Tantangan dan Peluang Kerja Sama Asia-Afrika
A
A
A
FAUSTINUS ANDREA
Staf Editor Jurnal Analisis CSIS,
Jakarta
Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika yang berlangsung pada 19-14 April 2015 di Jakarta dan Bandung dengan sejumlah agenda penting untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan di Asia dan Afrika telah disiapkan oleh Pemerintah Indonesia.
Tujuannya adalah membangun tatanan dunia baru yang lebih seimbang dan adil. Tentu saja tujuan ini selain terlalu abstrak, juga sulit terealisasi dengan baik. Betapa tidak, dunia kini tengah dihadapkan pada kesenjangan antara negara kaya/negara industri maju di satu pihak dan negara miskin/ negara berkembang di lain pihak. Munculnya Uni Eropa, Kelompok G-8 dan G-20 mengindikasikan bahwa negara kaya dan negara-negara maju saling mengikatkan diri dan semakin proteksionistis.
Di sisi lain kelompok Selatan berusaha menggalang persatuan dan mengatur posisi mereka untuk mengantisipasi perilaku negara-negara Utara dengan mencoba mengandalkan kekuatan sendiri seperti tercermin pada Kelompok 77, KAA, dan Kelompok 15 dalam Konferensi Nonblok.
Tetapi, pergerakan organisasi kelompok tersebut sulit berkembang. Pertama, kurang dikelola secara serius. Kedua, dokumen kemitraan strategis baru Asia-Afrika (NAASP) yang dihasilkan pada KTT Asia-Afrika 2005 di Bandung tidak dikelola secara konkret menghadapi perubahan drastis Benua Asia dan Afrika. Ketiga , konsep Dasa Sila Bandung sulit diterjemahkan dalam masa kekinian.
Dari berbagai problematika itu, artikel ini mengulas peluang dan tantangan kerja sama Asia-Afrika masa depan. Pendekatan kerja sama kemitraan komprehensif Indonesia dalam mengelola bentuk kerja sama barangkali dapat menjadi salah satu acuan guna menjembatani hubungan strategis antardua benua, Asia dan Afrika, menghadapi tantangan keseimbangan global.
Kemitraan Komprehensif
Indonesia dalam melakukan kerja sama luar negeri sulit menghindari kemitraan global sebagai bagian dari diplomasi, termasuk KAA. Pada saat yang sama kemitraan komprehensif juga menjadi bagian penting dari diplomasi luar negeri Indonesia.
Dalam dunia yang semakin mengglobal, pemerintah baru Presiden Jokowi-JK, yang memperoleh legitimasi dari rakyat, patut memprakarsai kebijakan luar negeri yang lebih proaktif dan well thought out jika ia ingin dilihat sebagai negara yang secara strategis dan politis mampu menciptakan stabilitas dan perdamaian kawasan.
Meski politik luar negeri adalah prioritas kedua dari program Pemerintah Indonesia, setelah masalah-masalah domestik, namun menjadi keharusan bagi pemerintah baru Indonesia melakukan terobosan baru politik luar negeri bebas aktif guna memajukan stabilitas domestik dan memperkuat posisi tawar Indonesia.
Kebijakan luar negeri pemerintah baru Indonesia dalam KAA haruslah dibuat dengan sebuah kebijakan luar negeri yang adaptif terhadap lingkungan internasional yang berubah. Kemitraan komprehensif sebagai bentuk peningkatan hubungan kerja sama negaranegara dalam 15 tahun terakhir ini menjadi sangat populer.
Indonesia juga mengadopsi istilah ini sebagai bentuk dari kerja sama yang tidak saja bertumpu pada satu isu, melainkan lebih luas untuk melakukan berbagai kerja sama. Saat ini Indonesia memiliki kemitraan komprehensif dengan beberapa negara seperti Jepang, China, India, Australia, Brasil, Afrika Selatan, dan lain-lain.
Meski secara resmi dengan Amerika Serikat, kemitraan komprehensif belum sepenuhnya tercipta, namun AS dan Indonesia terus berupaya merumuskan elemen-elemen penting, termasuk visi di antara dua negara. Dalam konteks itu, eksistensi peran Indonesia sebagai kelompok Selatan di ASEAN, ASEAN Regional Forum, East Asia Summit, APEC, G-8,G-20, dan OKI, pun diterima di dunia internasional dalam memperluas berbagai bentuk kerja sama multilateral.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang relatif cukup tinggi, yaitu sekitar 5,4% sangat diperhitungkan oleh dunia menjadi suatu langkah konkret kemitraan itu. Beberapa langkah penyesuaian sebagai bentuk dari kemitraan komprehensif Indonesia adalah: Pertama, memanfaatkan proses demokrasi di Indonesia sebagai modalitas bentuk bagi politik luar negeri dan diplomasi Indonesia.
Kedua, politik luar negeri Indonesia harus diarahkan untuk melindungi proses demokrasi di Indonesia. Ketiga, sasaran politik luar negeri Indonesia harus dibuat sedemikian rupa sehingga ia merupakan hasil dari sebuah keseimbangan antara keharusan menjaga kredibilitas internasional Indonesia dan komitmen untuk menegakkan demokrasi di dalam negeri.
Barangkali perwujudan pendekatan ini dapat menambah konsep Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (NAASP) yang kini tengah dihidupkan kembali menjadi sebuah deklarasi KAA di Bandung, menjadi langkah konkret, sehingga dapat membawa manfaat untuk memperkuat organisasi di tengah perubahan global sekarang ini.
Tantangan KAA
Kendati demikian, bentuk kemitraan global yang diwujudkan dalam begitu banyak pertemuan- pertemuan tingkat tinggi dunia untuk mengatasi berbagai masalah umat manusia seringkali menghadapi banyak tantangan. Hasil konkret belum menunjukkan tingkat yang sebanding dengan visi dan janjijanji kemitraan global.
Misalnya, 23 tahun pasca-Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jeneiro dan hampir 18 tahun Protokol Kyoto diluncurkan, belum ada keputusan penting yang telah dibuat oleh negara- negara maju dan negaranegara berkembang untuk secara bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan (Menlu RI Hassan Wirajuda, 2007).
Demikian halnya dengan substansi dari Golden Jubilee KAA di Bandung pada 2005, yang disiapkan oleh Asia-Africa Sub-Regional Organization Conference (AASROC), yang menekankan kerja sama ekonomi dan pembangunan yang lebih konkret, hingga kini tidak ada wujudnya. Padahal, AASROC harapannya dapat memperkuat kerja sama dan memperoleh keuntungan multilateral secara ekonomis.
Dalam hal ini, kemitraan global dapat diartikan terlalu abstrak, di tengah kebiasaan kita yang lebih berpikir mengenai bangsa dan negara. Dengan perubahan dunia sekarang yang begitu cepat, kerja sama negaranegara Asia-Afrika sulit untuk memperoleh kebersamaan apabila tidak ada semangat pembaharuan yang mendasari kerja sama itu. Globalisasi menempatkan Asia dan Afrika sebagai kelompok marginal.
Karena itu, dua benua itu sepakat untuk melakukan tindakan bersama guna mendapatkan keuntungan yang sepadan dari era globalisasi. Sementara itu, sejumlah persoalan seperti liberalisasi perdagangan, termasuk perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), belum dapat diarahkan secara langsung pada upaya pembangunan negara berkembang.
Tindakan negara-negara Asia-Afrika untuk segera membangun lingkungan internasional, dengan menciptakan kerja sama yang selama ini terabaikan, juga menghadapi sejumlah tantangan. Padahal, komunike akhir KAA 1955 dalam beberapa pasalnya menyebutkan, masalah kerja sama ekonomi, teknik, sumber pendanaan bagi negara peserta KAA, kebutuhan untuk menstabilkan perdagangan komoditas, dan lainlain, agar ditindaklanjuti.
Di bidang kebudayaan komunike tersebut memuat hasrat untuk memperbarui ikatan kultural lama dengan mengembangkannya dalam konteks dunia modern sekarang. Seruan untuk meningkatkan kerja sama secara intensif di bidang pendidikan, iptek, juga disebutkan. Tetapi, semangat Bandung tidak dilaksanakan dan pengembangan mekanisme kerja sama inter-regional yang efektif dan memadai, tampaknya tidak mampu dilakukan oleh negara-negara Asia-Afrika.
Pesan Bandung sebagai hasil dari peringatan 60 Tahun KAA berupa pesan politik dan moral kepada dunia, juga tidak cukup untuk menjawab tantangan yang dihadapi Asia-Afrika saat ini. Barangkali perwujudan strategi baru dalam kemitraan Asia-Afrika yang dapat dilakukan dan membawa manfaat di tengah perubahan global sekarang ini adalah:
Pertama , kemitraan harus didasarkan pada berbagai inisiatif yang muncul, bukan bersandar pada agenda yang sudah ada, atau kerangka kerja sama dan agenda yang berlaku di kedua benua. Kedua, skala prioritas di bidang kerja sama yang lebih bisa mendekatkan kedua kawasan dengan tukar menukar pengalaman dan memperkenalkan strategi kemitraan baru kepada seluruh organisasi di dua benua.
Ketiga, upaya mempromosikan kemitraan dan dialog Asia-Afrika, kepada berbagai institusi, termasuk jadwal-jadwal kegiatan sebelum dan sesudah KAA 2015. Keempat, melaksanakan strategi kemitraan baru dengan dasar prinsip Dasa Sila Bandung, dengan tetap menghormati kebinekaan, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya dalam tingkat pembangunan dan kemakmuran.
Staf Editor Jurnal Analisis CSIS,
Jakarta
Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika yang berlangsung pada 19-14 April 2015 di Jakarta dan Bandung dengan sejumlah agenda penting untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan di Asia dan Afrika telah disiapkan oleh Pemerintah Indonesia.
Tujuannya adalah membangun tatanan dunia baru yang lebih seimbang dan adil. Tentu saja tujuan ini selain terlalu abstrak, juga sulit terealisasi dengan baik. Betapa tidak, dunia kini tengah dihadapkan pada kesenjangan antara negara kaya/negara industri maju di satu pihak dan negara miskin/ negara berkembang di lain pihak. Munculnya Uni Eropa, Kelompok G-8 dan G-20 mengindikasikan bahwa negara kaya dan negara-negara maju saling mengikatkan diri dan semakin proteksionistis.
Di sisi lain kelompok Selatan berusaha menggalang persatuan dan mengatur posisi mereka untuk mengantisipasi perilaku negara-negara Utara dengan mencoba mengandalkan kekuatan sendiri seperti tercermin pada Kelompok 77, KAA, dan Kelompok 15 dalam Konferensi Nonblok.
Tetapi, pergerakan organisasi kelompok tersebut sulit berkembang. Pertama, kurang dikelola secara serius. Kedua, dokumen kemitraan strategis baru Asia-Afrika (NAASP) yang dihasilkan pada KTT Asia-Afrika 2005 di Bandung tidak dikelola secara konkret menghadapi perubahan drastis Benua Asia dan Afrika. Ketiga , konsep Dasa Sila Bandung sulit diterjemahkan dalam masa kekinian.
Dari berbagai problematika itu, artikel ini mengulas peluang dan tantangan kerja sama Asia-Afrika masa depan. Pendekatan kerja sama kemitraan komprehensif Indonesia dalam mengelola bentuk kerja sama barangkali dapat menjadi salah satu acuan guna menjembatani hubungan strategis antardua benua, Asia dan Afrika, menghadapi tantangan keseimbangan global.
Kemitraan Komprehensif
Indonesia dalam melakukan kerja sama luar negeri sulit menghindari kemitraan global sebagai bagian dari diplomasi, termasuk KAA. Pada saat yang sama kemitraan komprehensif juga menjadi bagian penting dari diplomasi luar negeri Indonesia.
Dalam dunia yang semakin mengglobal, pemerintah baru Presiden Jokowi-JK, yang memperoleh legitimasi dari rakyat, patut memprakarsai kebijakan luar negeri yang lebih proaktif dan well thought out jika ia ingin dilihat sebagai negara yang secara strategis dan politis mampu menciptakan stabilitas dan perdamaian kawasan.
Meski politik luar negeri adalah prioritas kedua dari program Pemerintah Indonesia, setelah masalah-masalah domestik, namun menjadi keharusan bagi pemerintah baru Indonesia melakukan terobosan baru politik luar negeri bebas aktif guna memajukan stabilitas domestik dan memperkuat posisi tawar Indonesia.
Kebijakan luar negeri pemerintah baru Indonesia dalam KAA haruslah dibuat dengan sebuah kebijakan luar negeri yang adaptif terhadap lingkungan internasional yang berubah. Kemitraan komprehensif sebagai bentuk peningkatan hubungan kerja sama negaranegara dalam 15 tahun terakhir ini menjadi sangat populer.
Indonesia juga mengadopsi istilah ini sebagai bentuk dari kerja sama yang tidak saja bertumpu pada satu isu, melainkan lebih luas untuk melakukan berbagai kerja sama. Saat ini Indonesia memiliki kemitraan komprehensif dengan beberapa negara seperti Jepang, China, India, Australia, Brasil, Afrika Selatan, dan lain-lain.
Meski secara resmi dengan Amerika Serikat, kemitraan komprehensif belum sepenuhnya tercipta, namun AS dan Indonesia terus berupaya merumuskan elemen-elemen penting, termasuk visi di antara dua negara. Dalam konteks itu, eksistensi peran Indonesia sebagai kelompok Selatan di ASEAN, ASEAN Regional Forum, East Asia Summit, APEC, G-8,G-20, dan OKI, pun diterima di dunia internasional dalam memperluas berbagai bentuk kerja sama multilateral.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang relatif cukup tinggi, yaitu sekitar 5,4% sangat diperhitungkan oleh dunia menjadi suatu langkah konkret kemitraan itu. Beberapa langkah penyesuaian sebagai bentuk dari kemitraan komprehensif Indonesia adalah: Pertama, memanfaatkan proses demokrasi di Indonesia sebagai modalitas bentuk bagi politik luar negeri dan diplomasi Indonesia.
Kedua, politik luar negeri Indonesia harus diarahkan untuk melindungi proses demokrasi di Indonesia. Ketiga, sasaran politik luar negeri Indonesia harus dibuat sedemikian rupa sehingga ia merupakan hasil dari sebuah keseimbangan antara keharusan menjaga kredibilitas internasional Indonesia dan komitmen untuk menegakkan demokrasi di dalam negeri.
Barangkali perwujudan pendekatan ini dapat menambah konsep Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (NAASP) yang kini tengah dihidupkan kembali menjadi sebuah deklarasi KAA di Bandung, menjadi langkah konkret, sehingga dapat membawa manfaat untuk memperkuat organisasi di tengah perubahan global sekarang ini.
Tantangan KAA
Kendati demikian, bentuk kemitraan global yang diwujudkan dalam begitu banyak pertemuan- pertemuan tingkat tinggi dunia untuk mengatasi berbagai masalah umat manusia seringkali menghadapi banyak tantangan. Hasil konkret belum menunjukkan tingkat yang sebanding dengan visi dan janjijanji kemitraan global.
Misalnya, 23 tahun pasca-Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jeneiro dan hampir 18 tahun Protokol Kyoto diluncurkan, belum ada keputusan penting yang telah dibuat oleh negara- negara maju dan negaranegara berkembang untuk secara bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan (Menlu RI Hassan Wirajuda, 2007).
Demikian halnya dengan substansi dari Golden Jubilee KAA di Bandung pada 2005, yang disiapkan oleh Asia-Africa Sub-Regional Organization Conference (AASROC), yang menekankan kerja sama ekonomi dan pembangunan yang lebih konkret, hingga kini tidak ada wujudnya. Padahal, AASROC harapannya dapat memperkuat kerja sama dan memperoleh keuntungan multilateral secara ekonomis.
Dalam hal ini, kemitraan global dapat diartikan terlalu abstrak, di tengah kebiasaan kita yang lebih berpikir mengenai bangsa dan negara. Dengan perubahan dunia sekarang yang begitu cepat, kerja sama negaranegara Asia-Afrika sulit untuk memperoleh kebersamaan apabila tidak ada semangat pembaharuan yang mendasari kerja sama itu. Globalisasi menempatkan Asia dan Afrika sebagai kelompok marginal.
Karena itu, dua benua itu sepakat untuk melakukan tindakan bersama guna mendapatkan keuntungan yang sepadan dari era globalisasi. Sementara itu, sejumlah persoalan seperti liberalisasi perdagangan, termasuk perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), belum dapat diarahkan secara langsung pada upaya pembangunan negara berkembang.
Tindakan negara-negara Asia-Afrika untuk segera membangun lingkungan internasional, dengan menciptakan kerja sama yang selama ini terabaikan, juga menghadapi sejumlah tantangan. Padahal, komunike akhir KAA 1955 dalam beberapa pasalnya menyebutkan, masalah kerja sama ekonomi, teknik, sumber pendanaan bagi negara peserta KAA, kebutuhan untuk menstabilkan perdagangan komoditas, dan lainlain, agar ditindaklanjuti.
Di bidang kebudayaan komunike tersebut memuat hasrat untuk memperbarui ikatan kultural lama dengan mengembangkannya dalam konteks dunia modern sekarang. Seruan untuk meningkatkan kerja sama secara intensif di bidang pendidikan, iptek, juga disebutkan. Tetapi, semangat Bandung tidak dilaksanakan dan pengembangan mekanisme kerja sama inter-regional yang efektif dan memadai, tampaknya tidak mampu dilakukan oleh negara-negara Asia-Afrika.
Pesan Bandung sebagai hasil dari peringatan 60 Tahun KAA berupa pesan politik dan moral kepada dunia, juga tidak cukup untuk menjawab tantangan yang dihadapi Asia-Afrika saat ini. Barangkali perwujudan strategi baru dalam kemitraan Asia-Afrika yang dapat dilakukan dan membawa manfaat di tengah perubahan global sekarang ini adalah:
Pertama , kemitraan harus didasarkan pada berbagai inisiatif yang muncul, bukan bersandar pada agenda yang sudah ada, atau kerangka kerja sama dan agenda yang berlaku di kedua benua. Kedua, skala prioritas di bidang kerja sama yang lebih bisa mendekatkan kedua kawasan dengan tukar menukar pengalaman dan memperkenalkan strategi kemitraan baru kepada seluruh organisasi di dua benua.
Ketiga, upaya mempromosikan kemitraan dan dialog Asia-Afrika, kepada berbagai institusi, termasuk jadwal-jadwal kegiatan sebelum dan sesudah KAA 2015. Keempat, melaksanakan strategi kemitraan baru dengan dasar prinsip Dasa Sila Bandung, dengan tetap menghormati kebinekaan, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya dalam tingkat pembangunan dan kemakmuran.
(bbg)