Egosentrisme Politis ala Ibu Kota

Senin, 06 April 2015 - 10:13 WIB
Egosentrisme Politis ala Ibu Kota
Egosentrisme Politis ala Ibu Kota
A A A
Beberapa waktu belakangan ini terjadi berbagai fenomena kisruh politik yang cukup membuat getir;

Dari kisruh internal berbagi partai politik dalam suksesi kepengurusan mereka, kisah cicak versus buaya jilid II ala KPK-Polri, manuver politik dari masingmasing pihak eksekutif dan legislatif daerah ibukota yang sampai menyeret nama hewan ke dalamnya, sampai isu kepemimpinan nasional yang diemban Presiden Jokowi. Konstelasi politik yang tak kunjung membaik sudah pasti akan menimbulkan stigma negatif dan tahu siapa yang paling dirugikan?

Ya, masyarakat luas. Kita, yang terlalu fokus dengan kisruh politik di Ibu Kota yang tidak menentu, hanya akan memforsir waktu kita terhadap halhal yang tak bermanfaat secara menyeluruh.

Kisruh politik yang lagi panas-panasnya terjadi sehingga mungkin kita tidak menyadari figur-figur yang berkonflik, tidak lebih hanya memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok mereka sendiri seolah-olah mereka memperjuangkan kepentingan khalayak banyak.

Berbagai kisruh politik ini akan membuat kita melupakan berbagai permasalahan yang ada di jajaran grass root yang cakupannya menyentuh masyarakat luas. Konflik agraria di Rembang yang pada akhirnya memaksa rakyat kecil harus ”makan” semen. Rakyat Papua yang diakali oleh pihak pemerintah dan Freeport dalam pembangunan pabrik smelter. Dan masih banyak lagi permasalahan grass root yang terabaikan disebabkan konstelasi politik yang tak menentu.

Mahasiswa pun akhir-akhir ini sudah mulai turun bergerak untuk melakukan aksi di lapangan dengan mengangkat tema kekisruhan ini, yang bagaimanapun harus kita apresiasi walaupun latar belakang mereka untuk melakukan aksi tersebut masih sulit untuk dicerna, mungkin inisiasi dari pihak mereka sendiri yang memang ingin melihat adanya perubahan yang lebih baik, mungkin ditunggangi pihak barisan sakit hati yang kurang beruntung di pemilu kemarin, atau mungkin aksi spontan untuk menanggapi kritik- kritik dari generasi terdahulu mengenai melempemnya pergerakan mahasiswa sekarang.

Dan sekarang pertanyaannya; kenapa konstelasi politik di negeri ini, tidak pernah benarbenar stabil? Jawabannya ada di dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang tak bermoral hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tak bermoral. Masyarakat yang munafik akan melahirkan pemimpin- pemimpin yang munafik.

Masyarakat yang bermental bandit akan mendudukkan gembong-gembong bandit pada tampuk-tampuk kekuasaan. Sekarang coba lihat masyarakat Indonesia secara keseluruhan dan nilai sendiri. Lupakan jargon-jargon nasionalisme semu dan sebagainya, sebab pada kenyataannya masyarakat kita pada saat ini benar-benar rendah nilainya.

Saat bangsa lain sudah mulai membentuk masyarakat madani yang mandiri tanpa harus bergantung pada pemerintah, masyarakat kita, ironisnya di sebagian besar anak mudanya, masih bermental inlander yang mengharapkan keselamatan dan perubahan dari figur seorang ratu adil atau satria piningit.

Pada akhirnya yang harus disadari adalah peningkatan kehidupan dan kesejahteraan suatu masyarakat harus dimulai dari individu-individu di dalam masyarakat itu sendiri, bukan hanya pada figur seorang pemimpin. Selama masih banyak individu yang bermental budak, oportunis maupun manja, maka kesejahteraan tidak akan terwujud.

Yang menyedihkan adalah individuindividu semacam ini justru semakin menjamur di segmen kelas menengah dan muda, segmen berpendidikan yang diharapkan bisa menjadi penggerak.

Muhammad Fachri Bachtiar
Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Industri, Aktivis HMI Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2955 seconds (0.1#10.140)