Gedung Baru DPR
A
A
A
DPR kembali menegaskan rencana merenovasi gedung tempat mereka bekerja di kompleks parlemen Senayan, Jakarta.
Perbaikan gedung ini memang bukan isu baru. Wacana renovasi maupun pembangunan gedung baru DPR beberapa kali disampaikan di periode keanggotaan DPR. DPR periode 2009-2014 bahkan sudah membentuk panitia khusus untuk membangun gedung parlemen baru yang menyedot anggaran cukup fantastis.
Saat itu publik dan sejumlah kalangan menentang rencana pembangunan gedung parlemen baru dengan sejumlah alasan, di antaranya pemborosan anggaran, potensi korupsi proyek, skala prioritas, dan sensitivitas terhadap masyarakat. Karena penolakan publik yang demikian keras, DPR periode lalu akhirnya batal melaksanakan hajatan itu.
Tapi kini Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR 2014-2019, kembali mewacanakan pembangunan gedung baru setelah mendapat banyak keluhan dari anggota DPR, staf ahli, karyawan dan para tamu yang setiap hari datang ke DPR bahwa fasilitas gedung sudah tidak layak lagi untuk mendukung aktivitas tugas-tugas kedewanan.
Menurut BURT, setiap hari ada sekitar 5.000 orang yang menjalankan kegiatan rutin di gedung DPR yang memang sudah lama tidak dikembangkan, diperluas maupun direnovasi menyeluruh. Selain tidak cukup secara jumlah, secara kualitas sarana dan prasarana pendukung aktivitas para wakil rakyat juga banyak yang rusak alias usang dimakan usia.
Tentu normal saja jika anggota DPR mengeluhkan masalah ini. Menjadikan ruang kerjanya nyaman tentu hal yang sangat wajar diinginkan oleh setiap anggota parlemen. Apalagi untuk parlemen Indonesia, yang tugas-tugas rutin dan khususnya sangatlah padat dalam menjalankan kewajiban pokoknya yaitu menyusun undang-undang, mengawasi pemerintah, serta menyusun anggaran.
Tiga tugas ini bukan masalah sepele, tapi tugas mulia yang akan turut menentukan arah bangsa dan negara. Jika tugas-tugas berat itu tidak bisa dilakukan dengan baik karena terbatasnya fasilitas dan sarana gedung yang tidak mendukung, tentu renovasi maupun pembangunan gedung baru menjadi sangat relevan.
Sekarang masyarakat perlu dijelaskan sejauh mana kerusakan dan keterbatasan fasilitas itu bisa memengaruhi kinerja anggota DPR dalam mengemban tugas negara itu? Alangkah lebih baik jika BURT DPR dan pimpinan Dewan bisa membeberkan dulu sejauh mana kekurangan tempat dan fasilitas itu dengan data-data yang transparan dan akuntabel.
Publik harus diberi keyakinan secara terbuka bahwa renovasi gedung DPR sudah sangat mendesak. Upaya meyakinkan masyarakat itu akan menjadi kunci penting lanjut tidaknya wacana pembangunan atau renovasi gedung DPR. Jika BURT tidak melakukan sosialisasi secara transparan kepada publik, sudah pasti mayoritas masyarakat akan menolak wacana itu.
Mengapa? Ada persepsi yang kuat di masyarakat bahwa DPR itu adalah lembaga politik yang hanya bisa dikendalikan oleh kepentingan parpol dan fraksinya. Jadi tidak heran jika DPR terlihat kurang peka dalam isu-isu lain yang kurang atau tidak berdampak langsung dengan nasib pribadi anggota dan parpolnya.
Isu-isu kerakyatan mestinya seperti kenaikan BBM, layanan BPJS, tarif listrik, rupiah melemah, dan hal-hal lain yang langsung menyentuh kehidupan mereka. Pembangunan gedung atau renovasi adalah wacana yang tidak tepat dari sisi momentum.
Kita ketahui sekarang bagaimana masyarakat menengah dan bawah sedang dilanda problem kenaikan harga di hampir semua biaya hidup. Kenaikan premium dan solar terakhir diyakini akan mendorong kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lain yang sebagian harus diimpor dari negara lain. Karena itu, wacana pembangunan gedung baru DPR harus disimpan dulu baik-baik dan menunggu momentum yang tepat untuk mengumumkan lagi. Hampir pasti, publik akan menentang keinginan para wakilnya itu.
Justru sekarang anggota DPR harus menunjukkan tanggung jawabnya bahwa mereka masih tetap bisa bekerja dengan baik dalam situasi yang sarat keterbatasan. Termasuk keterbatasan gedung dan sarananya.
Perbaikan gedung ini memang bukan isu baru. Wacana renovasi maupun pembangunan gedung baru DPR beberapa kali disampaikan di periode keanggotaan DPR. DPR periode 2009-2014 bahkan sudah membentuk panitia khusus untuk membangun gedung parlemen baru yang menyedot anggaran cukup fantastis.
Saat itu publik dan sejumlah kalangan menentang rencana pembangunan gedung parlemen baru dengan sejumlah alasan, di antaranya pemborosan anggaran, potensi korupsi proyek, skala prioritas, dan sensitivitas terhadap masyarakat. Karena penolakan publik yang demikian keras, DPR periode lalu akhirnya batal melaksanakan hajatan itu.
Tapi kini Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR 2014-2019, kembali mewacanakan pembangunan gedung baru setelah mendapat banyak keluhan dari anggota DPR, staf ahli, karyawan dan para tamu yang setiap hari datang ke DPR bahwa fasilitas gedung sudah tidak layak lagi untuk mendukung aktivitas tugas-tugas kedewanan.
Menurut BURT, setiap hari ada sekitar 5.000 orang yang menjalankan kegiatan rutin di gedung DPR yang memang sudah lama tidak dikembangkan, diperluas maupun direnovasi menyeluruh. Selain tidak cukup secara jumlah, secara kualitas sarana dan prasarana pendukung aktivitas para wakil rakyat juga banyak yang rusak alias usang dimakan usia.
Tentu normal saja jika anggota DPR mengeluhkan masalah ini. Menjadikan ruang kerjanya nyaman tentu hal yang sangat wajar diinginkan oleh setiap anggota parlemen. Apalagi untuk parlemen Indonesia, yang tugas-tugas rutin dan khususnya sangatlah padat dalam menjalankan kewajiban pokoknya yaitu menyusun undang-undang, mengawasi pemerintah, serta menyusun anggaran.
Tiga tugas ini bukan masalah sepele, tapi tugas mulia yang akan turut menentukan arah bangsa dan negara. Jika tugas-tugas berat itu tidak bisa dilakukan dengan baik karena terbatasnya fasilitas dan sarana gedung yang tidak mendukung, tentu renovasi maupun pembangunan gedung baru menjadi sangat relevan.
Sekarang masyarakat perlu dijelaskan sejauh mana kerusakan dan keterbatasan fasilitas itu bisa memengaruhi kinerja anggota DPR dalam mengemban tugas negara itu? Alangkah lebih baik jika BURT DPR dan pimpinan Dewan bisa membeberkan dulu sejauh mana kekurangan tempat dan fasilitas itu dengan data-data yang transparan dan akuntabel.
Publik harus diberi keyakinan secara terbuka bahwa renovasi gedung DPR sudah sangat mendesak. Upaya meyakinkan masyarakat itu akan menjadi kunci penting lanjut tidaknya wacana pembangunan atau renovasi gedung DPR. Jika BURT tidak melakukan sosialisasi secara transparan kepada publik, sudah pasti mayoritas masyarakat akan menolak wacana itu.
Mengapa? Ada persepsi yang kuat di masyarakat bahwa DPR itu adalah lembaga politik yang hanya bisa dikendalikan oleh kepentingan parpol dan fraksinya. Jadi tidak heran jika DPR terlihat kurang peka dalam isu-isu lain yang kurang atau tidak berdampak langsung dengan nasib pribadi anggota dan parpolnya.
Isu-isu kerakyatan mestinya seperti kenaikan BBM, layanan BPJS, tarif listrik, rupiah melemah, dan hal-hal lain yang langsung menyentuh kehidupan mereka. Pembangunan gedung atau renovasi adalah wacana yang tidak tepat dari sisi momentum.
Kita ketahui sekarang bagaimana masyarakat menengah dan bawah sedang dilanda problem kenaikan harga di hampir semua biaya hidup. Kenaikan premium dan solar terakhir diyakini akan mendorong kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lain yang sebagian harus diimpor dari negara lain. Karena itu, wacana pembangunan gedung baru DPR harus disimpan dulu baik-baik dan menunggu momentum yang tepat untuk mengumumkan lagi. Hampir pasti, publik akan menentang keinginan para wakilnya itu.
Justru sekarang anggota DPR harus menunjukkan tanggung jawabnya bahwa mereka masih tetap bisa bekerja dengan baik dalam situasi yang sarat keterbatasan. Termasuk keterbatasan gedung dan sarananya.
(ftr)