Politik Ideolog Sambal Terasi

Senin, 30 Maret 2015 - 08:50 WIB
Politik Ideolog Sambal...
Politik Ideolog Sambal Terasi
A A A
Indonesia terbentuk dalam satu sistem negara dari berbagai keragaman sistem keyakinan, sistem kebudayaan, dan sistem kebangsaan.

Seluruh keragaman itu telah hidup dan berkembang di bumi Nusantara dalam rentang waktu yang cukup panjang. Komitmen kebangsaan kita adalah komitmen kemustahilan dalam teori terbentuknya sebuah negara; menyatukan paham, visi, misi, dan orientasi dari seluruh keanekaragaman itu dalam sebuah negara bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Negeri ajaib ini lahir di tengah kegalauan Jepang yang mengalami kekalahan peperangan melawan Sekutu. Pemikiran kebangsaan mengalir dari tulisan dan ucapan para pendiri bangsa di usia yang sangat muda dalam berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Sebuah konstitusi negara yang memiliki sakralitas mampu mengantarkan kita menjadi negara yang berdaulat serta mengikat seluruh perbedaan dan keragaman dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika .

Sistem keyakinan yang melahirkan warna dalam visi dan ideologi politik diartikulasikan dalam spirit paham politik, baik paham kebangsaan maupun paham keagamaan. Seluruh kekuatan tersebut berkompetisi untuk menentukan nasib bangsa dalam pertarungan politik ideologis kepartaian yang memberikan warna dalam setiap dinamika pemilu pada masa pasca kemerdekaan.

Pemilu sering kali tidak mampu mengelola seluruh kekuatan visi ideologi yang berkompetisi sehingga tidak jarang seluruh kekecewaan diekspresikan melalui berbagai pemberontakan yang bersifat kekerasan bersenjata.

Dinamika politik yang berafiliasi pada sebuah warna ideologi sering kali mewarnai tren opini politik negara dari masa ke masa, baik masa pemerintahan Bung Karno, awal masa pemerintahan maupun akhir masa pemerintahan Pak Harto, serta masa pemerintahan pasca-Reformasi.

Seluruh visi elitis ideologis sering kali mengorbankan banyak orang yang memiliki ketulusan dan keikhlasan mengabdi pada sebuah kekuatan ideologi, tetapi tidak pernah memahami praktik ideologi sehingga mereka menjadi korban infiltrasi politik ketika mengalami kekalahan pertarungan elite ideologi.

Ribuan orang mati terbunuh, jutaan orang menjadi tertuduh, penderitaan anak cucu yang berkepanjangan; derita penganut ideologi turunan yang dianggap sesat oleh rezim yang sedang berkuasa. Ma Icih dengan muka menerawang berkata, ”Kasihan sekali tetangga-tetangga Ema di kampung yang dulu pernah ikutikutan baris dan pakai seragam, selama berpuluh tahun menjadi orang yang dikucilkan karena dianggap memiliki kesesatan pemahaman ideologi.

” Mang Udin tertawa terbahak- bahak, kemudian berkata, ”Makanya kamu jangan keseringan kumpul dengan mahasiswa yang baru lulus kuliah, seperti yang mengerti saja ngomong kesesatan ideologi. Sesat itu menurut orang lain yang bukan pengikutnya dan berbeda paham ideologinya, tapi kalau menurut pengikut ajarannya mah itu adalah jalan kebenaran menuju kebahagiaan.

Duh , saya ini gimana , malah ikut-ikutan terbawa seperti kamu, Icih. Seperti yang paham saja saya ini. Yang jelas, konflik pemahaman politik para panggede (pembesar) telah melahirkan derita bagi rakyat. Tiap hari rakyat sibuk ngomongin politik, ngomongin ideologi, sementara sawah tidak dicangkul, kebun tidak digarap, terus kita mau makan dari mana? Kalau para panggede ngomong politik, ngomong ideologi, ngomong visi kebangsaan, semuanya puguh (jelas) bayarannya dan puguh honornya, kalau kita, tidak nyangkul berarti tidak makan, Icih.” ***

Bila diukur oleh nalar dan rasa, pertikaian politik zaman dulu memang menarik. Orang berdebat didasarkan pada sebuah spirit akan obsesi membangun negara berdasarkan paham kebangsaan yang diyakininya. Tapi coba perdebatan politik yang sekarang, entah apa yang diperebutkan.

Paham negara sudah sama, visi negara sudah sama, ideologi negara sudah sama. Jangan-jangan visi usaha dan perusahaan yang berbeda, bertengkar berebut urusan perut sendiri saja, sementara perut saya di kampung tidak ada yang memperjuangkan. Saya tidak mengerti, entah mewakili siapa mereka itu. Ma Icih menimpali, ”Sudaah , Udin.

Jangan terus-menerus menggantungkan nasib kepada orang lain, itu namanya tidak tauhid. Nasib kita ditentukan oleh diri kita karena Allah dekat dengan kita. Tidak usah kita menitipkan keyakinan pada individu, pada kelompok, pada golongan selain pada diri kita sendiri.

Sekarang mari bertauhid agar Tuhan bersenyawa dengan tanah yang kita cangkul, Tuhan bersenyawa pada padi yang kita tanam, Tuhan bersenyawa pada air yang kita minum, Tuhan bersenyawa dengan udara yang kita hirup.

Seluruh senyawa itu akan ada manakala tidak ada hawa nafsu kekuasaan yang melebihi batas pada tanah yang dicangkul, pada air yang diminum, pada udara yang dihirup, sehingga kita semua terbebas dari senyawa kimiawi yang berbahaya yang didasarkan pada ambisi dan nafsu yang selalu ingin membunuh orang lain untuk membangun eksistensi dirinya.”

Dahi Mang Udin berkerut, ”Kamu ini kenapa Icih, seperti yang ngawur , ada senyawa kimiawi dan eksistensi segala? Sudah, cepat ke dapur, cepat bikin senyawa sambal, yang terdiri dari garam, cengek (cabai rawit), terasi, gula, pakai cai saeutik (air sedikit) jadilah dia sambel yang rasanya satu sama lain tidak saling mengalahkan. Terasi tetap eksis, gula tetap terasa, garam tidak kehilangan jati dirinya, air pun memiliki peran strategis. Lahirlah makhluk yang namanya sambel. Coba para elite itu belajar pada sambel .” ***

Pengelolaan negeri tidak mesti harus terus-menerus mengibarkan warna, mengibarkan sosok, karena warna dan sosok mengalami keterbatasan keberadaan. Tapi secara umum masyarakat kita menunggu rasa dari sebuah bentuk yang mampu hadir dalam cita-cita kehidupan yang damai, tenteram, dan bahagia.

Warna ideologi bukan hanya sebuah retorika dalam panggung politik, tapi harus terasa dalam perjalanan hidup seluruh masyarakat tanpa batas. Visi ideologi harus terasa ketika di pasar untuk mendapatkan harga yang murah dengan kualitas yang bermutu serta jumlah timbangan yang tidak dikurangi oleh para pedagang yang sering kali ngomongnya sangat tajam pada mimbar-mimbar akrobat keyakinan.

Retorika politik harus terasa oleh masyarakat untuk tetap mendapatkan pelayanan ketika dia sakit, ketika kelas III rumah sakit semuanya sudah penuh, sehingga negara harus hadir untuk mengetuk pintu-pintu rumah sakit agar membukakan kelas II, kelas I atau bahkan VIP.

Negara kesatuan harus datang dan berada di tengah mereka ketika masyarakat dilanda ketakutan pada waktu keluar malam, ketika sebagian kelompok kecil atau bahkan individu ingin mendapatkan ruang untuk mengekspresikan seluruh keyakinannya tanpa harus mengganggu dan merusak sistem keyakinan orang lain.

Paham kebangsaan harus melahirkan gagasan perjalanan kehidupan masyarakat di jalan-jalan tanpa lubang, pada sudut-sudut ruang tanpa kemacetan. Peranti ideologi negara harus hadir untuk melindungi anak-anak dari komersialisasi teknologi informasi tanpa batas agar mereka tidak kehilangan ruang originalitas ekspresi.

Demokrasi harus mengajarkan kepada seluruh masyarakat untuk menentukan sebuah pilihan didasarkan pada nalar dan rasa, bukan hanya penggiringan opini yang digerakkan oleh para pengelola akun media yang kadang kehilangan rasa dan objektivitas.

Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0971 seconds (0.1#10.140)