Pemimpin Teladan
A
A
A
Masyarakat Indonesia membutuhkan keteladanan dari pemimpinnya. Ini tentu bukan pernyataan basa-basi atau sambil lalu tanpa arti.
Di tengah era euforia politik dan demokrasi yang sedang kita nikmati saat ini, ada satu hal yang sebenarnya anomali. Demokrasi yang diharapkan menghasilkan para pemimpin yang tangguh, bijak, merakyat, berintegritas tinggi, bisa menjadi suri teladan masyarakat, pada praktiknya makin jauh panggang dari api.
Demokrasi malah menjadi ajang menonjolkan politik kemasan dan kepura-puraan, menyuburkan para petinggi yang hobi cari perhatian (caper) dengan berbagai cara yang penting bisa heboh di media massa dan media sosial.
Bahkan disinyalir, ada pasukan khusus media sosial yang sewaktu- waktu bisa dikerahkan untuk membangun opini secara masif, kontinu, dan sistematis untuk mengorbitkan seorang tokoh sehingga menjadi idola masyarakat dengan popularitas. Demikian pula sebaliknya.
Pasukan khusus ini pun mampu menghadang tokoh lain yang menjadi lawan dari tokoh idola itu dengan penggalangan opini yang tak kalah masifnya. Hasil rekayasa dunia maya ini pun luar biasa dahsyat.
Pasalnya, tim pasukan khusus sosial media ini didukung oleh pernyataan-pernyataan para opinian maker yang sudah disiapkan sebelumnya agar tampak natural sehingga publik mudah percaya dengan framing yang mereka bangun. Ini membuktikan rekayasa opini di media sosial memang dahsyat dan efektif untuk dimainkan oleh mereka-mereka yang mengincar posisi-posisi strategis di pemerintahan, parlemen, ataupun aneka jabatan publik lainnya.
Inilah fakta yang dihadapi masyarakat kita sekarang. Mereka sulit mengidentifikasi mana pemimpin yang benar dan amanah atau mana pemimpin palsu hasil branding media sosial. Ruang publik sudah penuh sesak oleh perang opini, saling ungkap borok masa lalu, perang ancaman, psy war, serta saling hujat dan kecam demi kekuasaan.
Pasal pencemaran nama baik dan fitnah dalam hukum kita laris manis sekarang ini. Saling lapor di kepolisian antara pejabat A dan pejabat B sudah sangat biasa. Dengan demikian, para elite politik kita telah mempertontonkan perilaku yang melelahkan dan tidak pantas menjadi contoh bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Memang tidak semua pejabat negara terbawa arus yang lagi tren ini. Namun, para pejabat yang baik dan kompeten di bidangnya sering kali kalah di medan pertempuran sengit yang sudah dikuasai kelompok yang mampu menguasai dunia maya dan ruang publik itu.
Jika sudah begini dalam perdebatan mengenai isu-isu politik, hukum, ekonomi, sosial, dan seterusnya, masyarakat awam sangat sulit membedakan mana yang benar dan yang salah. Dan, sangat mungkin yang salah dianggap benar dan sebaliknya yang benar dianggap salah.
Apakah demokrasi harus dilalui dengan tahapan yang membingungkan seperti ini? Kita tidak tahu persis. Yang jelas, saat ini masyarakat makin sulit mencari pemimpin yang bisa menjadi panutan dan teladan. Mayoritas rakyat memilih pemimpin karena ikut-ikutan. Ibarat akuarium, orang akan sulit membedakan antara ikan arwana dan ikan lele karena airnya sudah sangat keruh dan penuh lumpur.
Sudah sedemikian parahkah kondisi kita sekarang ini? Mari kita merenung sejenak sebelum menjawab pertanyaan ini. Bagi mereka yang pesimistis, pasti setuju dan menyatakan situasi negeri ini sudah sedemikian parah. Air akuarium yang sudah sangat keruh itu harus segera dikuras dan diganti dengan air bersih yang jernih sehingga dari jauh kelihatan mana yang ikan arwana yang elok itu dan mana yang ikan lele.
Sementara bagi yang optimistis, mereka merasa yakin bahwa yang dia pegang adalah ikan arwana meski sebenarnya samar karena airnya keruh. Jangan-jangan mereka tidak sadar sebenarnya yang dia timang-timang selama ini hanyalah seekor ikal lele yang berdandan seperti arwana. Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu menjadi teladan dari setiap kata dan tindakannya.
Biasanya pemimpin yang orisinal dan bijak seperti ini akan mudah ditemukan, meskipun dia sedang dikelilingi para pemimpin pura-pura di dalam kolam renang yang keruh.
Di tengah era euforia politik dan demokrasi yang sedang kita nikmati saat ini, ada satu hal yang sebenarnya anomali. Demokrasi yang diharapkan menghasilkan para pemimpin yang tangguh, bijak, merakyat, berintegritas tinggi, bisa menjadi suri teladan masyarakat, pada praktiknya makin jauh panggang dari api.
Demokrasi malah menjadi ajang menonjolkan politik kemasan dan kepura-puraan, menyuburkan para petinggi yang hobi cari perhatian (caper) dengan berbagai cara yang penting bisa heboh di media massa dan media sosial.
Bahkan disinyalir, ada pasukan khusus media sosial yang sewaktu- waktu bisa dikerahkan untuk membangun opini secara masif, kontinu, dan sistematis untuk mengorbitkan seorang tokoh sehingga menjadi idola masyarakat dengan popularitas. Demikian pula sebaliknya.
Pasukan khusus ini pun mampu menghadang tokoh lain yang menjadi lawan dari tokoh idola itu dengan penggalangan opini yang tak kalah masifnya. Hasil rekayasa dunia maya ini pun luar biasa dahsyat.
Pasalnya, tim pasukan khusus sosial media ini didukung oleh pernyataan-pernyataan para opinian maker yang sudah disiapkan sebelumnya agar tampak natural sehingga publik mudah percaya dengan framing yang mereka bangun. Ini membuktikan rekayasa opini di media sosial memang dahsyat dan efektif untuk dimainkan oleh mereka-mereka yang mengincar posisi-posisi strategis di pemerintahan, parlemen, ataupun aneka jabatan publik lainnya.
Inilah fakta yang dihadapi masyarakat kita sekarang. Mereka sulit mengidentifikasi mana pemimpin yang benar dan amanah atau mana pemimpin palsu hasil branding media sosial. Ruang publik sudah penuh sesak oleh perang opini, saling ungkap borok masa lalu, perang ancaman, psy war, serta saling hujat dan kecam demi kekuasaan.
Pasal pencemaran nama baik dan fitnah dalam hukum kita laris manis sekarang ini. Saling lapor di kepolisian antara pejabat A dan pejabat B sudah sangat biasa. Dengan demikian, para elite politik kita telah mempertontonkan perilaku yang melelahkan dan tidak pantas menjadi contoh bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Memang tidak semua pejabat negara terbawa arus yang lagi tren ini. Namun, para pejabat yang baik dan kompeten di bidangnya sering kali kalah di medan pertempuran sengit yang sudah dikuasai kelompok yang mampu menguasai dunia maya dan ruang publik itu.
Jika sudah begini dalam perdebatan mengenai isu-isu politik, hukum, ekonomi, sosial, dan seterusnya, masyarakat awam sangat sulit membedakan mana yang benar dan yang salah. Dan, sangat mungkin yang salah dianggap benar dan sebaliknya yang benar dianggap salah.
Apakah demokrasi harus dilalui dengan tahapan yang membingungkan seperti ini? Kita tidak tahu persis. Yang jelas, saat ini masyarakat makin sulit mencari pemimpin yang bisa menjadi panutan dan teladan. Mayoritas rakyat memilih pemimpin karena ikut-ikutan. Ibarat akuarium, orang akan sulit membedakan antara ikan arwana dan ikan lele karena airnya sudah sangat keruh dan penuh lumpur.
Sudah sedemikian parahkah kondisi kita sekarang ini? Mari kita merenung sejenak sebelum menjawab pertanyaan ini. Bagi mereka yang pesimistis, pasti setuju dan menyatakan situasi negeri ini sudah sedemikian parah. Air akuarium yang sudah sangat keruh itu harus segera dikuras dan diganti dengan air bersih yang jernih sehingga dari jauh kelihatan mana yang ikan arwana yang elok itu dan mana yang ikan lele.
Sementara bagi yang optimistis, mereka merasa yakin bahwa yang dia pegang adalah ikan arwana meski sebenarnya samar karena airnya keruh. Jangan-jangan mereka tidak sadar sebenarnya yang dia timang-timang selama ini hanyalah seekor ikal lele yang berdandan seperti arwana. Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu menjadi teladan dari setiap kata dan tindakannya.
Biasanya pemimpin yang orisinal dan bijak seperti ini akan mudah ditemukan, meskipun dia sedang dikelilingi para pemimpin pura-pura di dalam kolam renang yang keruh.
(ftr)