Area Terlarang
A
A
A
Bagaimana jika Mario berniat buruk, membawa bom, dan kemudian meledakkan pesawat? Jika itu terjadi, bisa bagaimana dahsyatnya peristiwa tersebut dan berapa orang yang menjadi korban.
Berita tragedi penerbangan pasti kembali muncul dari Tanah Air. Ujung-ujungnya, dunia penerbangan Indonesia kembali tercoreng. Kekhawatiran ini terkait keberhasilan Mario Steven Ambarita yang berhasil menyusup ke Bandara Sultan Syarif Kasim (SKK) II Pekanbaru kemudian memasuki ruang roda pesawat utama pesawat Garuda GA 177 yang terbang ke Bandara Soekarno-Hatta Tangerang (07/04).
Keberadaannya baru diketahui setelah pesawat parkir di bandara. Bagi Mario, keberhasilan membobol keamanan bandara dan mampu survive di ketinggian 34.000 dpl yang suhunya bisa mencapai -40 derajat Celcius seperti sebuah mukjizat. Kontan saja, bukan hanya media nasional yang memberitakan, juga media internasional.
Namun, bagi pengelola penerbangan, hal tersebut adalah tamparan keras dan bagi Garuda serta maskapai penerbangan lain adalah ancaman. Kasus Mario memang membuka aib tentang buruknya keamanan bandara dan lebih luas masalah pengelolaan bandara di Tanah Air, dalam hal ini PT Angkasa Pura.
Bagaimana wilayah apron, taxiway, dan runway bandara yang semestinya area terlarang (restricted area) bisa dibobol orang yang tidak berwenang, apalagi kemudian menyusup ke ruang roda pesawat penumpang.
Beberapa tahun sebelumnya, kawanan sapi sempat memasuki runway Bandara Jalaludin Gorontalo, hingga membuat pesawat Lion Air JT892 rute Jakarta-Makassar-Gorontalo tergelincir keluar landasan. Insiden tersebut dianggap kejadian kecil. Tapi, bagaimana jika hal tersebut menimbulkan insiden lebih besar, termasuk menimbulkan korban jiwa?
Berbagai peristiwa sebelumnya hingga muncul kasus Mario menunjukkan standar keamanan bandara di Tanah Air masih sangat lemah. Mereka tidak mau belajar dari persoalan-persoalan kecil, padahal hal tersebut bisa menjadi pintu masuk terjadi insiden lebih besar. Seringkali respons baru muncul ketika nasi sudah menjadi bubur.
Seperti kasus Mario, restricted area hanyalah sebatas tulisan terpampang di kawasan Bandara SKK II. Lebih dari itu, pagar pengamanan, lampu penerangan, CCTV, pos pengaman, patroli, dan lainnya masih menyisakan celah untuk penyusupan, termasuk oleh kawanan sapi.
Padahal, penetapan status restricted area tentu mensyaratkan zero tolerance untuk berbagai jenis potensi ancaman keamanan. Tidak boleh main-main dan lengah! Belajar dari kasus Mario dan kasus-kasus kecil sebelumnya, Angkasa Pura tidak bisa lagi menetapkan standar keamanan biasabiasa saja.
Apalagi hanya memasang papan bertuliskan restricted area, orang seperti Mario, orang yang bermaksud jahat, terlebih hewan piaraan, tidak akan menggubris tulisan tersebut. Standar keamanan harus benar-benar mempertimbangkan mitigasi risiko, dengan menutup celah apa pun yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk mengganggu atau mengancam keselamatan penerbangan.
Ini bisa dengan meningkatkan kualitas sistem dan teknologi keamanan, menambah jumlah personel, ataupun langkah lain apa pun untuk mewujudkan high level security. Jika tidak, apa yang dilakukan Mario sudah memberikan inspirasi kepada orang lain melakukan hal yang sama yaitu menguji adrenalin menikmati terbang di ruang roda pesawat.
Tapi, bagaimana jika yang menangkap peluang tersebut adalah kelompok teroris? Tentu, akibatnya akan sangat fatal dan memprihatinkan. Kemungkinan- kemungkinan ke arah tersebut jangan dianggap enteng, apalagi dikesampingkan.
Berita tragedi penerbangan pasti kembali muncul dari Tanah Air. Ujung-ujungnya, dunia penerbangan Indonesia kembali tercoreng. Kekhawatiran ini terkait keberhasilan Mario Steven Ambarita yang berhasil menyusup ke Bandara Sultan Syarif Kasim (SKK) II Pekanbaru kemudian memasuki ruang roda pesawat utama pesawat Garuda GA 177 yang terbang ke Bandara Soekarno-Hatta Tangerang (07/04).
Keberadaannya baru diketahui setelah pesawat parkir di bandara. Bagi Mario, keberhasilan membobol keamanan bandara dan mampu survive di ketinggian 34.000 dpl yang suhunya bisa mencapai -40 derajat Celcius seperti sebuah mukjizat. Kontan saja, bukan hanya media nasional yang memberitakan, juga media internasional.
Namun, bagi pengelola penerbangan, hal tersebut adalah tamparan keras dan bagi Garuda serta maskapai penerbangan lain adalah ancaman. Kasus Mario memang membuka aib tentang buruknya keamanan bandara dan lebih luas masalah pengelolaan bandara di Tanah Air, dalam hal ini PT Angkasa Pura.
Bagaimana wilayah apron, taxiway, dan runway bandara yang semestinya area terlarang (restricted area) bisa dibobol orang yang tidak berwenang, apalagi kemudian menyusup ke ruang roda pesawat penumpang.
Beberapa tahun sebelumnya, kawanan sapi sempat memasuki runway Bandara Jalaludin Gorontalo, hingga membuat pesawat Lion Air JT892 rute Jakarta-Makassar-Gorontalo tergelincir keluar landasan. Insiden tersebut dianggap kejadian kecil. Tapi, bagaimana jika hal tersebut menimbulkan insiden lebih besar, termasuk menimbulkan korban jiwa?
Berbagai peristiwa sebelumnya hingga muncul kasus Mario menunjukkan standar keamanan bandara di Tanah Air masih sangat lemah. Mereka tidak mau belajar dari persoalan-persoalan kecil, padahal hal tersebut bisa menjadi pintu masuk terjadi insiden lebih besar. Seringkali respons baru muncul ketika nasi sudah menjadi bubur.
Seperti kasus Mario, restricted area hanyalah sebatas tulisan terpampang di kawasan Bandara SKK II. Lebih dari itu, pagar pengamanan, lampu penerangan, CCTV, pos pengaman, patroli, dan lainnya masih menyisakan celah untuk penyusupan, termasuk oleh kawanan sapi.
Padahal, penetapan status restricted area tentu mensyaratkan zero tolerance untuk berbagai jenis potensi ancaman keamanan. Tidak boleh main-main dan lengah! Belajar dari kasus Mario dan kasus-kasus kecil sebelumnya, Angkasa Pura tidak bisa lagi menetapkan standar keamanan biasabiasa saja.
Apalagi hanya memasang papan bertuliskan restricted area, orang seperti Mario, orang yang bermaksud jahat, terlebih hewan piaraan, tidak akan menggubris tulisan tersebut. Standar keamanan harus benar-benar mempertimbangkan mitigasi risiko, dengan menutup celah apa pun yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk mengganggu atau mengancam keselamatan penerbangan.
Ini bisa dengan meningkatkan kualitas sistem dan teknologi keamanan, menambah jumlah personel, ataupun langkah lain apa pun untuk mewujudkan high level security. Jika tidak, apa yang dilakukan Mario sudah memberikan inspirasi kepada orang lain melakukan hal yang sama yaitu menguji adrenalin menikmati terbang di ruang roda pesawat.
Tapi, bagaimana jika yang menangkap peluang tersebut adalah kelompok teroris? Tentu, akibatnya akan sangat fatal dan memprihatinkan. Kemungkinan- kemungkinan ke arah tersebut jangan dianggap enteng, apalagi dikesampingkan.
(ftr)