Infrastruktur dan Arah Perekonomian
A
A
A
Berbeda dengan China, yang saat ini sedang mencoba menggeser motor pertumbuhan ekonomi dari investasi ke konsumsi domestik, Indonesia justru berupaya menyeimbangkan sumber utama pertumbuhan ekonomi dari konsumsi ke investasi.
Alasan China memperkuat konsumsi domestik salah satunya karena pelemahan pasar ekspor global, yang mengakibatkan turunnya kinerja manufaktur sehingga menggerus pertumbuhan ekonomi negara itu. Selain itu, potensi siklus deflasi, anjloknya harga energi, over-supply fasilitas produksi nasional, dan lambannya pertumbuhan permintaan domestik membuat pengambil kebijakan di Negeri Tirai Bambu berusaha memperkuat konsumsi dan pasar domestik mereka.
Pada 2014, pertumbuhan ekonomi China sebesar 7,4% dan meskipun pemerintah negara itu optimistis pada 2015 dapat merealisasikan pertumbuhan ekonomi di atas 7%, namun banyak kalangan yang memperkirakan perlambatan ekonomi masih berlanjut tahun ini.
Sementara itu, Indonesia memiliki tren yang berlawanan arah dalam mendesain penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional bila dibandingkan dengan China. Selama ini, konsumsi domestik merupakan sektor penyumbang terbesar pembentukan produk domestik bruto (PDB).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sektor ini menyumbang 56% pembentukan PDB nasional pada 2014. Sektor lain seperti belanja pemerintah menyumbang 9,54% PDB dan pembentukan modal tetap bruto berkontribusi 32,57%. Seiring dengan semakin besarnya alokasi belanja infrastruktur dalam APBNP 2015 yang mencapai lebih dari Rp290 triliun, hampir dapat dipastikan kontribusi belanja pemerintah terhadap pembentukan PDB untuk 2015 dapat mencapai di atas 11%.
Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Sebenarnya komitmen untuk shifting arah perekonomian menuju perimbangan dari sisi supply-side telah dilakukan juga di era sebelumnya. Pada 2011, pemerintah meluncurkan program yang disebut sebagai MP3EI. MP3EI tidak hanya sebuah program nasional percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur, tetapi dari perspektif ekonomi, kebijakan ini juga menandai pergeseran orientasi arah pembangunan yang tidak hanya mengandalkan sisi konsumsi.
Infrastruktur dan sektor riil perlu didorong seiring dengan semakin meningkat dan menguatnya konsumsi domestik. Pada saat itu, bottlenecking, kenaikan laju impor dan antrean terjadi. Seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi domestik, antrean kerap terjadi baik di pelabuhan, bandara udara, jalan tol, pemenuhan kebutuhan listrik, maupun sarana-prasarana lainnya.
Konsekuensi dari komitmen ini, porsi belanja infrastruktur terhadap PDB meningkat tajam dari 1,55% pada 2010 menjadi 2,07% pada 2011. Saat ini pemerintah melakukan kebijakan politik semakin menegaskan pentingnya membangun infrastruktur nasional. Melalui penetapan kebijakan penghematan subsidi BBM dan kemudian dialokasikan ke pembangunan infrastruktur, diharapkan akan mendorong lebih meningkatnya produktivitas nasional untuk memenuhi tingginya permintaan domestik.
Salah satu indikator dan target yang ingin dicapai adalah menekan biaya logistik dari 23,5% pada 2014 menjadi 19,2% pada akhir 2019. Sejumlah target pembangunan dari mulai jalan, bandara, pelabuhan, jalur kereta api, angkutan massal perkotaan, waduk dan irigasi, pembangkit listrik, pita lebar/broadband, dan rusunawa juga telah disusun untuk jangka waktu lima tahun ke depan.
Melalui arah baru kebijakan fiskal ini, porsi belanja infrastruktur terhadap PDB meningkat tajam dari 2,08% pada 2014 menjadi 3,20% pada 2015. Seiring dengan serapan dan realisasi belanja infrastruktur, pemerintah berharap dapat mendorong dan menggerakkan perekonomian di tingkat daerah ataupun nasional.
Berdasarkan RPJMN 2015-2019, total kebutuhan anggaran infrastruktur lima tahun ke depan sebesar Rp5.519,4 triliun. Dari jumlah tersebut, anggaran diharapkan bersumber dari APBN sebesar 40,14% atau Rp2.215,6 triliun, BUMN 19,32% atau Rp1.066,2 triliun, swasta murni atau dalam bentuk public private partnership (PPP) sebesar 30,66% atau Rp1.692,3 triliun dan sisanya BUMD.
Multiplier effect dari rencana pembangunan infrastruktur di atas diharapkan dapat membantu penciptaan lapangan kerja, pemerataan pembangunan, mengurangi kebergantungan impor, dan pengentasan kemiskinan. Kita semua tentunya berharap, pergeseran orientasi pembangunan yang lebih menyeimbangkan supply-demand side juga akan diikuti oleh kebijakan yang tetap mempertahankan daya beli domestik.
Hal ini menjadi semakin penting ketika kita semua menyadari, sampai saat ini konsumsi domestiklah yang berkontribusi paling besar terhadap pembentukan PDB. Menjaga daya beli masyarakat dapat dilakukan dari sisi menjaga keterjangkauan harga domestik. Salah satu faktor penting selain aspek dalam negeri dalam menjaga daya beli masyarakat, adalah harga minyak mentah dunia.
Kita bersyukur harga minyak mentah dunia saat ini masih berada dalam kisaran USD50-58/barel, meskipun akhir-akhir ini harga minyak mentah dunia mulai menunjukkan arah rebound seiring eskalasi konflik dan ketegangan baru di Timur Tengah. Pada saat yang bersamaan, tren pelemahan rupiah saat ini juga masih terjadi yang membuat biaya keekonomian BBM jenis premium dan solar semakin mahal.
Akibatnya pemerintah kembali menaikkan harga BBM jenis premium dan solar sebesar Rp500 per liter, mengikuti perkembangan harga minyak mentah dunia dan pelemahan rupiah. Dengan skema penetapan harga BBM seperti saat ini, pemerintah perlu sangat mewaspadai apabila harga minyak mentah dunia berada dalam posisi, katakanlah USD80/barel, dan nilai tukar rupiah juga masih mengalami tekanan akibat ketidakpastian penyesuaian suku bunga di Amerika Serikat.
Kedua aspek ini dipastikan akan melambungkan harga jual BBM jenis premium dan solar yang berakibat menurunkan daya beli masyarakat. Memacu pembangunan infrastruktur dan sektor riil sepertinya tetap perlu menjaga permintaan domestik. Apabila daya beli masyarakat tidak terjaga, target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam APBNP sebesar 5,7% dikhawatirkan sulit dicapai.
Selain itu, juga para pengambil kebijakan nasional perlu terus mewaspadai tren perekonomian dunia mengingat ketidakpastian masih akan sangat tinggi sepanjang 2015. Selain masih menunggu kepastian The Fed menyesuaikan suku bunga di Amerika Serikat, munculnya eskalasi baru di Timur Tengah setelah Arab Saudi menggempur pemberontak di Yaman akan berdampak pada perekonomian nasional.
Dua tren saat ini, yaitu kembali menguatnya harga minyak mentah dunia dan masih tertekannya nilai tukar rupiah, perlu diwaspadai. Kedua hal tersebut berpotensi menurunkan daya beli masyarakat melalui penyesuaian kembali harga BBM jenis premium dan solar di kemudian hari.
Bagi Indonesia yang sedang melakukan pergeseran arah pembangunan ekonomi, menjaga dan mengelola daya beli masyarakat juga sama pentingnya dengan memacu pembangunan infrastruktur dan sektor riil di Tanah Air.
Prof Firmanzah PhD
Rektor Universitas Paramadina, Guru Besar FEB Universitas Indonesia
Alasan China memperkuat konsumsi domestik salah satunya karena pelemahan pasar ekspor global, yang mengakibatkan turunnya kinerja manufaktur sehingga menggerus pertumbuhan ekonomi negara itu. Selain itu, potensi siklus deflasi, anjloknya harga energi, over-supply fasilitas produksi nasional, dan lambannya pertumbuhan permintaan domestik membuat pengambil kebijakan di Negeri Tirai Bambu berusaha memperkuat konsumsi dan pasar domestik mereka.
Pada 2014, pertumbuhan ekonomi China sebesar 7,4% dan meskipun pemerintah negara itu optimistis pada 2015 dapat merealisasikan pertumbuhan ekonomi di atas 7%, namun banyak kalangan yang memperkirakan perlambatan ekonomi masih berlanjut tahun ini.
Sementara itu, Indonesia memiliki tren yang berlawanan arah dalam mendesain penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional bila dibandingkan dengan China. Selama ini, konsumsi domestik merupakan sektor penyumbang terbesar pembentukan produk domestik bruto (PDB).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sektor ini menyumbang 56% pembentukan PDB nasional pada 2014. Sektor lain seperti belanja pemerintah menyumbang 9,54% PDB dan pembentukan modal tetap bruto berkontribusi 32,57%. Seiring dengan semakin besarnya alokasi belanja infrastruktur dalam APBNP 2015 yang mencapai lebih dari Rp290 triliun, hampir dapat dipastikan kontribusi belanja pemerintah terhadap pembentukan PDB untuk 2015 dapat mencapai di atas 11%.
Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Sebenarnya komitmen untuk shifting arah perekonomian menuju perimbangan dari sisi supply-side telah dilakukan juga di era sebelumnya. Pada 2011, pemerintah meluncurkan program yang disebut sebagai MP3EI. MP3EI tidak hanya sebuah program nasional percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur, tetapi dari perspektif ekonomi, kebijakan ini juga menandai pergeseran orientasi arah pembangunan yang tidak hanya mengandalkan sisi konsumsi.
Infrastruktur dan sektor riil perlu didorong seiring dengan semakin meningkat dan menguatnya konsumsi domestik. Pada saat itu, bottlenecking, kenaikan laju impor dan antrean terjadi. Seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi domestik, antrean kerap terjadi baik di pelabuhan, bandara udara, jalan tol, pemenuhan kebutuhan listrik, maupun sarana-prasarana lainnya.
Konsekuensi dari komitmen ini, porsi belanja infrastruktur terhadap PDB meningkat tajam dari 1,55% pada 2010 menjadi 2,07% pada 2011. Saat ini pemerintah melakukan kebijakan politik semakin menegaskan pentingnya membangun infrastruktur nasional. Melalui penetapan kebijakan penghematan subsidi BBM dan kemudian dialokasikan ke pembangunan infrastruktur, diharapkan akan mendorong lebih meningkatnya produktivitas nasional untuk memenuhi tingginya permintaan domestik.
Salah satu indikator dan target yang ingin dicapai adalah menekan biaya logistik dari 23,5% pada 2014 menjadi 19,2% pada akhir 2019. Sejumlah target pembangunan dari mulai jalan, bandara, pelabuhan, jalur kereta api, angkutan massal perkotaan, waduk dan irigasi, pembangkit listrik, pita lebar/broadband, dan rusunawa juga telah disusun untuk jangka waktu lima tahun ke depan.
Melalui arah baru kebijakan fiskal ini, porsi belanja infrastruktur terhadap PDB meningkat tajam dari 2,08% pada 2014 menjadi 3,20% pada 2015. Seiring dengan serapan dan realisasi belanja infrastruktur, pemerintah berharap dapat mendorong dan menggerakkan perekonomian di tingkat daerah ataupun nasional.
Berdasarkan RPJMN 2015-2019, total kebutuhan anggaran infrastruktur lima tahun ke depan sebesar Rp5.519,4 triliun. Dari jumlah tersebut, anggaran diharapkan bersumber dari APBN sebesar 40,14% atau Rp2.215,6 triliun, BUMN 19,32% atau Rp1.066,2 triliun, swasta murni atau dalam bentuk public private partnership (PPP) sebesar 30,66% atau Rp1.692,3 triliun dan sisanya BUMD.
Multiplier effect dari rencana pembangunan infrastruktur di atas diharapkan dapat membantu penciptaan lapangan kerja, pemerataan pembangunan, mengurangi kebergantungan impor, dan pengentasan kemiskinan. Kita semua tentunya berharap, pergeseran orientasi pembangunan yang lebih menyeimbangkan supply-demand side juga akan diikuti oleh kebijakan yang tetap mempertahankan daya beli domestik.
Hal ini menjadi semakin penting ketika kita semua menyadari, sampai saat ini konsumsi domestiklah yang berkontribusi paling besar terhadap pembentukan PDB. Menjaga daya beli masyarakat dapat dilakukan dari sisi menjaga keterjangkauan harga domestik. Salah satu faktor penting selain aspek dalam negeri dalam menjaga daya beli masyarakat, adalah harga minyak mentah dunia.
Kita bersyukur harga minyak mentah dunia saat ini masih berada dalam kisaran USD50-58/barel, meskipun akhir-akhir ini harga minyak mentah dunia mulai menunjukkan arah rebound seiring eskalasi konflik dan ketegangan baru di Timur Tengah. Pada saat yang bersamaan, tren pelemahan rupiah saat ini juga masih terjadi yang membuat biaya keekonomian BBM jenis premium dan solar semakin mahal.
Akibatnya pemerintah kembali menaikkan harga BBM jenis premium dan solar sebesar Rp500 per liter, mengikuti perkembangan harga minyak mentah dunia dan pelemahan rupiah. Dengan skema penetapan harga BBM seperti saat ini, pemerintah perlu sangat mewaspadai apabila harga minyak mentah dunia berada dalam posisi, katakanlah USD80/barel, dan nilai tukar rupiah juga masih mengalami tekanan akibat ketidakpastian penyesuaian suku bunga di Amerika Serikat.
Kedua aspek ini dipastikan akan melambungkan harga jual BBM jenis premium dan solar yang berakibat menurunkan daya beli masyarakat. Memacu pembangunan infrastruktur dan sektor riil sepertinya tetap perlu menjaga permintaan domestik. Apabila daya beli masyarakat tidak terjaga, target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam APBNP sebesar 5,7% dikhawatirkan sulit dicapai.
Selain itu, juga para pengambil kebijakan nasional perlu terus mewaspadai tren perekonomian dunia mengingat ketidakpastian masih akan sangat tinggi sepanjang 2015. Selain masih menunggu kepastian The Fed menyesuaikan suku bunga di Amerika Serikat, munculnya eskalasi baru di Timur Tengah setelah Arab Saudi menggempur pemberontak di Yaman akan berdampak pada perekonomian nasional.
Dua tren saat ini, yaitu kembali menguatnya harga minyak mentah dunia dan masih tertekannya nilai tukar rupiah, perlu diwaspadai. Kedua hal tersebut berpotensi menurunkan daya beli masyarakat melalui penyesuaian kembali harga BBM jenis premium dan solar di kemudian hari.
Bagi Indonesia yang sedang melakukan pergeseran arah pembangunan ekonomi, menjaga dan mengelola daya beli masyarakat juga sama pentingnya dengan memacu pembangunan infrastruktur dan sektor riil di Tanah Air.
Prof Firmanzah PhD
Rektor Universitas Paramadina, Guru Besar FEB Universitas Indonesia
(ftr)