Peran Eksternal dalam Konflik Internal Partai
A
A
A
DR Firman Noor, MA
Pengajar pada Program Studi Ilmu Politik Universitas, Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
Peran mediasi pihak eksternal dalam penyelesaian konflik kerap dibutuhkan dalam rangka segera menghentikan konflik baik yang bersifat sementara ataupun permanen.
Dalam beberapa kasus politik peran pihak eksternal itu terbukti mampu dapat menghentikan atau menyelesaikan konflik-konflik yang sulit bahkan telah dianggap tidak mungkin dihentikan. Sebut saja misalnya konflik antara etnis Tutsi dan Hutu ataupun antara Pemerintah RI dan GAM.
Meski mampu dengan baik menyelesaikan sejumlah persoalan pelik terutama pada kasus-kasus yang berskala internasional, peran eksternal atau pihak ketiga dalam kasus konflik internal partai, terutama dalam kasus Indonesia tidaklah berakhir dengan manis. Peran pihak eksternal dalam banyak kasus justru makin mengacaukan dan memperumit situasi.
Dari PSII hingga Golkar
Pada masa Orde Baru peran pihak eksternal dalam hal ini intervensi pemerintah dalam konflik-konflik internal partai demikian terasakan. Dalam konflik itu, pemerintah mengondisikan situasi yang pada akhirnya memaksa satu di antara kedua kelompok yang bertikai ”meminta petunjuk” atau saran dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik internal yang ada.
Situasi ini dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai pintu masuk bagi ”pembenahan” partai, yang pada intinya mengamankan pihak-pihak yang dianggap ”ramah rezim”, yakni mereka yang mudah diajak kerja sama untuk memuluskan agenda dan kepentingan pemerintah agar dapat menguasai partai. Pada 1970-an situasi ini terjadi misalnya, pada kasus yang menimpa PSII. Kala itu ada pertikaian antara kelompok PSII yang dipimpin oleh MCH Ibrahim versus kelompok TM Gobel.
Kelompok yang pertama dipersepsikan sebagai antirezim karena dituduh tidak sepakat dengan ide Fusi Partai yang dicanangkan Orde Baru. Persepsi antirezim ini dimanfaatkan oleh kelompok Gobel untuk meminta dukungan pemerintah agar mendukung eksistensi kelompok mereka dan membenarkan berbagai manuver untuk mendongkel keberadaan kelompok Ibrahim yang jelasjelas terpilih secara sah dan demokratis pada Kongres Nasional Ke-33 pada 1971.
Perebutan Kantor DPP PSII oleh kelompok Gobel didiamkan, bahkan juga sebenarnya direstui, oleh pemerintah, yang bahkan tidak lama setelahnya justru mengundang kelompok Gobel di bawah pimpinan Anwar Cokroaminoto untuk bersama- sama pimpinan partaipartai Islam yang lain menandatangani kesepakatan fusi ke dalam PPP pada 1973. Undangan ini bentuk pengakuan sepihak kepada kelompok Gobel, pihak yang dianggap lebih sah oleh pemerintah.
Valina Singka memersepsikan situasi ini sebagai bentuk intervensi pihak eksternal yakni pemerintah yang berujung pada terjadi sebuah kudeta yang disusul dengan pemakzulan kelompok yang sah di tubuh PSII (Singka, 2014). Situasi yang kurang lebih sama terjadi lagi pada konflik PPP dan PDI, tentu saja dengan aksentuasi yang berbeda. Pada kasus PPP, konflik antara kelompok NU dan Parmusi, berujung pada banyak kekecewaan terutama bagi kalangan NU.
Manuver Jaelani Naro, tokoh yang dipandang ”ramah rezim”, untuk melakukan koreksi secara sepihak tokoh-tokoh NU dalam daftar caleg sementara yang diajukan PPP ke LPU pada 1981 bergayung sambut dalam kepentingan rezim untuk memastikan bahwa caleg yang disampaikan oleh partai ini adalah yang sejalan dengan agenda dan kepentingan rezim.
Kelompok NU yang merasa dirugikan melakukan perlawanan, termasuk di antaranya dengan mengungkit asas proporsionalitas komposisi jumlah kursi dan alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR yang harusnya lebih banyak dimiliki oleh kalangan NU ketimbang Parmusi. Pertikaian ini sebetulnya kelanjutan saja dari konflik sejenis di beberapa tahun sebelumnya.
Namun, dengan dukungan Fraksi Golkar dan ABRI, kalangan Parmusi mampu mempertahankan beberapa posisi AKD yang dituntut kelompok NU untuk dikembalikan. Sikap berat sebelah pemerintah dan pertikaian yang tidak berujung dengan kelompok yang ”ramah rezim” menyebabkan kemudian NU melalui Muktamar Situbondo 1984 secara resmi menarik dukungan formalnya kepada PPP.
Pertikaian Megawati dan Suryadi di PDI yang bermuara pada peristiwa 27 Juli 1996 jelas pula tidak dapat terlepas dari ada intervensi pemerintah. Kekhawatiran pemerintah terhadap sosok Megawati berujung pada penyerbuan Kantor DPP PDI oleh sekelompok orang yang digambarkan sebagai tegap dan berambut cepak.
Pertikaian di tubuh partai ini ”diselesaikan” dengan cara-cara kekerasan oleh Rezim Soeharto, yang berakhir pada pembersihan partai ini dari para pendukung Megawati, figur yang jelas lebih populis dan mengakar ketimbang Suryadi. Sebelum era Jokowi, peran eksternal yang berdampak pada tidak terselesaikan konflik internal secara memuaskan terjadi pada kasus ”konflik serial” di tubuh PKB.
Pada kasus PKB ini, baik yang menghadapkan kelompok Matori versus Alwi, Alwi versus Gus Dur, maupun Gus Dur versus Muhaimin, peran eksternal yang dimaksud lebih pada pihak pengadilan. Studi mengenai konflik internal partai ini mengarah pada kesimpulan bahwa keputusan pihak pengadilan yang cenderung bertele-tele dan terkesan ambigu telah menimbulkan peluang multitafsir yang kemudian dimanfaatkan oleh masing-masing pihak yang bertikai untuk membenarkan keberadaannya (Kamarudin 2008).
Konflik justru berakhir setelah salah satu pihak yang bertikai berinisiatif membentuk partai baru demi menghadapi pemilu yang berikutnya. Pada era Jokowi, situasi yang terjadi pada Orde Baru muncul kembali. Pemerintah tampak berkepentingan untuk membela dan mempertahankan kelompok-kelompok yang ”ramah rezim”.
Dengan memanfaatkan momentum konflik internal, uluran tangan pemerintah melalui Menteri Yasonna, yang katanya membantu keutuhan partai, sejatinya sia-sia karena ada kepentingan terselubung untuk menyingkirkan pihak yang berpotensi menyulitkan pemerintah di kemudian hari.
Sudah jelas bagi kita semua bahwa komitmen kelompok Romahurmuziy (PPP) dan Agung Laksono (Golkar) untuk berkhidmat ke KIH menjadi kartu pas bagi berolehnya dukungan pemerintah kepada mereka. Untungnya, keputusan pengadilan saat ini tidak ambigu sehingga mampu meredam potensi multitafsir. Namun, jelas, peran eksternal yakni pemerintah telah turut membuat persoalan konflik internal dua partai, PPP dan Golkar, menjadi berkepanjangan.
Posisi Rezim
Kasus-kasus di atas mengindikasikan bahwa sejauh kepentingan yang tidak tulus, baik dalam rangka mempertahankan rezim atau membela kelompok yang propemerintah menjadi acuannya, maupun ambiguitas keputusan hadir, peran eksternal dalam konflik internal partai justru kontraproduktif bagi upaya penyelesaian konflik.
Untuk itu, kepentingan sedemikian harus disingkirkan oleh siapa saja yang peduli terhadap upaya penyelesaian konflik internal partai, termasuk pemerintah. Meski akar persoalan konflik tetap berasal dari internal partai, peran eksternal jelas tidak dapat disepelekan. Berlarut-laturnya penyelesaian konflik partai jelas merugikan karena partai akhirnya lebih disibukkan pada pembenahan internal ketimbang berkiprah di tengah masyarakat.
Pun intervensi yang kebablasan dan tanpa solusi yang objektif dari pihak ketiga hanya akan membawa preseden bagi pembenaran perilaku buruk rezim terhadap partai, yang ujungnya jelas mematikan upaya pendewasaan partai itu sendiri.
Pengajar pada Program Studi Ilmu Politik Universitas, Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
Peran mediasi pihak eksternal dalam penyelesaian konflik kerap dibutuhkan dalam rangka segera menghentikan konflik baik yang bersifat sementara ataupun permanen.
Dalam beberapa kasus politik peran pihak eksternal itu terbukti mampu dapat menghentikan atau menyelesaikan konflik-konflik yang sulit bahkan telah dianggap tidak mungkin dihentikan. Sebut saja misalnya konflik antara etnis Tutsi dan Hutu ataupun antara Pemerintah RI dan GAM.
Meski mampu dengan baik menyelesaikan sejumlah persoalan pelik terutama pada kasus-kasus yang berskala internasional, peran eksternal atau pihak ketiga dalam kasus konflik internal partai, terutama dalam kasus Indonesia tidaklah berakhir dengan manis. Peran pihak eksternal dalam banyak kasus justru makin mengacaukan dan memperumit situasi.
Dari PSII hingga Golkar
Pada masa Orde Baru peran pihak eksternal dalam hal ini intervensi pemerintah dalam konflik-konflik internal partai demikian terasakan. Dalam konflik itu, pemerintah mengondisikan situasi yang pada akhirnya memaksa satu di antara kedua kelompok yang bertikai ”meminta petunjuk” atau saran dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik internal yang ada.
Situasi ini dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai pintu masuk bagi ”pembenahan” partai, yang pada intinya mengamankan pihak-pihak yang dianggap ”ramah rezim”, yakni mereka yang mudah diajak kerja sama untuk memuluskan agenda dan kepentingan pemerintah agar dapat menguasai partai. Pada 1970-an situasi ini terjadi misalnya, pada kasus yang menimpa PSII. Kala itu ada pertikaian antara kelompok PSII yang dipimpin oleh MCH Ibrahim versus kelompok TM Gobel.
Kelompok yang pertama dipersepsikan sebagai antirezim karena dituduh tidak sepakat dengan ide Fusi Partai yang dicanangkan Orde Baru. Persepsi antirezim ini dimanfaatkan oleh kelompok Gobel untuk meminta dukungan pemerintah agar mendukung eksistensi kelompok mereka dan membenarkan berbagai manuver untuk mendongkel keberadaan kelompok Ibrahim yang jelasjelas terpilih secara sah dan demokratis pada Kongres Nasional Ke-33 pada 1971.
Perebutan Kantor DPP PSII oleh kelompok Gobel didiamkan, bahkan juga sebenarnya direstui, oleh pemerintah, yang bahkan tidak lama setelahnya justru mengundang kelompok Gobel di bawah pimpinan Anwar Cokroaminoto untuk bersama- sama pimpinan partaipartai Islam yang lain menandatangani kesepakatan fusi ke dalam PPP pada 1973. Undangan ini bentuk pengakuan sepihak kepada kelompok Gobel, pihak yang dianggap lebih sah oleh pemerintah.
Valina Singka memersepsikan situasi ini sebagai bentuk intervensi pihak eksternal yakni pemerintah yang berujung pada terjadi sebuah kudeta yang disusul dengan pemakzulan kelompok yang sah di tubuh PSII (Singka, 2014). Situasi yang kurang lebih sama terjadi lagi pada konflik PPP dan PDI, tentu saja dengan aksentuasi yang berbeda. Pada kasus PPP, konflik antara kelompok NU dan Parmusi, berujung pada banyak kekecewaan terutama bagi kalangan NU.
Manuver Jaelani Naro, tokoh yang dipandang ”ramah rezim”, untuk melakukan koreksi secara sepihak tokoh-tokoh NU dalam daftar caleg sementara yang diajukan PPP ke LPU pada 1981 bergayung sambut dalam kepentingan rezim untuk memastikan bahwa caleg yang disampaikan oleh partai ini adalah yang sejalan dengan agenda dan kepentingan rezim.
Kelompok NU yang merasa dirugikan melakukan perlawanan, termasuk di antaranya dengan mengungkit asas proporsionalitas komposisi jumlah kursi dan alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR yang harusnya lebih banyak dimiliki oleh kalangan NU ketimbang Parmusi. Pertikaian ini sebetulnya kelanjutan saja dari konflik sejenis di beberapa tahun sebelumnya.
Namun, dengan dukungan Fraksi Golkar dan ABRI, kalangan Parmusi mampu mempertahankan beberapa posisi AKD yang dituntut kelompok NU untuk dikembalikan. Sikap berat sebelah pemerintah dan pertikaian yang tidak berujung dengan kelompok yang ”ramah rezim” menyebabkan kemudian NU melalui Muktamar Situbondo 1984 secara resmi menarik dukungan formalnya kepada PPP.
Pertikaian Megawati dan Suryadi di PDI yang bermuara pada peristiwa 27 Juli 1996 jelas pula tidak dapat terlepas dari ada intervensi pemerintah. Kekhawatiran pemerintah terhadap sosok Megawati berujung pada penyerbuan Kantor DPP PDI oleh sekelompok orang yang digambarkan sebagai tegap dan berambut cepak.
Pertikaian di tubuh partai ini ”diselesaikan” dengan cara-cara kekerasan oleh Rezim Soeharto, yang berakhir pada pembersihan partai ini dari para pendukung Megawati, figur yang jelas lebih populis dan mengakar ketimbang Suryadi. Sebelum era Jokowi, peran eksternal yang berdampak pada tidak terselesaikan konflik internal secara memuaskan terjadi pada kasus ”konflik serial” di tubuh PKB.
Pada kasus PKB ini, baik yang menghadapkan kelompok Matori versus Alwi, Alwi versus Gus Dur, maupun Gus Dur versus Muhaimin, peran eksternal yang dimaksud lebih pada pihak pengadilan. Studi mengenai konflik internal partai ini mengarah pada kesimpulan bahwa keputusan pihak pengadilan yang cenderung bertele-tele dan terkesan ambigu telah menimbulkan peluang multitafsir yang kemudian dimanfaatkan oleh masing-masing pihak yang bertikai untuk membenarkan keberadaannya (Kamarudin 2008).
Konflik justru berakhir setelah salah satu pihak yang bertikai berinisiatif membentuk partai baru demi menghadapi pemilu yang berikutnya. Pada era Jokowi, situasi yang terjadi pada Orde Baru muncul kembali. Pemerintah tampak berkepentingan untuk membela dan mempertahankan kelompok-kelompok yang ”ramah rezim”.
Dengan memanfaatkan momentum konflik internal, uluran tangan pemerintah melalui Menteri Yasonna, yang katanya membantu keutuhan partai, sejatinya sia-sia karena ada kepentingan terselubung untuk menyingkirkan pihak yang berpotensi menyulitkan pemerintah di kemudian hari.
Sudah jelas bagi kita semua bahwa komitmen kelompok Romahurmuziy (PPP) dan Agung Laksono (Golkar) untuk berkhidmat ke KIH menjadi kartu pas bagi berolehnya dukungan pemerintah kepada mereka. Untungnya, keputusan pengadilan saat ini tidak ambigu sehingga mampu meredam potensi multitafsir. Namun, jelas, peran eksternal yakni pemerintah telah turut membuat persoalan konflik internal dua partai, PPP dan Golkar, menjadi berkepanjangan.
Posisi Rezim
Kasus-kasus di atas mengindikasikan bahwa sejauh kepentingan yang tidak tulus, baik dalam rangka mempertahankan rezim atau membela kelompok yang propemerintah menjadi acuannya, maupun ambiguitas keputusan hadir, peran eksternal dalam konflik internal partai justru kontraproduktif bagi upaya penyelesaian konflik.
Untuk itu, kepentingan sedemikian harus disingkirkan oleh siapa saja yang peduli terhadap upaya penyelesaian konflik internal partai, termasuk pemerintah. Meski akar persoalan konflik tetap berasal dari internal partai, peran eksternal jelas tidak dapat disepelekan. Berlarut-laturnya penyelesaian konflik partai jelas merugikan karena partai akhirnya lebih disibukkan pada pembenahan internal ketimbang berkiprah di tengah masyarakat.
Pun intervensi yang kebablasan dan tanpa solusi yang objektif dari pihak ketiga hanya akan membawa preseden bagi pembenaran perilaku buruk rezim terhadap partai, yang ujungnya jelas mematikan upaya pendewasaan partai itu sendiri.
(ars)