Sampai Kapan Bergantung pada Raskin?
A
A
A
Ketika pola konsumsi anak bangsa ini berhasil digiring seragam dalam bingkai berasisasi, Raskin (beras untuk masyarakat miskin) semakin sakti meredam inflasi.
Raskin yang tidak disalurkan pada November dan Desember 2014, tetapi diberi subsidi dalam bentuk BLSM mendorong harga eceran beras naik sekitar Rp2.000 - 3.000/kg. Inflasi pun membuih menjadi 1,5% dan 2,46% masing-masing pada November dan Desember 2014.
Kelompok makanan menyumbang inflasi sebesar 0,64% dan beras menempati posisi penyumbang terbesar, diikuti cabai merah, cabai rawit, ikan segar, dan telur ayam ras. Warga miskin yang menerima uang pengganti Raskin membeli beras ke pasar dan telah mengatrol harga eceran beras.
Program Raskin dapat meningkatkan akses pangan keluarga miskin sekaligus memperkuat ketahanan pangan di tingkat individu. Kegiatan perlindungan sosial yang dianggarkan pemerintah sebesar Rp18,8 triliun pada APBN-P 2015 dibagikan kepada keluarga miskin selama 12 bulan. Setiap RTS-PM yang terdaftar dan memiliki kartu Raskin dapat membeli Raskin seharga Rp1.600/kg sebanyak 15 kg per RTS-PM.
Namun, setelah lebih 15 tahun berjalan program ini, ternyata tidak memenuhi syarat “6T”, yang dijadikan sebagai indikator efektivitas program yakni tepat sasaran, tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat harga, dan tepat administrasi. Meski demikian, program Raskin dinilai masih efektif memperkuat ketahanan pangan.
Sekitar 8-10% dari total beras yang dikonsumsi secara nasional didistribusikan melalui program Raskin. Lantas, pertanyaannya, sampai kapan kita bergantung pada Raskin? Sejak enam tahun lalu pemerintah sudah mengeluarkan Perpres No 22 Tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal.
Lewat perpres ini, pemerintah seharusnya lebih serius mendorong masyarakat melakukan diversifikasi konsumsi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras dan Raskin. Namun, sebaliknya, pemerintah justru melakukan pembonsaian diversifikasi konsumsi pangan dengan tetap mempertahankan program Raskin meski biayanya sangat mahal.
Untuk 2015, jumlah rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM) sebanyak 15,5 juta, yang artinya sekitar 60 juta jiwa penduduk Indonesia tetap dikondisikan untuk tergantung pada beras. Masyarakat Indonesia menjadi pengonsumsi beras tertinggi di dunia, mencapai 139 kg/kapita/tahun.
Supaya seluruh rakyat Indonesia dapat makan nasi (beras), pemerintah setiap tahun melakukan impor beras. Pangsa pasar beras impor amat jelas! Sekitar 95% penduduk bergantung pada beras mulai dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia. Sebagai kebutuhan pokok, rakyat menganggap beras menjadikan hidup lebih hidup sehingga beras harus selalu tersedia sepanjang segala abad.
“No rice no glory “. Fenomena ini pun telah mendarah-daging dalam kehidupan. Suka atau tidak suka, masyarakat sudah terhipnotis oleh sihir beras yang demikian kuat memengaruhi pola konsumsi pangan nasional.
Sumber Daya lokal
Penghuni negeri ini terus bertambah 3,5 juta jiwa setiap tahun. Pertumbuhan penduduk yang tinggi jika tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan berbasis lokal akan mendorong harga pangan makin mahal.
Kenaikan harga pangan akan dapat dicegah dengan melakukan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Pangan berbasis sumberdaya lokal makin tergerus karena kian cepatnya alih fungsi lahan pertanian belakangan ini. Saat ini lahan perkebunan kelapa sawit sudah lebih luas dari lahan tanaman pangan.
Tidak tertutup kemungkinan hamparan luas sawah yang ada sekarang akan terus mengalami konversi dan pertanian pangan akan mengalami degradasi sumber daya lahan. Untuk itu, langkah solusi berikut diusulkan untuk dilakukan yakni mengonkretkan pemanfaatan pekarangan untuk mengurangi ketergantungan yang tinggi pada Raskin.
Dalam berbagai diskusi yang dilaksanakan di Dewan Ketahanan Pangan terungkap bahwa berbagai upaya diversifikasi, salah satunya pemanfaatan pekarangan, telah dilaksanakan sejak awal 1960-an.
Sajak itu telah dicanangkan program perbaikan gizi keluarga, bekerja sama dengan lembaga asing seperti Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization, FAO), Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO), dan Organisasi untuk Kesejahteraan Anak (United Nation Children’s Fund, UNICEF).
Program ini mencakup peningkatan kesadaran gizi dengan pemanfaatan pekarangan untuk menghasilkan pangan hasil ternak dan ikan sebagai sumber protein; sayuran dan buah sebagai sumber mineral.
Pada saat pemerintah mulai mengkhawatirkan pertumbuhan produksi beras yang tidak bisa mengikuti pertambahan penduduk mulailah digagasi pengembangan pekarangan dalam bentuk baru yakni Kawasan rumah pangan lestari (KRPL) untuk meracik informasi dan pengetahuan bahwa beras dapat disubstitusi dengan bahan pangan lokal nonberas dengan nilai gizi yang sama.
Jika pemerintah pada era 1970- an melakukan kampanye “Bukan Hanya Beras” yang disertai dengan introduksi beras ketela, kedelai, jagung (tekad), pada Era Reformasi ini diperkenalkan revolusi pangan lewat kampanye “One Day No Rice “ yang disertai dengan pengembangan beras tiruan.
Namun, setelah program diversifikasi pangan berjalan lebih dari lima puluh tahun, keberagaman produk pangan yang kita inginkan belum terwujud dengan baik. Bila diukur menurut standar Pola Pangan Harapan (PPH) dengan nilai ideal 100, keragaman pangan nasional baru mencapai nilai sekitar 83.
Pola konsumsi pangan warga sekitar 60% berbasis padi-padian yang sebagian besar beras; lalu diikuti minyak dan lemak terutama bahan nabati, pangan hewani terutama ikan, daging unggas dan telur; sayur dan buah; kacang-kacangan seperti kedelai, kacang hijau, dan kacang tanah.
Dengan proporsi beras yang masih tinggi dan pangan hewani dan buah yang masih rendah, tidak mengherankan bila pasokan beras kerap kurang yang mudah memicu keresahan sosial.
Untuk itu, program-program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan untuk mengatrol kesadaran gizi lewat produk pangan beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA) harus tetap dilanjutkan, dengan bentuk dan intensitas yang bervariasi dari waktu ke waktu. Di samping itu, untuk mencari pengganti Raskin patut dilakukan upaya pengembangan berbagai produk pangan baru berbasis sumber daya lokal.
Pengembangannya ke arah sumber karbohidrat khas daerah seperti beras analog bebilar yang diproduksi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan untuk memberi alternatif pangan pilihan dalam rangka memperkenalkan kearifan lokal “manggadong “ dari Sumatera Utara.
Posman Sibuea
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU dan Ketua Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Cabang Sumatera Utara
Raskin yang tidak disalurkan pada November dan Desember 2014, tetapi diberi subsidi dalam bentuk BLSM mendorong harga eceran beras naik sekitar Rp2.000 - 3.000/kg. Inflasi pun membuih menjadi 1,5% dan 2,46% masing-masing pada November dan Desember 2014.
Kelompok makanan menyumbang inflasi sebesar 0,64% dan beras menempati posisi penyumbang terbesar, diikuti cabai merah, cabai rawit, ikan segar, dan telur ayam ras. Warga miskin yang menerima uang pengganti Raskin membeli beras ke pasar dan telah mengatrol harga eceran beras.
Program Raskin dapat meningkatkan akses pangan keluarga miskin sekaligus memperkuat ketahanan pangan di tingkat individu. Kegiatan perlindungan sosial yang dianggarkan pemerintah sebesar Rp18,8 triliun pada APBN-P 2015 dibagikan kepada keluarga miskin selama 12 bulan. Setiap RTS-PM yang terdaftar dan memiliki kartu Raskin dapat membeli Raskin seharga Rp1.600/kg sebanyak 15 kg per RTS-PM.
Namun, setelah lebih 15 tahun berjalan program ini, ternyata tidak memenuhi syarat “6T”, yang dijadikan sebagai indikator efektivitas program yakni tepat sasaran, tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat harga, dan tepat administrasi. Meski demikian, program Raskin dinilai masih efektif memperkuat ketahanan pangan.
Sekitar 8-10% dari total beras yang dikonsumsi secara nasional didistribusikan melalui program Raskin. Lantas, pertanyaannya, sampai kapan kita bergantung pada Raskin? Sejak enam tahun lalu pemerintah sudah mengeluarkan Perpres No 22 Tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal.
Lewat perpres ini, pemerintah seharusnya lebih serius mendorong masyarakat melakukan diversifikasi konsumsi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras dan Raskin. Namun, sebaliknya, pemerintah justru melakukan pembonsaian diversifikasi konsumsi pangan dengan tetap mempertahankan program Raskin meski biayanya sangat mahal.
Untuk 2015, jumlah rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM) sebanyak 15,5 juta, yang artinya sekitar 60 juta jiwa penduduk Indonesia tetap dikondisikan untuk tergantung pada beras. Masyarakat Indonesia menjadi pengonsumsi beras tertinggi di dunia, mencapai 139 kg/kapita/tahun.
Supaya seluruh rakyat Indonesia dapat makan nasi (beras), pemerintah setiap tahun melakukan impor beras. Pangsa pasar beras impor amat jelas! Sekitar 95% penduduk bergantung pada beras mulai dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia. Sebagai kebutuhan pokok, rakyat menganggap beras menjadikan hidup lebih hidup sehingga beras harus selalu tersedia sepanjang segala abad.
“No rice no glory “. Fenomena ini pun telah mendarah-daging dalam kehidupan. Suka atau tidak suka, masyarakat sudah terhipnotis oleh sihir beras yang demikian kuat memengaruhi pola konsumsi pangan nasional.
Sumber Daya lokal
Penghuni negeri ini terus bertambah 3,5 juta jiwa setiap tahun. Pertumbuhan penduduk yang tinggi jika tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan berbasis lokal akan mendorong harga pangan makin mahal.
Kenaikan harga pangan akan dapat dicegah dengan melakukan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Pangan berbasis sumberdaya lokal makin tergerus karena kian cepatnya alih fungsi lahan pertanian belakangan ini. Saat ini lahan perkebunan kelapa sawit sudah lebih luas dari lahan tanaman pangan.
Tidak tertutup kemungkinan hamparan luas sawah yang ada sekarang akan terus mengalami konversi dan pertanian pangan akan mengalami degradasi sumber daya lahan. Untuk itu, langkah solusi berikut diusulkan untuk dilakukan yakni mengonkretkan pemanfaatan pekarangan untuk mengurangi ketergantungan yang tinggi pada Raskin.
Dalam berbagai diskusi yang dilaksanakan di Dewan Ketahanan Pangan terungkap bahwa berbagai upaya diversifikasi, salah satunya pemanfaatan pekarangan, telah dilaksanakan sejak awal 1960-an.
Sajak itu telah dicanangkan program perbaikan gizi keluarga, bekerja sama dengan lembaga asing seperti Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization, FAO), Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO), dan Organisasi untuk Kesejahteraan Anak (United Nation Children’s Fund, UNICEF).
Program ini mencakup peningkatan kesadaran gizi dengan pemanfaatan pekarangan untuk menghasilkan pangan hasil ternak dan ikan sebagai sumber protein; sayuran dan buah sebagai sumber mineral.
Pada saat pemerintah mulai mengkhawatirkan pertumbuhan produksi beras yang tidak bisa mengikuti pertambahan penduduk mulailah digagasi pengembangan pekarangan dalam bentuk baru yakni Kawasan rumah pangan lestari (KRPL) untuk meracik informasi dan pengetahuan bahwa beras dapat disubstitusi dengan bahan pangan lokal nonberas dengan nilai gizi yang sama.
Jika pemerintah pada era 1970- an melakukan kampanye “Bukan Hanya Beras” yang disertai dengan introduksi beras ketela, kedelai, jagung (tekad), pada Era Reformasi ini diperkenalkan revolusi pangan lewat kampanye “One Day No Rice “ yang disertai dengan pengembangan beras tiruan.
Namun, setelah program diversifikasi pangan berjalan lebih dari lima puluh tahun, keberagaman produk pangan yang kita inginkan belum terwujud dengan baik. Bila diukur menurut standar Pola Pangan Harapan (PPH) dengan nilai ideal 100, keragaman pangan nasional baru mencapai nilai sekitar 83.
Pola konsumsi pangan warga sekitar 60% berbasis padi-padian yang sebagian besar beras; lalu diikuti minyak dan lemak terutama bahan nabati, pangan hewani terutama ikan, daging unggas dan telur; sayur dan buah; kacang-kacangan seperti kedelai, kacang hijau, dan kacang tanah.
Dengan proporsi beras yang masih tinggi dan pangan hewani dan buah yang masih rendah, tidak mengherankan bila pasokan beras kerap kurang yang mudah memicu keresahan sosial.
Untuk itu, program-program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan untuk mengatrol kesadaran gizi lewat produk pangan beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA) harus tetap dilanjutkan, dengan bentuk dan intensitas yang bervariasi dari waktu ke waktu. Di samping itu, untuk mencari pengganti Raskin patut dilakukan upaya pengembangan berbagai produk pangan baru berbasis sumber daya lokal.
Pengembangannya ke arah sumber karbohidrat khas daerah seperti beras analog bebilar yang diproduksi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan untuk memberi alternatif pangan pilihan dalam rangka memperkenalkan kearifan lokal “manggadong “ dari Sumatera Utara.
Posman Sibuea
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU dan Ketua Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Cabang Sumatera Utara
(ftr)