Kejati Masih Tunggu Hasil PK Mary Jane
A
A
A
YOGYAKARTA - Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY masih menunggu hasil Peninjauan Kembali (PK) Mary Jane Fiesta Veloso, terpidana mati kasus penyelundupan heroin 2,6 kilogram. Kepastian nasib warga negara Filipina itu sampai saat ini belum ada kejelasan apakah tetap akan dieksekusi mati atau memperoleh keringanan hukuman.
Kepala Kejati DIY I Gede Sudiatmaja mengaku masih menunggu proses hukum PK Mary Jane yang tengah berjalan di Mahkamah Agung hasilnya seperti apa.
"Belum dapat (hasil putusan PK), informasi terakhir masih diproses," kata Sudiatmaja kepada wartawan di Yogyakarta, Senin (23/3/2015).
Pria yang baru menjabat sebagai Kepala Kejati DIY sebulan ini juga belum bisa menyatakan sikap apa yang akan diambil jaksa terhadap Mary Jane. Apakah akan segera memindahkan ibu dua orang anak itu ke LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah atau tidak.
Saat ini Mary Jane masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan, Yogyakarta. "Bunyi putusannya (PK) seperti apa, kan belum ada," sebut mantan Kepala Kejati Maluku itu.
Mary Jane pada 3 Maret 2015 lalu mengajukan permohonan PK ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Sleman. Meskipun permohonan grasinya telah ditolak presiden, namun Mary Jane yang kesehariannya bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu masih mencoba mencari keringanan hukuman dengan menempuh upaya hukum PK.
Melalui pengacaranya, Agus Salim, Mary Jane mengajukan bukti baru (novum) soal kendala bahasa saat dia menjalani proses penyidikan di Polda DIY dan persidangan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Sleman. Saat itu penerjemah menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.
Perempuan yang hanya lulusan setara SMP di Filipina itu tidak memahami bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Dia hanya bisa berbahasa Tagalog, bahasa asli Filipina. Sehingga dia berdalih tidak bisa membela diri karena tidak memahami apa sangkaan dan dakwaan yang ditujukan kepadanya.
Diketahui, Mary Jane ditangkap aparat Bea Cukai Bandara Adisutjipto, Sleman pada tahun 2010. Dia kedapatan membawa heroin seberat 2,6 kilogram. Oleh peradilan tingkat pertama, tingkat banding, dan kasasi, Mary Jane divonis hukuman mati karena terbukti bersalah menyelundupkan heroin dan tergolong sindikat narkotika internasional.
Sesuai rencana, Kejaksaan Agung akan membarengkan eksekusi Mary Jane dengan sembilan terpidana mati kasus narkotika lainnya. Lokasi eksekusi diputuskan berlangsung di Nusakambangan berdasar Undang-undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati. Yaitu lokasi pelaksanaan eksekusi tidak boleh terbuka untuk umum alias berada di lokasi yang aman dan steril.
Akan tetapi eksekusi para terpidana mati yang disebut oleh Kejaksaan Agung sebagai eksekusi gelombang kedua itu urung terlaksana karena masih menunggu seluruh hak hukum terpidana terpenuhi seperti PK yang diajukan Mary Jane dan gugatan hukum PTUN oleh beberapa terpidana mati lainnya.
Kepala Kejati DIY I Gede Sudiatmaja mengaku masih menunggu proses hukum PK Mary Jane yang tengah berjalan di Mahkamah Agung hasilnya seperti apa.
"Belum dapat (hasil putusan PK), informasi terakhir masih diproses," kata Sudiatmaja kepada wartawan di Yogyakarta, Senin (23/3/2015).
Pria yang baru menjabat sebagai Kepala Kejati DIY sebulan ini juga belum bisa menyatakan sikap apa yang akan diambil jaksa terhadap Mary Jane. Apakah akan segera memindahkan ibu dua orang anak itu ke LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah atau tidak.
Saat ini Mary Jane masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan, Yogyakarta. "Bunyi putusannya (PK) seperti apa, kan belum ada," sebut mantan Kepala Kejati Maluku itu.
Mary Jane pada 3 Maret 2015 lalu mengajukan permohonan PK ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Sleman. Meskipun permohonan grasinya telah ditolak presiden, namun Mary Jane yang kesehariannya bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu masih mencoba mencari keringanan hukuman dengan menempuh upaya hukum PK.
Melalui pengacaranya, Agus Salim, Mary Jane mengajukan bukti baru (novum) soal kendala bahasa saat dia menjalani proses penyidikan di Polda DIY dan persidangan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Sleman. Saat itu penerjemah menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.
Perempuan yang hanya lulusan setara SMP di Filipina itu tidak memahami bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Dia hanya bisa berbahasa Tagalog, bahasa asli Filipina. Sehingga dia berdalih tidak bisa membela diri karena tidak memahami apa sangkaan dan dakwaan yang ditujukan kepadanya.
Diketahui, Mary Jane ditangkap aparat Bea Cukai Bandara Adisutjipto, Sleman pada tahun 2010. Dia kedapatan membawa heroin seberat 2,6 kilogram. Oleh peradilan tingkat pertama, tingkat banding, dan kasasi, Mary Jane divonis hukuman mati karena terbukti bersalah menyelundupkan heroin dan tergolong sindikat narkotika internasional.
Sesuai rencana, Kejaksaan Agung akan membarengkan eksekusi Mary Jane dengan sembilan terpidana mati kasus narkotika lainnya. Lokasi eksekusi diputuskan berlangsung di Nusakambangan berdasar Undang-undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati. Yaitu lokasi pelaksanaan eksekusi tidak boleh terbuka untuk umum alias berada di lokasi yang aman dan steril.
Akan tetapi eksekusi para terpidana mati yang disebut oleh Kejaksaan Agung sebagai eksekusi gelombang kedua itu urung terlaksana karena masih menunggu seluruh hak hukum terpidana terpenuhi seperti PK yang diajukan Mary Jane dan gugatan hukum PTUN oleh beberapa terpidana mati lainnya.
(kri)