Mengapa Sarpin (Tidak) Melanggar KUHAP?
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Banyak pertanyaan tentang putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam perkara praperadilan yang diajukan BG.
Namun, tidak banyak orang bertanya mengapa seberani itukah Sarpin memutuskan bahwa permohonan praperadilan tentang penetapan tersangka dikabulkan dan putusan adalah putusan terakhir dan mengikat; tidak ada upaya hukum apa pun yang dapat diajukan untuk melawan putusan praperadilan Sarpin tersebut. Pertanyaan ”mengapa” tersebut dapat dikaji dari dua aspek.
Pertama, aspek keadilan dan kemanfaatan yang berlawan dengan aspek kepastian hukum. Kedua, aspek fungsi dan perkembangan hukum masa depan di Indonesia. Aspek pertama, tentu ahli hukum normatif mempertahankan aspek kepastian hukum jauh melebihi pentingnya dari keadilan dan kemanfaatan karena asas lex certa menuntut hakim harus hanya menjadi ”mulut undang-undang”.
Sedangkan aspek keadilan dan kemanfaatan justru sebaliknya, mempertahankan bagaimana seharusnya hukum (UU) i.e KUHAP dibaca dan ditafsirkan dan disesuaikan dengan perkembangan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, tentu KUHAP yang merupakan UU (hukum tertulis) selalu tidak dapat mengikuti perkembangan hukum dalam masyarakat seperti hukum hak asasi manusia.
*** Bagaimana caranya agar KUHAP dapat menyesuaikan dengan perkembangan hukum hak asasi manusia yang merupakan pilar negara hukum yang demokratis? Jawaban ahli hukum normatif pasti adalah perubahan KUHAP melalui Parlemen. Namun, bagi ahli hukum pembangunan (meminjam teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja ) dan ahli hukum progresif yaitu hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum (Alm Satjipto Rahardjo), perubahan terhadap KUHAP dapat dilakukan dengan putusan pengadilan melalui keyakinan seorang hakim.
Pandangan ahli hukum pembangunan dan ahli hukum progresif ini diperkuat oleh pandangan teori hukum integratif (Romli Atmasasmita) yang mewajibkan para ahli hukum akademisi dan praktisi untuk memperhatikan nilai-nilai (values) di balik norma yang tercantum di dalam suatu UU.
Bagi pandangan teori hukum integratif, ketentuan tentang praperadilan di dalam KUHAP harus dibaca dan dipahami bukan hanya perlindungan hak asasi tersangka secara limitatif, melainkan juga harus dipahami sebagai perjuangan untuk menciptakan nilai hak asasi setiap orang yang ditetapkan tersangka oleh tangan kekuasaan.
Pemahaman mengenai nilai HAM inilah yang merupakan justifikasi atas penafsiran secara luas (ekstensif) terkait ketentuan praperadilan di dalam KUHAP. Pemahaman tersebut sekaligus memperluas wawasan mengenai perlindungan hak asasi in concreto sebagaimana telah dicantumkan dalam Bab XA UUD 1945, UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan ketentuan ICCPR yang telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005.
Sejatinya, keberadaan konstitusi yang mengatur secara tegas tentang HAM dan UU tentang HAM tersebut, mutatis mutandis merupakan sumber hukum dan sekaligus payung hukum bagi semua peraturan perundangundangan yang berada di bawahnya terlepas apakah hak asasi dimaksud telah dicantumkan atau tidak tercantum di dalam peraturan perundang- undangan dimaksud.
Putusan hakim Sarpin telah membuat ruang hukum terbuka bagi setiap orang untuk memperjuangkan perlindungan hak asasi bagi dirinya terhadap tangan-tangan kekuasaan sekalipun kewenangan telah diberikan oleh UU.
*** Dalam kaitan putusan hakim Sarpin tentang kewenangan KPK menetapkan BG sebagai tersangka, ahli hukum akademisi dan praktisi hukum perlu melihat dan memahami keberlakuan UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUADP 2014). UU tersebut secara formal mengatur tentang larangan penyalahgunaan wewenang baik di bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Ketentuan Pasal 17 UU ADP 2014 tersebut telah menetapkan tiga jenis penyalahgunaan kekuasaan (baca: kewenangan) yaitu melampaui batas kewenangan, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang. Keberlakuan UU ADP 2014 dihubungkan dengan UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, serta UU RI Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik diperkuat oleh ketentuan larangan gratifikasi dan suap di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), mencerminkan ”political will” pemerintah untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar (good governance /GG).
Selain itu juga mencerminkan bahwa kedudukan UU Tipikor merupakan ”ultimum remedium” terhadap pelanggaran yang bersifat administratif sekalipun telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan telah menimbulkan kerugian pada negara. Tafsir hukum ini sejalan dengan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor yang mewajibkan penegak hukum untuk hanya memberlakukan ketentuan UU Tipikor terhadap ketentuan mengenai pelanggaran administratif yang merupakan tindak pidana korupsi.
Larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana tercantum di dalam UU ADP 2014 menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana status hukum unsur ”penyalahgunaan wewenang karena kedudukan dan jabatannya” di dalam ketentuan Pasal 3 UU Tipikor. Muncul pertanyaan, apakah ini bagian dari hukum pidana atau hukum administrasi pemerintahan.
Selama keberlakuan UU Tipikor 1999/2001 belum ada UU yang mengatur secara eksplisit mengenai pengertian istilah ”penyalahgunaan wewenang” kecuali UU ADP 2014. Dalam praktik pengertian istilah tersebut cukup dilihat dari bunyi tupoksi sebagaimana dicantumkan di dalam keppres pengangkatan penyelenggara negara.
Sedangkan dengan UUADP 2014, pembuktian ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang merupakan kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Banyak pertanyaan tentang putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam perkara praperadilan yang diajukan BG.
Namun, tidak banyak orang bertanya mengapa seberani itukah Sarpin memutuskan bahwa permohonan praperadilan tentang penetapan tersangka dikabulkan dan putusan adalah putusan terakhir dan mengikat; tidak ada upaya hukum apa pun yang dapat diajukan untuk melawan putusan praperadilan Sarpin tersebut. Pertanyaan ”mengapa” tersebut dapat dikaji dari dua aspek.
Pertama, aspek keadilan dan kemanfaatan yang berlawan dengan aspek kepastian hukum. Kedua, aspek fungsi dan perkembangan hukum masa depan di Indonesia. Aspek pertama, tentu ahli hukum normatif mempertahankan aspek kepastian hukum jauh melebihi pentingnya dari keadilan dan kemanfaatan karena asas lex certa menuntut hakim harus hanya menjadi ”mulut undang-undang”.
Sedangkan aspek keadilan dan kemanfaatan justru sebaliknya, mempertahankan bagaimana seharusnya hukum (UU) i.e KUHAP dibaca dan ditafsirkan dan disesuaikan dengan perkembangan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, tentu KUHAP yang merupakan UU (hukum tertulis) selalu tidak dapat mengikuti perkembangan hukum dalam masyarakat seperti hukum hak asasi manusia.
*** Bagaimana caranya agar KUHAP dapat menyesuaikan dengan perkembangan hukum hak asasi manusia yang merupakan pilar negara hukum yang demokratis? Jawaban ahli hukum normatif pasti adalah perubahan KUHAP melalui Parlemen. Namun, bagi ahli hukum pembangunan (meminjam teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja ) dan ahli hukum progresif yaitu hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum (Alm Satjipto Rahardjo), perubahan terhadap KUHAP dapat dilakukan dengan putusan pengadilan melalui keyakinan seorang hakim.
Pandangan ahli hukum pembangunan dan ahli hukum progresif ini diperkuat oleh pandangan teori hukum integratif (Romli Atmasasmita) yang mewajibkan para ahli hukum akademisi dan praktisi untuk memperhatikan nilai-nilai (values) di balik norma yang tercantum di dalam suatu UU.
Bagi pandangan teori hukum integratif, ketentuan tentang praperadilan di dalam KUHAP harus dibaca dan dipahami bukan hanya perlindungan hak asasi tersangka secara limitatif, melainkan juga harus dipahami sebagai perjuangan untuk menciptakan nilai hak asasi setiap orang yang ditetapkan tersangka oleh tangan kekuasaan.
Pemahaman mengenai nilai HAM inilah yang merupakan justifikasi atas penafsiran secara luas (ekstensif) terkait ketentuan praperadilan di dalam KUHAP. Pemahaman tersebut sekaligus memperluas wawasan mengenai perlindungan hak asasi in concreto sebagaimana telah dicantumkan dalam Bab XA UUD 1945, UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan ketentuan ICCPR yang telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005.
Sejatinya, keberadaan konstitusi yang mengatur secara tegas tentang HAM dan UU tentang HAM tersebut, mutatis mutandis merupakan sumber hukum dan sekaligus payung hukum bagi semua peraturan perundangundangan yang berada di bawahnya terlepas apakah hak asasi dimaksud telah dicantumkan atau tidak tercantum di dalam peraturan perundang- undangan dimaksud.
Putusan hakim Sarpin telah membuat ruang hukum terbuka bagi setiap orang untuk memperjuangkan perlindungan hak asasi bagi dirinya terhadap tangan-tangan kekuasaan sekalipun kewenangan telah diberikan oleh UU.
*** Dalam kaitan putusan hakim Sarpin tentang kewenangan KPK menetapkan BG sebagai tersangka, ahli hukum akademisi dan praktisi hukum perlu melihat dan memahami keberlakuan UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUADP 2014). UU tersebut secara formal mengatur tentang larangan penyalahgunaan wewenang baik di bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Ketentuan Pasal 17 UU ADP 2014 tersebut telah menetapkan tiga jenis penyalahgunaan kekuasaan (baca: kewenangan) yaitu melampaui batas kewenangan, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang. Keberlakuan UU ADP 2014 dihubungkan dengan UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, serta UU RI Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik diperkuat oleh ketentuan larangan gratifikasi dan suap di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), mencerminkan ”political will” pemerintah untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar (good governance /GG).
Selain itu juga mencerminkan bahwa kedudukan UU Tipikor merupakan ”ultimum remedium” terhadap pelanggaran yang bersifat administratif sekalipun telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan telah menimbulkan kerugian pada negara. Tafsir hukum ini sejalan dengan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor yang mewajibkan penegak hukum untuk hanya memberlakukan ketentuan UU Tipikor terhadap ketentuan mengenai pelanggaran administratif yang merupakan tindak pidana korupsi.
Larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana tercantum di dalam UU ADP 2014 menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana status hukum unsur ”penyalahgunaan wewenang karena kedudukan dan jabatannya” di dalam ketentuan Pasal 3 UU Tipikor. Muncul pertanyaan, apakah ini bagian dari hukum pidana atau hukum administrasi pemerintahan.
Selama keberlakuan UU Tipikor 1999/2001 belum ada UU yang mengatur secara eksplisit mengenai pengertian istilah ”penyalahgunaan wewenang” kecuali UU ADP 2014. Dalam praktik pengertian istilah tersebut cukup dilihat dari bunyi tupoksi sebagaimana dicantumkan di dalam keppres pengangkatan penyelenggara negara.
Sedangkan dengan UUADP 2014, pembuktian ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang merupakan kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara.
(ars)