Kinerja Berorientasi Kontroversi
A
A
A
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) seolah tidak berhenti membuat kontroversi. Teranyar ditunjukkan Kemenkominfo yang memblokir 19 situs Islam.
Meski arahnya baik untuk menghadang penyebarluasan paham radikal lewat dunia maya, sejumlah situs yang sebenarnya tidak termasuk kategori radikal ternyata juga menjadi korban. Kontan saja langkah tersebut memicu kontroversi. Kontroversi soal situs radikal merupakan rangkaian dari kontroversi yang ditunjukkan rezim saat ini yang juga dilakukan Jokowi sendiri atau JK.
Jokowi misalnya menunjukkan kontroversi atas pembentukan kabinet gemuk, menaikkan harga BBM ketika harga minyak dunia turun, atau menunjuk jaksa agung dari partai politik. Adapun JK menunjukkan kontroversinya dengan mengeluarkan pandangan yang sering kali berseberangan dengan Jokowi.
Seolah tak mau kalah dengan kedua pucuk tertinggi eksekutif tersebut, para menteri pun berlomba-lomba memproduksi kontroversi seperti dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan peledakan kapal nelayan asing, Mendagri Tjahjo Kumolo dengan penghapusan kolom agama pada KTP, Menteri PAN Yuddhi Chrisnandy yang melarang PNS rapat di hotel, Menteri BUMN Rini Soemarno dengan rencana penjualan Gedung Kementerian BUMN, dan seterusnya dan seterusnya.
Mengapa seolah setiap kebijakan selalu memicu kontroversi? Pertanyaan seperti inilah yang otomatis menyeruak ke permukaan. Tidak ada pemerintahan yang menghendaki kegaduhan akibat kontroversi karena pada akhirnya hanya akan menguras energi, memecah konsentrasi dukungan publik, mengguncang rupiah hingga pada akhirnya berujung pada goyahnya stabilitas pemerintahan.
Tapi pemerintahan Jokowi menunjukkan anomali karena kontroversi seolah menjadi bagian tak terpisahkan. Dalam konteks manajemen, kontroversi bisa muncul akibat ketidak tuntasan pada perencanaan, pendanaan, koordinasi, pelaksanaan, kontrol atau evaluasi.
Tapi bagaimana jika kontroversi itu sengaja diproduksi dan diperlombakan? Pertanyaan ini terkesan tidak masuk akal, tapi menjadi bisa diterima nalar jika mengacu pada langkah Jokowi membentuk tim intelijen media yang bertugas menganalisis isu media secara realtime. Tim ini sungguh istimewa karena pengumuman hasil kerjanya menempati porsi spesial dalam sidang kabinet.
Sebenarnya bisa dipahami jika temuan dan analisis tim intelijen media menjadi bahan masukan dan evaluasi jalannya pemerintahan agar tetap on the right track. Tapi jika menjadi tolok ukur kinerja para menteri dengan ukuran sejauh mana kebijakan, kegiatan, pernyataan tiap menteri dimuat di media massa, persoalan menjadi lain.
Sistem yang terbentuk rawan menggiring para menteri berlomba-lomba membuat kontroversi agar menarik perhatian media massa. Dengan begitu, orientasi setiap kebijakan, kegiatan, atau pernyataan akan cenderung berorientasi untuk memproduksi prokontra. Bila ini benar, tak aneh jika berbagai kebijakan yang ditelurkan pemerintahan saat ini sering kali menyalahi visi-misi Jokowi- JK yang tercantum dalam Nawacita. Pada akhirnya, rakyatlah yang menjadi korbannya.
Meski arahnya baik untuk menghadang penyebarluasan paham radikal lewat dunia maya, sejumlah situs yang sebenarnya tidak termasuk kategori radikal ternyata juga menjadi korban. Kontan saja langkah tersebut memicu kontroversi. Kontroversi soal situs radikal merupakan rangkaian dari kontroversi yang ditunjukkan rezim saat ini yang juga dilakukan Jokowi sendiri atau JK.
Jokowi misalnya menunjukkan kontroversi atas pembentukan kabinet gemuk, menaikkan harga BBM ketika harga minyak dunia turun, atau menunjuk jaksa agung dari partai politik. Adapun JK menunjukkan kontroversinya dengan mengeluarkan pandangan yang sering kali berseberangan dengan Jokowi.
Seolah tak mau kalah dengan kedua pucuk tertinggi eksekutif tersebut, para menteri pun berlomba-lomba memproduksi kontroversi seperti dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan peledakan kapal nelayan asing, Mendagri Tjahjo Kumolo dengan penghapusan kolom agama pada KTP, Menteri PAN Yuddhi Chrisnandy yang melarang PNS rapat di hotel, Menteri BUMN Rini Soemarno dengan rencana penjualan Gedung Kementerian BUMN, dan seterusnya dan seterusnya.
Mengapa seolah setiap kebijakan selalu memicu kontroversi? Pertanyaan seperti inilah yang otomatis menyeruak ke permukaan. Tidak ada pemerintahan yang menghendaki kegaduhan akibat kontroversi karena pada akhirnya hanya akan menguras energi, memecah konsentrasi dukungan publik, mengguncang rupiah hingga pada akhirnya berujung pada goyahnya stabilitas pemerintahan.
Tapi pemerintahan Jokowi menunjukkan anomali karena kontroversi seolah menjadi bagian tak terpisahkan. Dalam konteks manajemen, kontroversi bisa muncul akibat ketidak tuntasan pada perencanaan, pendanaan, koordinasi, pelaksanaan, kontrol atau evaluasi.
Tapi bagaimana jika kontroversi itu sengaja diproduksi dan diperlombakan? Pertanyaan ini terkesan tidak masuk akal, tapi menjadi bisa diterima nalar jika mengacu pada langkah Jokowi membentuk tim intelijen media yang bertugas menganalisis isu media secara realtime. Tim ini sungguh istimewa karena pengumuman hasil kerjanya menempati porsi spesial dalam sidang kabinet.
Sebenarnya bisa dipahami jika temuan dan analisis tim intelijen media menjadi bahan masukan dan evaluasi jalannya pemerintahan agar tetap on the right track. Tapi jika menjadi tolok ukur kinerja para menteri dengan ukuran sejauh mana kebijakan, kegiatan, pernyataan tiap menteri dimuat di media massa, persoalan menjadi lain.
Sistem yang terbentuk rawan menggiring para menteri berlomba-lomba membuat kontroversi agar menarik perhatian media massa. Dengan begitu, orientasi setiap kebijakan, kegiatan, atau pernyataan akan cenderung berorientasi untuk memproduksi prokontra. Bila ini benar, tak aneh jika berbagai kebijakan yang ditelurkan pemerintahan saat ini sering kali menyalahi visi-misi Jokowi- JK yang tercantum dalam Nawacita. Pada akhirnya, rakyatlah yang menjadi korbannya.
(bbg)