Komunikasi Presiden-Menteri Lemah

Selasa, 07 April 2015 - 10:50 WIB
Komunikasi Presiden-Menteri Lemah
Komunikasi Presiden-Menteri Lemah
A A A
JAKARTA - Munculnya polemik Peraturan Presiden (Perpres) No 39/2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan mengindikasikan lemahnya komunikasi antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan para menterinya.

Akibatnya, bukan hanya terjadi saling lempar, keputusan yang diambil juga tidak matang.Penilaian tersebut disampaikan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna dan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio. Perpres itu sendiri kemarin dicabut setelah mendapat banyak kritikan.

”Setiap pengambil keputusan harus dicermati dulu. Jikalau Presiden belum membaca, harusnya menteri lebih detail, menkonya juga. Ini lemahnya komunikasi, belum menempatkan presiden menjadi tokoh utama dalam mengambil keputusan, tidak ada manajemen satu pintu,” ujar Yayat Supriatna kepada KORAN SINDOkemarin.

Dia melihat begitu banyak menteri secara bebas mengungkapkan gagasan dan mengambil keputusan. Hanya, implementasinya berjalan sendiri-sendiri, dan di sisi lain belum terbangun keguyuban di antara mereka. Dalam konteks uang muka mobil pejabat, ada pihak lain yang menjadi pengendali utama dalam administrasi negara selain presiden.

”Dalam ruang komunikasi istana sebenarnya siapa yang pengendali utama administrasi negara, karena terlihat semua bisa mengusulkan pendapat dan gagasan,” ujarnya. Agus Pambagio mengatakan, presiden di belahan dunia mana pun tidak perlu membaca secara detail dokumen yang akan ditandatanganinya.

Karena itu, para pembantunya yang berkewajiban untuk menjelaskan itu. ”Seharusnya pembantu-pembantunya itu menjelaskan kalau soal perpres ini urusan mensesneg, kemudian karena ini berhubungan dengan keuangan menkeu,” kata Agus.

Dia menduga, jika dilihat dari mimik muka Presiden ketika ditanyakan mengenai kebijakan ini, Jokowi benar-benar tidak memahami soal ini. Dia mengasumsikan Presiden melihat bahwa dokumen itu sudah diparaf semua oleh menteri-menterinya, maka dia langsung tanda tangan. ”Mereka (menteri) yang harus menjelaskan kepada Presiden, apakah di rapat kabinet, di rapat terbatas, atau minta waktu sendiri karena urgent, kan bisa,” tegasnya.

Menurut dia, seharusnya memberi tahu segala sesuatunya dalam rapat kabinet. Komunikasi antara pembantu dan presiden pun harus lancar. Jika ada dokumen atau kebijakan di mana presiden harus tanda tangan, presiden harus di-briefing dengan jelas.

Keputusan terakhir ada pada presiden apakah mau tanda tangan atau tidak. ”Yang penting, dia harus dengarkan penjelasan dari menteri-menterinya, kenapa dibuat gini, apa tidak tumpang tindih, apakah ini tidak menyalahi aturan, apakah ini tidak menyalahi etika, bagaimana dampaknya pada publik, dampaknya secara politis,” tandasnya.

Seperti diketahui, Jokowi mengaku tidak mengetahui sepenuhnya tentang Perpres No 39/2015 yang ditandatangani Presiden Jokowi dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dia pun menegaskan, keputusan menaikkan tunjangan kendaraan untuk pejabat bukan keputusan yang tepat saat ini.

Sikap tersebut berdasarkan tiga alasan, yakni kondisi ekonomi saat ini, keadilan masyarakat, dan kenaikan harga BBM. Merespons kontroversi yang muncul, Jokowi akhirnya memutuskan mencabut perpres tersebut.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menjelaskan, langkah ini merupakan perintah Presiden. Di sisi lain, DPR dan beberapa pimpinan fraksi merasakan bahwa kebijakan itu tidak sesuai dengan suasana ekonomi di masyarakat. ”Jadi, Bapak Presiden semakin mantap (mencabut) ketika beberapa pimpinan fraksi juga mengatakan hal tersebut,” jelas Pratikno kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.

Menurut Pratikno, sebetulnya dari sisi substansi Perpres No 39/2015 tidak masalah karena memang perpres yang mengatur tentang hal tersebut sudah lima tahun lalu tidak pernah direvisi. Namun, dia juga mengakui bahwa kebijakan itu tidak tepat untuk suasana ekonomi masyarakat saat ini.

”Jadi dalam waktu dekat, kami akan menerbitkan perpres untuk mencabut perpres tersebut, saya lupa perpres nomor berapa,” ujar mantan rektor UGM ini. Lebih jauh dia menuturkan, pada dasarnya perpres itu sudah lama dibahas yakni mulai Januari 2015 lalu. Saat itu suasana ekonomi masih baik. Tetapi justru ketika perpres itu disahkan, suasana yang ada tidak tepat lagi.

”Itulah yang membuat teks regulasi yang ada di perpres tersebut tidak kompatibel dengan konteks yang berubah dalam kurun dua bulan terakhir. Jadi, surat DPR itu kan tanggal 5 Januari, jadi sudah lama sekali dibahas,” jelasnya.

Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengungkapkan, pencabutan perpres tersebut dilakukan dengan penerbitan perpres baru tentang pembatalan pemberian tunjangan mobil pejabat sebesar Rp210.890.000. Menurut Andi, dibatalkannya pemberian tunjangan uang muka mobil pejabat tersebut berdasarkan instruksi langsung Jokowi.

Alasannya, seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi sehari sebelumnya. ”(Akan) diterbitkan perpres baru (untuk pembatalan), prosesnya sama seperti pembuatan perpres. Kalau di Seskab standarnya (menarik perpres lama) 11 hari setelah ada usulan pencabutan perpres itu,” ujar Andi di Kantor Kepresidenan, Jakarta.

Andi membantah Presiden lalai dalam menerbitkan perpres itu, mengingat semua keputusan presiden sebelum ditetapkan dalam prosesnya telah dirapatkan bersama dengan menteri terkait. Menurut Andi, prosedur penerbitan Perpres No 39/2015 itu sudah benar dan segala sesuatunya dilakukan dengan tata peraturan pembuatan kebijakan.

Artinya, lanjut Andi, penerbitan perpres tersebut murni atas kesadaran Presiden, sebelum akhirnya menandatangani perpres pada 20 Maret lalu. Mantan sekretaris Tim Transisi ini menjelaskan, setiap kali satu perpres akan ditandatangani Presiden, kata penutupnya selalu meminta arahan Presiden.

”Ada beberapa perpres yang dibawa dalam rapat dan ada yang langsung dibawa untuk ditandatangani Presiden. Ketika Presiden melihat perdebatan di masyarakat, lalu hari ini (kemarin) setelah bertemu dengan pimpinan DPR melalui Mensesneg memerintahkan segera dilakukan kajian untuk mencabut perpres tersebut dan sekarang sedang dilakukan,” tandasnya.

DPR Tidak Persoalkan

Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menegaskan, pihaknya mendukung pencabutan perpres jika keputusan diambil atas dasar kebaikannya. ”Setuju dan tidak lihat konten dan jumlahnya. Kalau sekarang Rp210 juta, ya gede betul. Apa iya harus segitu. Dan masyarakat sedang galau dan risau, malah dikasih begitu,” kata Agus kepada wartawan di Gedung DPR.

Agus melihat konteks waktu dikeluarkannya kebijakan ini tidak tepat, karena nuansa batin masyarakat saat ini sedang tidak baik akibat imbas kenaikan sejumlah bahan pokok. Kalaupun mau ditetapkan berapa besaran tunjangannya, itu tidak harus sekarang. ”Kalau masyarakat semakin baik dan hidupnya sudah layak, baru lah,” jelas Wakil Ketua DPP Partai Demokrat itu.

Dia lantas menuturkan, pada dasarnya nominal penambahan dana bantuan pembelian mobil didasari kemampuan keuangan negara yang tidak memungkinkan untuk membelikan mobil dinas pada setiap pejabat negara, sehingga kebijakan ini sebagai pengganti untuk pejabat negara yang tidak diberikan mobil dinas. ”Yang punya mobil dinas saat ini kan pejabat seperti pimpinan lembaga. Kalau yang punya mobil dinas maka tidak dapat,” terangnya.

Menurut dia, sekarang ini pejabat setingkat eselon I mendapatkan mobil dinas Toyota Camry seharga Rp700 juta. Bantuan uang muka yang memicu kontroversi merupakan 30% dari harga mobil. Tetapi apakah pejabat yang mendapat jatah uang muka membeli Camry atau tidak, diserahkan kepada masingmasing. ”Tapi kan namanya juga pejabat, ya pantas saja kalau pakai Camry,” tandasnya.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, soal tunjangan bantuan mobil pejabat ini ada di setiap masa jabatan, dan sekarang tinggal disesuaikan saja apakah tunjangan tersebut wajar apa tidak. Dirinya membebaskan kepada pemerintah apakah aturan ini akan dianulir atau tidak. ”Saya kira itu berjalan normal saja. Kita kembalikan ke pemerintah bagaimana aturan mainnya kita ikuti. Terserah pemerintah saja,” kata Fadli.

Menurut Fadli, kalau tujuannya untuk penghematan, hal itu bisa dimulai dari seminar dan diskusi. Di samping untuk penghematan, harus juga diperhatikan bahwa jangan sampai semua itu menyusahkan rakyat.

”Saya sependapat saja kalau perlu di kontrol. Tapi tunjangan itu enggak besar dibanding tunjangan lain. Coba saja dibuka peta tunjangan. Keliatan berapa persennya,” jelas Fadli.

Kiswondari/ Rarasati syarief/ Mula akmal
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7587 seconds (0.1#10.140)