Ironi Reformasi Agraria
A
A
A
Sri Kisarah Husna.
Mahasiswi Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Brawijaya
Presiden Soekarno dianggap terdepan dalam menganalisis segala situasi sosial ekonomi petani di eranya.
Marhaenisme yang diperkenalkan dan bahkan diideologikan olehnya, tidak terlepas dari sosok petani yang hidup dengan kesederhanaan dan berbagai keterbatasan. Karena itu, Soekarno tahu betul bahwa pertanian adalah mata pencaharian utama bangsa Indonesia. Maka itu, kesempatan pada sektor ini haruslah dibuka seluas-luasnya.
Dalam berbagai pidatonya pula, Soekarno menegaskan bahwa pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa, dan petani adalah tulang punggung utama pangan Indonesia, sehingga Soekarno menempatkan petani sebagai salah satu sokoguru bangsa Indonesia, sokoguru revolusi ketika itu. Karena itulah lahir sebuah kebijakan, reformasi agraria sebagai angin segar. Kebijakan reformasi agraria ini lahir didasarkan oleh semangat revolusi dan konsep Berdikari yang begitu bangga diusung oleh presiden pertama kita itu, Presiden Soekarno.
Semangat revolusi dan konsep Berdikari ini tentu dikobarkan demi membakar habis sisa-sisa kolonialisme di Indonesia. Seperti kata-kata Presiden Soekarno berikut ini ”Land reform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani.” Namun, semangat itu hanya sampai pada citacita. Penerapan pun hanya pada era Orde Lama. Meski masih berjalan hingga kini, implementasi dari kebijakan reformasi agraria ini masih jauh daripada apa yang menjadi mimpi.
Benar jika dikatakan bahwa: ”Negeri yang diperintah oleh komprador-komprador imperialis tak mungkin negeri yang merdeka.” Kutipan ini terasa betul sampai ke hati dan pikiran hingga terpaksa tulisannya dipertebal. Kutipan ini mengingatkan saya pada kondisi Indonesia saat ini yang begitu mudah dikomandoi negeri-negeri asing hanya untuk sekadar memuaskan hasrat keserakahan para imperialis-imperialis model baru.
Ada marah, ada kecewa, ketika mendapatkan data bahwa saat ini dari sudut pertanian, sebagian besar produksi, kepemilikan maupun pembagian hasil sama sekali tidaklah berpihak pada rakyat dari bumi Indonesia ini sendiri. Semangat kepemilikan tanah oleh kaum tani hanya menjadi jargon semata. Sejak dibukanya pintu liberalisasi, orientasi daripada kebijakan reformasi agraria ini berubah 180 derajat.
Kebijakan yang tadinya berorientasi populis, berubah menjadi berorientasi kapitalis. Hingga yang bisa dilihat hari ini adalah ketiadaan lahan untuk bertani lagi. Ini diakibatkan oleh dibukanya keran persaingan liberal dari sudut ekonomi, politik, maupun sosial-budaya dengan sebebas-bebasnya. Maka sama saja, pada akhirnya para konglomerat asinglah yang memiliki daripada tanah-tanah ini.
Lebih daripada itu, tanah itu tidak lagi dijadikan lahan pertanian, melainkan lahan untuk dibangun pabrik- pabrik dari perusahaan asing, atau perkebunan-perkebunan di bawah naungan perusahaan asing pula. Dalam beberapa data yang dapat dijumpai di Badan Pusat Statistik, dapat dilihat konversi lahan pertanian dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Belum lagi perbandingan antara luas lahan pertanian dengan luas penduduk. Begitu jauh perbandingan antara luas lahan pertanian maupun luas lahan per kapita dengan jumlah penduduk yang begitu banyak. Semuanya berada dalam posisi memiriskan, lahan pertanian di Indonesia semakin tersudutkan hingga tak lagi diperhitungkan.
Ini membuktikan bahwa reformasi agraria sungguh telah gagal diterapkan di era reformasi ini. Menjadikan sektor pangan ikut diliberalisasi. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, negara yang disebut ”agraris” ini harus membeli ke luar negeri. Sungguh sebuah ironi.
Mahasiswi Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Brawijaya
Presiden Soekarno dianggap terdepan dalam menganalisis segala situasi sosial ekonomi petani di eranya.
Marhaenisme yang diperkenalkan dan bahkan diideologikan olehnya, tidak terlepas dari sosok petani yang hidup dengan kesederhanaan dan berbagai keterbatasan. Karena itu, Soekarno tahu betul bahwa pertanian adalah mata pencaharian utama bangsa Indonesia. Maka itu, kesempatan pada sektor ini haruslah dibuka seluas-luasnya.
Dalam berbagai pidatonya pula, Soekarno menegaskan bahwa pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa, dan petani adalah tulang punggung utama pangan Indonesia, sehingga Soekarno menempatkan petani sebagai salah satu sokoguru bangsa Indonesia, sokoguru revolusi ketika itu. Karena itulah lahir sebuah kebijakan, reformasi agraria sebagai angin segar. Kebijakan reformasi agraria ini lahir didasarkan oleh semangat revolusi dan konsep Berdikari yang begitu bangga diusung oleh presiden pertama kita itu, Presiden Soekarno.
Semangat revolusi dan konsep Berdikari ini tentu dikobarkan demi membakar habis sisa-sisa kolonialisme di Indonesia. Seperti kata-kata Presiden Soekarno berikut ini ”Land reform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani.” Namun, semangat itu hanya sampai pada citacita. Penerapan pun hanya pada era Orde Lama. Meski masih berjalan hingga kini, implementasi dari kebijakan reformasi agraria ini masih jauh daripada apa yang menjadi mimpi.
Benar jika dikatakan bahwa: ”Negeri yang diperintah oleh komprador-komprador imperialis tak mungkin negeri yang merdeka.” Kutipan ini terasa betul sampai ke hati dan pikiran hingga terpaksa tulisannya dipertebal. Kutipan ini mengingatkan saya pada kondisi Indonesia saat ini yang begitu mudah dikomandoi negeri-negeri asing hanya untuk sekadar memuaskan hasrat keserakahan para imperialis-imperialis model baru.
Ada marah, ada kecewa, ketika mendapatkan data bahwa saat ini dari sudut pertanian, sebagian besar produksi, kepemilikan maupun pembagian hasil sama sekali tidaklah berpihak pada rakyat dari bumi Indonesia ini sendiri. Semangat kepemilikan tanah oleh kaum tani hanya menjadi jargon semata. Sejak dibukanya pintu liberalisasi, orientasi daripada kebijakan reformasi agraria ini berubah 180 derajat.
Kebijakan yang tadinya berorientasi populis, berubah menjadi berorientasi kapitalis. Hingga yang bisa dilihat hari ini adalah ketiadaan lahan untuk bertani lagi. Ini diakibatkan oleh dibukanya keran persaingan liberal dari sudut ekonomi, politik, maupun sosial-budaya dengan sebebas-bebasnya. Maka sama saja, pada akhirnya para konglomerat asinglah yang memiliki daripada tanah-tanah ini.
Lebih daripada itu, tanah itu tidak lagi dijadikan lahan pertanian, melainkan lahan untuk dibangun pabrik- pabrik dari perusahaan asing, atau perkebunan-perkebunan di bawah naungan perusahaan asing pula. Dalam beberapa data yang dapat dijumpai di Badan Pusat Statistik, dapat dilihat konversi lahan pertanian dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Belum lagi perbandingan antara luas lahan pertanian dengan luas penduduk. Begitu jauh perbandingan antara luas lahan pertanian maupun luas lahan per kapita dengan jumlah penduduk yang begitu banyak. Semuanya berada dalam posisi memiriskan, lahan pertanian di Indonesia semakin tersudutkan hingga tak lagi diperhitungkan.
Ini membuktikan bahwa reformasi agraria sungguh telah gagal diterapkan di era reformasi ini. Menjadikan sektor pangan ikut diliberalisasi. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, negara yang disebut ”agraris” ini harus membeli ke luar negeri. Sungguh sebuah ironi.
(ars)