Persiapan Hadapi MEA
A
A
A
Pemberlakuan perdagangan bebas di kawasan ASEAN kini tinggal menghitung bulan, tepatnya akhir tahun ini.
Sejak kebijakan perdagangan yang melibatkan negara serumpun tersebut lebih dikenal dengan istilah ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dicetuskan, telah mengundang polemik di lingkungan urusan domestik Indonesia, terutama seputar mengantisipasi kesiapan pelaku usaha yang didukung kebijakan pemerintah.
Sebenarnya dari sisi kesiapan bukan hanya Indonesia yang harus berbenah serius menghadapi perdagangan bebas itu, sebab dari 10 negara yang terangkum di bawah payung ASEAN diprediksi baru Malaysia dan Singapura yang siap penuh untuk bertarung. Benarkah? Kalau menyimak pernyataan mantan Wakil Presiden (Wapres) Boediono yang dipaparkan dalam seminar ”Strategi Pengembangan SDM Menghadapi Ekonomi Masa Depan” di Yogyakarta kemarin, bahwa Indonesia harus berbenah menghadapi MEA.
Pemerintah memang mengklaim siap menghadapi perdagangan bebas ASEAN, namun masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat ini. Dicontohkan soal logistik yang masih menjadi persoalan, di mana biaya logistik di Indonesia masih jauh lebih tinggi di kawasan ASEAN. Meski terhadang waktu yang singkat, mantan gubernur Bank Indonesia (BI) itu menyodorkan sebuah solusi sebagai langkah strategis menyambut pemberlakuan MEA.
Pertama , segera menginventarisasi keputusan secara komprehensif atau menyeluruh mana yang bisa dilakukan atau yang tidak bisa dilaksanakan. Inventarisasi tersebut harus dieksekusi oleh tim independen sehingga tak ada pemihakan pada sektor tertentu. Kedua , harus ada langkah diplomasi terkait penjelasan sektor mana yang bisa dilakukan dan mana yang tidak. Hal itu penting agar Indonesia bisa dipercaya oleh negara lain.
Salah satu titik lemah yang sering kali diperdebatkan terkait perdagangan bebas kawasan ASEAN adalah sektor lembaga keuangan baik menyangkut perbankan maupun nonperbankan. Sejak akhir tahun lalu, Gubernur BI Agus Martowardojo menyerukan agar perbankan nasional mempersiapkan diri menyambut ASEAN Banking Integration Framework atau integrasi perbankan ASEAN.
Pasalnya, ABIF adalah kerangka dari kebijakan MAE untuk memfasilitasi kemajuan integrasi ekonomi dan keuangan. Dari 120 bank di Indonesia, diperkirakan hanya tiga bank yang memenuhi syarat atau qualified ASEAN bank terkait kebijakan ABIF. Dari sektor asuransi malah lebih memprihatinkan dibandingkan sektor perbankan. Keprihatinan tersebut dibeberkan Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Firdaus Djaelani, yang menilai industri asuransi Indonesia belum siap menghadapi MEA.
Indonesia terancam menjadi target utama dari industri asuransi negara lainnya di mana tingkat penetrasi bisnis asuransinya sudah jenuh. Sebuah tantangan terberat industri asuransi dalam negeri untuk bertarung dengan industri asuransi negara lain seperti Singapura, dengan kinerja yang lebih efisien dan didukung teknologi informasi dan sumber daya manusia yang prima.
Meski masih dibalut berbagai persoalan serius menyambut diberlakukannya perdagangan bebas di kawasan ASEAN, pemerintah tetap penuh percaya diri. Simak saja sambutan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di acara Musyawarah Nasional XV Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) pertengahan Januari lalu di Bandung, yang menyatakan para pengusaha muda tidak perlu takut karena negara lain justru sudah grogi terlebih dahulu dengan kekuatan yang dimiliki.
Walau diliputi optimisme yang tinggi, Jokowi mengakui Indonesia seharusnya sudah mempersiapkan diri sejak 10 tahun lalu. Memang, tantangan dan peluang perdagangan bebas ASEAN begitu menggiurkan. Bayangkan, akhir tahun ini bakal terjadi peningkatan drastis arus modal, barang dan jasa di kawasan Asia Tenggara dengan total penduduk sekitar 600 juta jiwa dan hampir 50% berada di Indonesia.
Karenaitu, berharap Indonesia dapat mengambil peran utama dan tidak mengulangi kekeliruan yang terjadi pada ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) yang tidak memberikan keuntungan maksimal karena persiapan Indonesia yang tidak optimal.
Sejak kebijakan perdagangan yang melibatkan negara serumpun tersebut lebih dikenal dengan istilah ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dicetuskan, telah mengundang polemik di lingkungan urusan domestik Indonesia, terutama seputar mengantisipasi kesiapan pelaku usaha yang didukung kebijakan pemerintah.
Sebenarnya dari sisi kesiapan bukan hanya Indonesia yang harus berbenah serius menghadapi perdagangan bebas itu, sebab dari 10 negara yang terangkum di bawah payung ASEAN diprediksi baru Malaysia dan Singapura yang siap penuh untuk bertarung. Benarkah? Kalau menyimak pernyataan mantan Wakil Presiden (Wapres) Boediono yang dipaparkan dalam seminar ”Strategi Pengembangan SDM Menghadapi Ekonomi Masa Depan” di Yogyakarta kemarin, bahwa Indonesia harus berbenah menghadapi MEA.
Pemerintah memang mengklaim siap menghadapi perdagangan bebas ASEAN, namun masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat ini. Dicontohkan soal logistik yang masih menjadi persoalan, di mana biaya logistik di Indonesia masih jauh lebih tinggi di kawasan ASEAN. Meski terhadang waktu yang singkat, mantan gubernur Bank Indonesia (BI) itu menyodorkan sebuah solusi sebagai langkah strategis menyambut pemberlakuan MEA.
Pertama , segera menginventarisasi keputusan secara komprehensif atau menyeluruh mana yang bisa dilakukan atau yang tidak bisa dilaksanakan. Inventarisasi tersebut harus dieksekusi oleh tim independen sehingga tak ada pemihakan pada sektor tertentu. Kedua , harus ada langkah diplomasi terkait penjelasan sektor mana yang bisa dilakukan dan mana yang tidak. Hal itu penting agar Indonesia bisa dipercaya oleh negara lain.
Salah satu titik lemah yang sering kali diperdebatkan terkait perdagangan bebas kawasan ASEAN adalah sektor lembaga keuangan baik menyangkut perbankan maupun nonperbankan. Sejak akhir tahun lalu, Gubernur BI Agus Martowardojo menyerukan agar perbankan nasional mempersiapkan diri menyambut ASEAN Banking Integration Framework atau integrasi perbankan ASEAN.
Pasalnya, ABIF adalah kerangka dari kebijakan MAE untuk memfasilitasi kemajuan integrasi ekonomi dan keuangan. Dari 120 bank di Indonesia, diperkirakan hanya tiga bank yang memenuhi syarat atau qualified ASEAN bank terkait kebijakan ABIF. Dari sektor asuransi malah lebih memprihatinkan dibandingkan sektor perbankan. Keprihatinan tersebut dibeberkan Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Firdaus Djaelani, yang menilai industri asuransi Indonesia belum siap menghadapi MEA.
Indonesia terancam menjadi target utama dari industri asuransi negara lainnya di mana tingkat penetrasi bisnis asuransinya sudah jenuh. Sebuah tantangan terberat industri asuransi dalam negeri untuk bertarung dengan industri asuransi negara lain seperti Singapura, dengan kinerja yang lebih efisien dan didukung teknologi informasi dan sumber daya manusia yang prima.
Meski masih dibalut berbagai persoalan serius menyambut diberlakukannya perdagangan bebas di kawasan ASEAN, pemerintah tetap penuh percaya diri. Simak saja sambutan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di acara Musyawarah Nasional XV Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) pertengahan Januari lalu di Bandung, yang menyatakan para pengusaha muda tidak perlu takut karena negara lain justru sudah grogi terlebih dahulu dengan kekuatan yang dimiliki.
Walau diliputi optimisme yang tinggi, Jokowi mengakui Indonesia seharusnya sudah mempersiapkan diri sejak 10 tahun lalu. Memang, tantangan dan peluang perdagangan bebas ASEAN begitu menggiurkan. Bayangkan, akhir tahun ini bakal terjadi peningkatan drastis arus modal, barang dan jasa di kawasan Asia Tenggara dengan total penduduk sekitar 600 juta jiwa dan hampir 50% berada di Indonesia.
Karenaitu, berharap Indonesia dapat mengambil peran utama dan tidak mengulangi kekeliruan yang terjadi pada ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) yang tidak memberikan keuntungan maksimal karena persiapan Indonesia yang tidak optimal.
(ars)