Lonceng Munir dari Deen Haag
A
A
A
Ali Nur Sahid
Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina
Kita patut berbangga, seorang pejuang HAM Indonesia dijadikan nama jalan di sudut Kota Den Haag, Belanda, bersebelahan dengan Jalan Martin Luther King.
“Munirpad: Munir Said Thalib 1965-2004, Indonesische voorvechter van de bescherming de rechten van de mens” (Jalan Munir: Munir Said Thalib 1965-2004, Advokat Pejuang HAM). Sebuah penanda solidaritas kemanusiaan, sekaligus dukungan atas penuntasan kasus pembunuhan Munir 11 tahun silam. Di sisi lain, janji Presiden Jokowi untuk menuntaskan impunitas tak kunjung terwujud.
Suciwati, istri almarhum Munir, dalam pidatonya di depan wali kota Den Haag (14/4/15), terharu sekaligus berharap ada yang terang di negerinya. “Saya yakin apresiasi ini pasti tidak sembarangan. Nama Munir ada di sini karena apa yang dia lakukan. Sayangnya, ini bukan di tanah airnya sendiri, bukan di negeri tempat ia lahir dan dibesarkan bersama orang-orang lain yang mengaku sebangsa.
Dan bukan diberikan oleh Ibu Pertiwi yang kepadanya ia bersumpah setia sepanjang hidupnya”. Tidak dengan tiba-tiba jalan Munir ini tertancap menghubungkan dengan kawasan di jalan-jalan yang dinamai para aktivis HAM dunia. Awalnya, WaliKota Den Haag, Jozias van Aartsen, yang sebelumnya menjabatmenteriluarnegeri Belanda, ragu membuat Munirpad karena alasan politis diplomatik.
Tapi karena ada desakan dari sejumlah pegiat HAM (Amnesti Internasional) dan dukungan publik, akhirnya pada 2011 Munirpad ini dicanangkan. Ada empati sekaligus tuntutan di sudut jalan Munirpad. Tertanam ingatan dan selalu dikenang oleh setiap orang yang melewatinya; tentang Munir dan perjuangannya. Jika di negeri orang dedikasi Munir diabadikan, di tempat kelahirannya penuntasan kasusnya terseok-seok, bahkan diabaikan.
Langkah pencarian kebenarannya mentok di pelaku lapangan Pollycarpus yang sekarang bahkan sudah menghirup udara bebas. Padahal, tidak adanya penuntasan juga menjadi momok bagi para pegiat kemanusiaan: kejadian serupa bisa menimpa siapa saja dan di mana saja. Dan kelam itu kita semua tak ingin terjadi. Meski kasusnya sudah sebelas tahun berlalu, perjuangan atas kasus pelanggaran hak asasi manusia tak pernah sirna.
Ada yang universal dan nilainilai kemanusiaan dihargai bersama. Bahwa pembunuhan, pa lagi pada pegiat HAM, adalah ancaman bagi demokrasi dan kebebasan. Dari surat yang dibuat The Right Livelihood Awards (nobel alternative), lembaga yang memberikan penghargaan bagi para penganjur perdamaian dan keadilan, sebanyak 158 tokoh penerima award dari 65 negara menyerukan Presiden Jokowi berani menuntaskan kasus Munir.
Dorongan yang sama dilakukan Amnesty Internatinal, ribuan orang dari 86 negara berharap keadilan serupa. Solidaritas kemanusiaan yang terus mengalir dari belahan dunia ini juga mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak tersesat pada wacana belaka. Banyak tokoh dunia mendukung, tak perlu ragu melangkah. Tengok saja ada Asma Jahangir (Pakistan), Sima Samar (Afghanistan), Asghar Ali Engineer (India), Carmel Budiardjo (UK), dan Johan Galtung (Norway).
Surat resmi mereka akan disampaikan pada Presiden Jokowi pertengahan April 2015 ini. “Munir telah membuat upaya yang luar biasa untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di Indonesia,” ungkap Eduard Nazarski, sirektur Amnesty International Belanda. Lonceng dari Den Haag ini patut jadi pemicu agar kasus Munir dituntaskan. Dukungan dari berbagai masyarakat belahan penjuru dunia hendaknya bisa mendorong pemerintah saat untuk membuat penanda konkret tentang penyelesaian kasus Munir.
Dengan membuka kembali laporan Tim Pencari Fakta (TPF) 2005, dan mengevaluasi jaksa agung atas proses hukum yang tak menyeret otak pembunuh Munir. Tentunya, membentuk penyelidikan baru dapat dilakukan agar lapisan pelakunya terungkap. Pembelaan Munir pada kemanusiaan memang perlu dicatat. Pemberian nama jalan di Belanda hendaknya tak hanya berhenti pada pemaknaan simbolik, tapi juga laku politik dan hukum di Indonesia.
Praktiknya ditentukan oleh komitmen Jokowi-JK selama periode kepemimpinannya. Masih hangat dalam ingatan, pada Desember 2014 lalu, Presiden mengoordinasikan tiga lembaga setingkat menteri untuk membicarakan kasus Munir. Di dalamnya melibatkan Kejaksaan Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Masukan sejumlah pegiat HAM dan Komnas HAM pun sudah di tangan. Publik menunggu langkah nyata berikutnya.
Barangkali Munir tidak berharap namanya dikenang menjadi jalan. Semasa hidupnya dia tak mabuk sanjungan, meski beberapa kali diganjar penghargaan Internasional. Cita-cita Munir sederhana: negeri yang dicintainya, yang telah merampas nyawanya dengan semenamena, menghargai hak asasi manusia, mewujudkan keadilan untuk kaum papa yang dibelanya. Dan semoga Nawacita bisa mewujudkannya.
Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina
Kita patut berbangga, seorang pejuang HAM Indonesia dijadikan nama jalan di sudut Kota Den Haag, Belanda, bersebelahan dengan Jalan Martin Luther King.
“Munirpad: Munir Said Thalib 1965-2004, Indonesische voorvechter van de bescherming de rechten van de mens” (Jalan Munir: Munir Said Thalib 1965-2004, Advokat Pejuang HAM). Sebuah penanda solidaritas kemanusiaan, sekaligus dukungan atas penuntasan kasus pembunuhan Munir 11 tahun silam. Di sisi lain, janji Presiden Jokowi untuk menuntaskan impunitas tak kunjung terwujud.
Suciwati, istri almarhum Munir, dalam pidatonya di depan wali kota Den Haag (14/4/15), terharu sekaligus berharap ada yang terang di negerinya. “Saya yakin apresiasi ini pasti tidak sembarangan. Nama Munir ada di sini karena apa yang dia lakukan. Sayangnya, ini bukan di tanah airnya sendiri, bukan di negeri tempat ia lahir dan dibesarkan bersama orang-orang lain yang mengaku sebangsa.
Dan bukan diberikan oleh Ibu Pertiwi yang kepadanya ia bersumpah setia sepanjang hidupnya”. Tidak dengan tiba-tiba jalan Munir ini tertancap menghubungkan dengan kawasan di jalan-jalan yang dinamai para aktivis HAM dunia. Awalnya, WaliKota Den Haag, Jozias van Aartsen, yang sebelumnya menjabatmenteriluarnegeri Belanda, ragu membuat Munirpad karena alasan politis diplomatik.
Tapi karena ada desakan dari sejumlah pegiat HAM (Amnesti Internasional) dan dukungan publik, akhirnya pada 2011 Munirpad ini dicanangkan. Ada empati sekaligus tuntutan di sudut jalan Munirpad. Tertanam ingatan dan selalu dikenang oleh setiap orang yang melewatinya; tentang Munir dan perjuangannya. Jika di negeri orang dedikasi Munir diabadikan, di tempat kelahirannya penuntasan kasusnya terseok-seok, bahkan diabaikan.
Langkah pencarian kebenarannya mentok di pelaku lapangan Pollycarpus yang sekarang bahkan sudah menghirup udara bebas. Padahal, tidak adanya penuntasan juga menjadi momok bagi para pegiat kemanusiaan: kejadian serupa bisa menimpa siapa saja dan di mana saja. Dan kelam itu kita semua tak ingin terjadi. Meski kasusnya sudah sebelas tahun berlalu, perjuangan atas kasus pelanggaran hak asasi manusia tak pernah sirna.
Ada yang universal dan nilainilai kemanusiaan dihargai bersama. Bahwa pembunuhan, pa lagi pada pegiat HAM, adalah ancaman bagi demokrasi dan kebebasan. Dari surat yang dibuat The Right Livelihood Awards (nobel alternative), lembaga yang memberikan penghargaan bagi para penganjur perdamaian dan keadilan, sebanyak 158 tokoh penerima award dari 65 negara menyerukan Presiden Jokowi berani menuntaskan kasus Munir.
Dorongan yang sama dilakukan Amnesty Internatinal, ribuan orang dari 86 negara berharap keadilan serupa. Solidaritas kemanusiaan yang terus mengalir dari belahan dunia ini juga mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak tersesat pada wacana belaka. Banyak tokoh dunia mendukung, tak perlu ragu melangkah. Tengok saja ada Asma Jahangir (Pakistan), Sima Samar (Afghanistan), Asghar Ali Engineer (India), Carmel Budiardjo (UK), dan Johan Galtung (Norway).
Surat resmi mereka akan disampaikan pada Presiden Jokowi pertengahan April 2015 ini. “Munir telah membuat upaya yang luar biasa untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di Indonesia,” ungkap Eduard Nazarski, sirektur Amnesty International Belanda. Lonceng dari Den Haag ini patut jadi pemicu agar kasus Munir dituntaskan. Dukungan dari berbagai masyarakat belahan penjuru dunia hendaknya bisa mendorong pemerintah saat untuk membuat penanda konkret tentang penyelesaian kasus Munir.
Dengan membuka kembali laporan Tim Pencari Fakta (TPF) 2005, dan mengevaluasi jaksa agung atas proses hukum yang tak menyeret otak pembunuh Munir. Tentunya, membentuk penyelidikan baru dapat dilakukan agar lapisan pelakunya terungkap. Pembelaan Munir pada kemanusiaan memang perlu dicatat. Pemberian nama jalan di Belanda hendaknya tak hanya berhenti pada pemaknaan simbolik, tapi juga laku politik dan hukum di Indonesia.
Praktiknya ditentukan oleh komitmen Jokowi-JK selama periode kepemimpinannya. Masih hangat dalam ingatan, pada Desember 2014 lalu, Presiden mengoordinasikan tiga lembaga setingkat menteri untuk membicarakan kasus Munir. Di dalamnya melibatkan Kejaksaan Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Masukan sejumlah pegiat HAM dan Komnas HAM pun sudah di tangan. Publik menunggu langkah nyata berikutnya.
Barangkali Munir tidak berharap namanya dikenang menjadi jalan. Semasa hidupnya dia tak mabuk sanjungan, meski beberapa kali diganjar penghargaan Internasional. Cita-cita Munir sederhana: negeri yang dicintainya, yang telah merampas nyawanya dengan semenamena, menghargai hak asasi manusia, mewujudkan keadilan untuk kaum papa yang dibelanya. Dan semoga Nawacita bisa mewujudkannya.
(bbg)