar tidak menyebar ke manamana. Pelacuran dan korupsi itu sama saja, sama-sama haram.

Tidak perlu dilokalisasi. Dosanya ditanggung sendiri oleh pelakunya sebagai dosa individual. Yang penting, pendidikan agama diperkuat agar orang merasa malu untuk melacur seraya dilakukan pengawasan dan pencegahan terhadap bisnis esek-esek ini. Kaum beriman, agamawan, dan moralis berpendapat bahwa pelacuran adalah perbuatan tercela, terlarang, haram, dan dosa besar.

Jika pelacuran dilokalisasi, dosa besar akibat pelacuran itu telah dilembagakan dan telah diinstitusionalisasikan secara turuntemurun sehingga menjadi dosa massal, menjadi dosa struktural, dan menjadi dosa institusional. Orang-orang yang paling bertanggung jawab terhadap Tuhan dalam hal ini adalah para pejabat yang mengambil keputusan dan kebijakan yang membiarkan dan melokalisasi pelacuran itu.

Sesuai agama dan Pancasila, bukankah kita bangsa yang bertuhan? Setiap perbuatan, tindakan, dan kebijakan, termasuk membiarkan dan melokalisasi pelacuran, harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0744 seconds (0.1#10.140)